Kamis, 16 Maret 2017

Afro-Pesimisme dan Efek Kekerasan Domino


Referensi:
Bachtiar Nasri, dan Reni Amalia. 2012. Te Analysis Factors that Affect the Motivation to Undertake Enterpreneurship in Pekanbaru City.

Chari, Tendai, Nhamo A. 2014.African Footbal, Identity Politics and Global Media Narratives: The Legacy of FIFA 2010 World Cup. Palgrave MacMillan.

Kondlo, Kwandiwe. 2013.  Perspectives on Thought Leadership for Africa's Renewal. South Africa

Rieff, David. 2005.  At the Point of a Gun: Democratic Dreams and Armed Intervention. New York.

Tuma, Hama. 2004. Give Me  a Dog’s life Any Day: African Absurdities II.  Victoria: Canada.

Webel, Charles dan Jonan Galtung. 2007. Handbook of peace and conflict studies. Routledge.






Afro-Pesimisme dan  Efek Kekerasan Domino
Pendahuluan
Perdamaian merupakan satu hal yang masih dalam proses pengerjaan sampai saat ini. Perdamaian sendiri banyak  diartikan oleh para ahli. Berbagai pengertian yang diberikan para ahli mengenai perdamaian adalah sebagai satu hal yang luas, ada perdamaian negativ dan perdamaian positiv; ada yang didasarkan pada perdamaian individu, kelompok, atau negara; secara psikologis atau materil. Sudah jelas, bahwa perdamaian diartikan tidak hanya dalam satu bentuk, kali ini saya akan menggunakan pengertian yang diberikan Webster mengenai perdamaian:
mental or spiritual condition marked by freedom from disquieting or oppressive thoughts or emotions’ (peace in its personal or ‘inner’ sense) as well as ‘calmness of mind and heart: serenity of spirit’ (+inner peace).[1]
Dari pengertian yang diberikan Webster itu, terlihat bahwa ternyata perdamaian emosional dan psikologis menjadi satu hal penting. Perdamaian secara emosional dan psikologis tidak terlihat dalam proses diskriminasi Ras Afrika, hal ini seolah tidak mendamaikan Ras Afrika. Permasalahannya, apakah diskriminasi Ras Afrika ini hanya berdampak pada emosional masyarakat Afrika saja?

Pembahasan
Afro-Pessimism
Pandangan afro-pessimism adalah pandangan yang gempar muncul pada tahun 1980.[2] Afro-pessimism adalah pandangan negatif mengenai Afrika. Banyak teks yang menyinggung bahwa Afrika adalah Benua yang tidak mungkin maju dan bahkan dalam satu buku, kehidupan di Afrika dibilang sama buruknya dengan kehidupan ‘anjing’:
 It is only recently that I came to learn that there is a malady called Afro-pessimism and that satirical Articles are good examples of it. The experts told me that Afro-pessimism is a dark and hopeless place where no African mind should dwell.[3]
fifa.jpgDari pandangan diatas terlihat jelas bagaimana banyak orang bahkan tokoh-tokoh yang memiliki pandangan negatif terhadap masyarakat Afrika. Bahkan kehidupan masyarakat Afrika  disamakan dengan binatang. Namun hal ini terbukti tidak benar bahwa Afrika tidak memiliki harapan, terbukti melalui FIFA World Cup 2010 yang diselenggarakan di Afrika. Pengadaaan perlombaan bola dunia yang diadakan di Afrika Selatan dianggap berhasil menggoyahkan pandangan Afro-pessimism.
The chapter argues that both French and British developed a reflexive analysis of the World Cup, and the successful hosting of the World Cup by South Africa also produced an image that disrupted Afro-pessimism.[4]
Namun hal ini tidak banyak berpengaruh pada pandangan Afro-Pesimism, masih banyak kekerasan yang terjadi pada Ras Afrika. Tidak hanya kekerasan emosional yang diterima, kekerasan langsung, struktural dan culturan bahkan dialami oleh masyarakat Afrika akibat dari pandangan Afro-Pesimism.
Kekerasan Domino
Kekerasan adalah konflik yang tidak berbentuk.[5] Jika demikian, bisa diartikan bahwa bentuk kekerasan sebenarnya tidak berbentuk, atau abstrak. Keabstrakan bentuk kekerasan ini dibagi tiga oleh Galtung menjadi kekerasan langsung, kekerasan struktural dan kekerasan kultural. Berdasarkan pembagian itu, galtung menjelaskan secara sederhana melalui tabel berikut ini:
Tabel 1: Perdamaian: negativ dan positif, langsung, strukturan, dan kultural
Berikut ini adalah analisa efek yang ditimbulkan akibat adanya pandangan Afro-Pesimism:
Kekerasan Struktural
Jika melihat ke tabel 1 diatas, maka indikasi kekerasan struktural terjadi jika terjadi eksploitasi, ketidak-adilan, dan tidak-merataan pembagian kekuasaan. Pendapatan Ras Afrika lebih rendah dibanding masyarakat kulit putih, yaitu sebesar 18%. [6]Pandangan Afro-Pesimism disini membahas rendahnya ras, sehingga kemerataan dan ketidak-keadilan dalam pemberian upah kerja di Amerika Serikat.
Kekerasan Cultural
Kekerasan kultural terjadi jika ada penilaian dan budaya yang buruk yang menimbulkan ketidak-terciptaannya perdamaian. Karena adanya pandangan pesimis atas Ras Afrika, yang bahkan dibukukan dan menggunakan pembuktian yang nyata oleh banyak penulis, hal ini menimbulkan budaya tidak damai yang terus berlangsung bahkan sampain saat ini. Pembuktian bahwa pandangan Afro-Pesimism ini masih menjadi pandangan yang digunakan sebagian orang adalah pidato Donald Trump.[7] Hal ini menjadi bukti bahwa pandangan Afro-Pesimism masih melekat pada masyarakat, karena Trump sebagai calon pemimpin negara yang juga berpengaruh pada dunia, bahkan merendahkan kaum kulit hitam atau Bangsa Afrika itu sendiri.
Kekerasan Langsung
Kekerasan langsung merupakan kekerasan yang dapat dirasakan secara langsung. Jika melihat pada devinisi ini, maka sebenarnya Ras Afrika tidak mengalami tindakan kekerasan. Namun, jika kekerasan struktural dan kekerasan kultural itu memengaruhi kehidupan secara langsung, maka kekerasan itu dapat disebut kekerasan langsung. Hal ini terbukti, Afrika masih memiliki setengah warganya dalam kemiskinan dan kelaparan  yang dilansir dikarenakan adanya kekerasan struktural dan kultural.[8]

Kesimpulan dan saran
Pandangan Afro-Pesimism merupakan pandangan yang mendiskreditkan Ras Afrika. Diskriminasi ini tidak hanya menimbulkan rasa tidak damai secara emosional seperti yang dikatakan Webster. Lebih jauh lagi, pandnagan Afropesimism juga menyebabkan kekerasan struktural, kekerasan cultural, dan kekerasan langsung.
Adapun saran yang diberikan oleh pandangan Afro-Optimism adalah:
Democratising the membership structure of the interstate/international system, evident in the fact that while there were four states from Africa among the fifty-one founding members of the United Nations in 1945, Africa today, with fisty one members, has the largest continental representation in that body. Contributing significantly to delegitimising the notion of clonialism as a tool of statecraft. Helping to situate and expand economis development issues on the Unted Nation Agenda. Influencing the now widely accepted notion that racism is no longer confined to sates ‘domestic juridiction’, but is instead a central challenge in international relationship.[9]
Dari pendaat diatas, maka yang perlu dilakukan adalah menjadikan masyaakat Ras Afrika menjadi masyarakat yang independen. Jika sudah independen, diharapkan adanya kerjasama lintas batas masyarakat Ras Afrika, sehingga power dan perekonomian masyarakat meningkat. Kerjasama ini kembali diharapkan menjadi klaim bahwa pandnagan Afro-Pesimism bukan lagi pandangan yang dapat digunakan, dmei menciptakan perdamaian.



[1] Webel, Charles dan Jonan Galtung. 2007. Handbook of peace and conflict studies. Routledge. (halaman 6)

[2] Rieff, David. 2005.  At the Point of a Gun: Democratic Dreams and Armed Intervention. New York. (Halaman 95)

[3] Tuma, Hama. 2004. Give Me  a Dog’s life Any Day: African Absurdities II.  Victoria: Canada. (Halaman 136)

[4] Chari, Tendai, Nhamo A. 2014.African Footbal, Identity Politics and Global Media Narratives: The Legacy of FIFA 2010 World Cup. Palgrave MacMillan. (Halaman 11)

[5] Webel, Charles dan Jonan Galtung. 2007. Handbook of peace and conflict studies. Routledge. (halaman 14)

[6] Bachtiar Nasri, dan Reni Amalia. 2012. Te Analysis Factors that Affect the Motivation to Undertake Enterpreneurship in Pekanbaru City. (halaman 6)

[7] http://www.bbc.com/news/entertainment-arts-38322263 diakses pada 24 Desember 2016 Pukul 10:16 WIB

[9] Kondlo, Kwandiwe. 2013.  Perspectives on Thought Leadership for Africa's Renewal. South Africa. (Halaman 58)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar