Referensi:
Bachtiar Nasri, dan Reni Amalia. 2012. Te
Analysis Factors that Affect the Motivation to Undertake Enterpreneurship in
Pekanbaru City.
Chari, Tendai, Nhamo A. 2014.African Footbal,
Identity Politics and Global Media Narratives: The Legacy of FIFA 2010 World
Cup. Palgrave MacMillan.
Kondlo, Kwandiwe. 2013. Perspectives
on Thought Leadership for Africa's Renewal. South Africa
Rieff, David. 2005. At the Point of a Gun: Democratic Dreams and
Armed Intervention. New York.
Tuma, Hama. 2004. Give Me a Dog’s life Any Day:
African Absurdities II. Victoria:
Canada.
Webel, Charles dan Jonan Galtung. 2007.
Handbook of peace and conflict studies. Routledge.
Afro-Pesimisme
dan Efek Kekerasan Domino
Pendahuluan
Perdamaian
merupakan satu hal yang masih dalam proses pengerjaan sampai saat ini.
Perdamaian sendiri banyak diartikan oleh
para ahli. Berbagai pengertian yang diberikan para ahli mengenai perdamaian
adalah sebagai satu hal yang luas, ada perdamaian negativ dan perdamaian
positiv; ada yang didasarkan pada perdamaian individu, kelompok, atau negara;
secara psikologis atau materil. Sudah jelas, bahwa perdamaian diartikan tidak
hanya dalam satu bentuk, kali ini saya akan menggunakan pengertian yang
diberikan Webster mengenai
perdamaian:
mental
or spiritual condition marked by freedom from disquieting or oppressive
thoughts or emotions’ (−peace in its
personal or ‘inner’ sense) as well as ‘calmness of mind and heart: serenity of
spirit’ (+inner peace).[1]
Dari pengertian
yang diberikan Webster itu, terlihat
bahwa ternyata perdamaian emosional dan psikologis menjadi satu hal penting. Perdamaian
secara emosional dan psikologis tidak terlihat dalam proses diskriminasi Ras
Afrika, hal ini seolah tidak mendamaikan Ras Afrika. Permasalahannya, apakah
diskriminasi Ras Afrika ini hanya berdampak pada emosional masyarakat Afrika
saja?
Pembahasan
Afro-Pessimism
Pandangan afro-pessimism adalah pandangan yang gempar muncul pada tahun
1980.[2] Afro-pessimism adalah pandangan
negatif mengenai Afrika. Banyak teks yang menyinggung bahwa Afrika adalah Benua
yang tidak mungkin maju dan bahkan dalam satu buku, kehidupan di Afrika
dibilang sama buruknya dengan kehidupan ‘anjing’:
It is only recently that I came to learn that
there is a malady called Afro-pessimism and that satirical Articles are good
examples of it. The experts told me that Afro-pessimism is a dark and hopeless
place where no African mind should dwell.[3]

The chapter argues that both French and
British developed a reflexive analysis of the World Cup, and the successful
hosting of the World Cup by South Africa also produced an image that disrupted
Afro-pessimism.[4]
Namun hal ini
tidak banyak berpengaruh pada pandangan Afro-Pesimism, masih banyak kekerasan
yang terjadi pada Ras Afrika. Tidak hanya kekerasan emosional yang diterima,
kekerasan langsung, struktural dan culturan bahkan dialami oleh masyarakat
Afrika akibat dari pandangan Afro-Pesimism.
Kekerasan Domino
Kekerasan adalah
konflik yang tidak berbentuk.[5] Jika
demikian, bisa diartikan bahwa bentuk kekerasan sebenarnya tidak berbentuk,
atau abstrak. Keabstrakan bentuk kekerasan ini dibagi tiga oleh Galtung menjadi
kekerasan langsung, kekerasan struktural dan kekerasan kultural. Berdasarkan
pembagian itu, galtung menjelaskan secara sederhana melalui tabel berikut ini:
Tabel 1:
Perdamaian: negativ dan positif, langsung, strukturan, dan kultural

Berikut ini adalah
analisa efek yang ditimbulkan akibat adanya pandangan Afro-Pesimism:
Kekerasan Struktural
Jika melihat ke
tabel 1 diatas, maka indikasi kekerasan struktural terjadi jika terjadi
eksploitasi, ketidak-adilan, dan tidak-merataan pembagian kekuasaan. Pendapatan
Ras Afrika lebih rendah dibanding masyarakat kulit putih, yaitu sebesar 18%. [6]Pandangan
Afro-Pesimism disini membahas rendahnya ras, sehingga kemerataan dan
ketidak-keadilan dalam pemberian upah kerja di Amerika Serikat.
Kekerasan Cultural
Kekerasan kultural
terjadi jika ada penilaian dan budaya yang buruk yang menimbulkan ketidak-terciptaannya
perdamaian. Karena adanya pandangan pesimis atas Ras Afrika, yang bahkan
dibukukan dan menggunakan pembuktian yang nyata oleh banyak penulis, hal ini
menimbulkan budaya tidak damai yang terus berlangsung bahkan sampain saat ini.
Pembuktian bahwa pandangan Afro-Pesimism ini masih menjadi pandangan yang
digunakan sebagian orang adalah pidato Donald Trump.[7] Hal ini
menjadi bukti bahwa pandangan Afro-Pesimism masih melekat pada masyarakat,
karena Trump sebagai calon pemimpin negara yang juga berpengaruh pada dunia,
bahkan merendahkan kaum kulit hitam atau Bangsa Afrika itu sendiri.
Kekerasan Langsung
Kekerasan langsung
merupakan kekerasan yang dapat dirasakan secara langsung. Jika melihat pada
devinisi ini, maka sebenarnya Ras Afrika tidak mengalami tindakan kekerasan.
Namun, jika kekerasan struktural dan kekerasan kultural itu memengaruhi
kehidupan secara langsung, maka kekerasan itu dapat disebut kekerasan langsung.
Hal ini terbukti, Afrika masih memiliki setengah warganya dalam kemiskinan dan
kelaparan yang dilansir dikarenakan
adanya kekerasan struktural dan kultural.[8]
Kesimpulan dan saran
Pandangan
Afro-Pesimism merupakan pandangan yang mendiskreditkan Ras Afrika. Diskriminasi
ini tidak hanya menimbulkan rasa tidak damai secara emosional seperti yang
dikatakan Webster. Lebih jauh lagi, pandnagan Afropesimism juga menyebabkan
kekerasan struktural, kekerasan cultural, dan kekerasan langsung.

Adapun saran yang
diberikan oleh pandangan Afro-Optimism adalah:
Democratising
the membership structure of the interstate/international system, evident in the
fact that while there were four states from Africa among the fifty-one founding
members of the United Nations in 1945, Africa today, with fisty one members,
has the largest continental representation in that body. Contributing
significantly to delegitimising the notion of clonialism as a tool of
statecraft. Helping to situate and expand economis development issues on the
Unted Nation Agenda. Influencing the now widely accepted notion that racism is
no longer confined to sates ‘domestic juridiction’, but is instead a central
challenge in international relationship.[9]
Dari pendaat
diatas, maka yang perlu dilakukan adalah menjadikan masyaakat Ras Afrika
menjadi masyarakat yang independen. Jika sudah independen, diharapkan adanya
kerjasama lintas batas masyarakat Ras Afrika, sehingga power dan perekonomian masyarakat meningkat. Kerjasama ini kembali
diharapkan menjadi klaim bahwa pandnagan Afro-Pesimism bukan lagi pandangan
yang dapat digunakan, dmei menciptakan perdamaian.
[1] Webel,
Charles dan Jonan Galtung. 2007. Handbook of peace and conflict studies.
Routledge. (halaman 6)
[2] Rieff, David. 2005. At the Point of a Gun: Democratic Dreams and
Armed Intervention. New York. (Halaman 95)
[3] Tuma, Hama.
2004. Give Me a Dog’s life Any Day: African Absurdities II. Victoria: Canada. (Halaman 136)
[4] Chari,
Tendai, Nhamo A. 2014.African Footbal, Identity Politics and Global Media
Narratives: The Legacy of FIFA 2010 World Cup. Palgrave MacMillan. (Halaman 11)
[5] Webel,
Charles dan Jonan Galtung. 2007. Handbook of peace and conflict studies.
Routledge. (halaman 14)
[6] Bachtiar
Nasri, dan Reni Amalia. 2012. Te Analysis Factors that Affect the Motivation to
Undertake Enterpreneurship in Pekanbaru City. (halaman 6)
[7] http://www.bbc.com/news/entertainment-arts-38322263 diakses pada
24 Desember 2016 Pukul 10:16 WIB
[8] http://www.voaindonesia.com/a/kemiskinan-di-afrika-masih-tinggi-/1761014.html diakses
pada 24 Desember 2016 Pukul 10:24 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar