INDONESIA GAGAL MENGHADAPI PASAR BEBAS MASYARAKAT EKONOMI ASEAN
Kita
ketahui pada akhir tahun 2015, sepuluh negara ASEAN(Asociation of South East
Asia Nation) akhirnya melaksanakan pasar bebas. Negara-negara di ASEAN sendiri
banyak dipandang orang sebagai negara yang belum maju, terkecuali Singapura dan
Malaysia tentunya. Selain negara-negara yang masih berkembang, penerapan pasar
bebas ini banyak dikhawatirkan bukannya membawa dampak baik namun malah
berbalik menjadi jalan hegemoni negara luar ke negara-negara ASEAN. Indonesia
merupakan salah satu dari negara ASEAN yang juga telah membuka pasar bebas-nya.
Diharapkan dengan membuka pasarnya, negara Indonesia dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomiannya dengan melihat contoh pertumbuhan ekonomi signifikan
yang dialami China dan Vietnam. Namun apakah benar bahwa dengan membuka pasar
bebas, Indonesia akan mengalami peningkatapertumbuhan ekonomi yang signifikan
seperti yang terjadi pada Cina dan Vietnam atau malah akan membuka kemungkinan
hegemoni dari negara-negara lain?
Klaim
saya, Indonesia akan memperburuk perekonomiannya jika membuka pasar bebas,
bukannya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan Indonesia yang
terlihat belum siap menghadapi kompetisi dalam berbagai bidang seperti
kebijakan, mekanisme, pekerja, investasi, sumber daya, dan lain-lain. Ditambah
ada prediksi yang menyatakan bahwa yang akan menguasai ASEAN adalah Singapura
yang menjadi wilayah penyaluran barang di ASEAN dan Indonesia tidak memiliki
peran yang penting karena tidak sanggup berkompetisi.[1]
Kegagalan
Kompetisi Indonesia
Untuk
membahas hal ini lebih jauh, hal pertama yang perlu kita ketahui terlebih
dahulu adalah isi dam maksud dari Blue Print mengenai Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA). Jika kita lihat lebih lagi kepada blue print MEA, maka akan terlihat
bahwa memang negara-negara ingin menjadikan ASEAN menjadi satu pasar yang
terbuka, tetapi juga dengan kompetisi yang ketat.[2]
Disini terdapat dual makna, dimana bisa berarti pasar ASEAN menjadi saingan
pasar bebas dunia dan juga saling bersaing dengan antar negara.
Pertama,
competitive policy yang menyangkut local value added dan external competitive.[3] Menurut
Badan Pusat Statistik Indonesia, nilai tambah adalah besar output dikurangi
besar input dan hanya menghitung dari perusahaan yang ada tanpa menilik masukan
dan keluaran pembentukan “nilai” pada barang.[4] Jika
menilik pada penghasilan perusahaan yang ada, nilai tambah yang ada bisa
dikatakan sudah baik, namun pemerintah ternyata kurang memberikan pengaruhnya
terhadap penambahan nilai. Nilai tambah sendiri menyangkut wawasan mendalam, ide,
inovasi, pengaruh, dan kembalinya investasi.[5]
Jika kita melihat beberapa elemen atas nilai tambah, jelas Indonesia sangat
jauh dari kata mampu melakukannya. Dibuktikan dengan menurunnya minat
masyarakat akan produk barang, jasa, dan produksi dalam negeri yang kurang
mampu bersaing dengan produk dari luar negeri. Dibuktikan dengan nilai impor
sebesar 201.894.635.908 US$[6]
dan ekspor 198.823.697.117 US$[7].
Hanya dengan bermodalkan pikiran saja kita tahu bahwa kita membeli barang atau
jasa berdasarkan kebutuhan dan brand dari barang dan jasa itu sendiri,
sedangkan Indonesia dinilai belum bisa memprediksi barang atau jasa apa yang
akan laku dipasaran, belum bisa mencari ide besar untuk mempromosikan barang
dan jasanya, belum bisa berinovasi dengan maksimal, belum bisa memperlihatkan
pengaruh signifikan terhadap pasarnya sendiri, dan karena hal ini lah, maka
sulit untuk mendapatkan keuntungan dari kembalinya investasi. Dalam memberikan
nilai tambah barang, kita dikalahkan oleh pemikiran bahwa produk luar negeri
lebih memberikan kesan keren seperti produksi barat; dan dalam inovasi ide,
kita dikalahkan Korea Selatan yang pengaruhnya kini semakin mendunia baik dari
segi barang dan jasa. Ditambah lagi sebenarnya ekonomi yang baik dikatakan
bukan karena kebijakan ekonomi yang baik dan kebanyakan negara dengan ekonomi
yang baik malah dijalankan oleh non-economist(Jepang dan Korea oleh pengacara;
Taiwan dan Cina oleh teknisi).[8]
Kedua,
competitive economic growth and competitive export.[9] Pertumbuhan
ekonomi Indonesia dibandingkan negara-negara di ASEAN bisa dikatakan agak lebih
baik dibandingkan Brunei dan Thailand yang pertumbuhan ekonominya turun sangat
jauh jika kita melihat data dari World Bank. Dikatakan bahwa pertumbuhan
ekonomi Indonesia baik dalam kebangkitan setelah krisis karenan kontrol modal
oleh pemerintahan.[10]
Dan lagi, perbaikan ekonomi di Indonesia ditekankan pada industri makro dan
menghiraukan industri mikro dan sektor privat.[11] Dalam
pertumbuhan ekonomi pun, Indonesia mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi dari
tahun 2014 ke 2015. Pertumbuhan ekonomi Indonesia turun sebesar 0,6% dari 5,6%
menjadi 5,0%.[12]
Dan terjadinya hegemoni ekonomi pada satu wilayah dikarenakan tidak adanya
sistem kolektifitas.[13]
Tidak hanya di Indonesia, penurunan pertumbuhan ekonomi terjadi di enam negara
lain di ASEAN. Kenaikan pertumbuhan ekonomi hanya terjadi di Malaysia sebesar
2%, Vietnam sebesar 0,6%, dan Myanmar sebesar 0,3%.[14]
Hegemoni akan terjadi jika ini terjadi terus menerus karena adanya ketakutan akan
diskriminasi.[15]
Diskriminasi sendiri menurut saya cenderung akan dilakukan oleh negara dengan
power ekonomi yang jauh lebih besar, dalam hal ini adalah Cina, Jepang, Korea
Selatan, dan Amerika Serikat yang secara geografis saya rasa berada dekat
dengan Indonesia(Cina dan Jepang) atau dikarenakan memang pengaruhnya yang
memag besar di dunia perekonomian(AS dan Korea Selatan).
Ketiga,
competitive mechanism and labour
implementation dengan meningkatkan kapasitas kualitas pekerja dan memberi
fasilitas dengan integrasi kawasan.[16]
Hal ini bertujuan agar adanya kesamaan kemudahan dalam mengakses pekerjaan oleh
pekerja dengan dipermudahnya keluar masuk kawasan ASEAN. Dalam blue print MEA
sendiri pekerja akan ditingkatkan kemampuannya dan dipermudah dalam hal mobilitas.
Namun jika kita lihat, kemampuan atas manusia yang akan bekerja ke luar negeri
sendiri ternyata “dihegemoni” oleh negara yang akan dituju. Dengan memulai
hegemoni pada bahasa, masyarakat Indonesia “dipaksa” untuk mempelajari bahasa
asing agar dapat bekerja di tempat tujuannya. Memang mengembangkan pengetahuan
bahasa adalah hal yang baik, namun ternyata setelah hegemoni dalam bahasa,
lama-kelamaan akan terjadi hegemoni dalam kebiasaan dan aspek lainnya.[17]
Bahkan dunia ini saja dikonstruksi oleh pemikiran barat yang sulit dihilangkan
dari pemikiran manusia, termasuk ASEAN yang bahkan menggunakan Bahasa Inggris
dalam blue print yang ada, jika ingin
membuktikan bahwa kita tidak mudah dipengaruhi, seharusnya kita menggunakan
Bahasa Indonesia untuk menulis blue print
perjanjian antara negara-negara di Asia Tenggara. Apa lagi Indonesia, saya
sangat pesimis Indonesia dapat bertahan dari hegemoni perlahan ini jika melihat
sangat mudahnya sebagian besar masyarakat Indonesia dipengaruhi dan diubah
sudut pandangnya. Indonesia selain itu juga telah memiliki tenaga kerja
terbesar di wilayah ASEAN sebanyak 124.061.112 pada tahun 2015.[18]
Namun hal ini bukan dikarenakan kualitas pekerja kita yang sangat baik,
melainkan karena tenaga kerja Indonesia mau dibayar dengan murah, tidak seperti
di negara kapitalis, pekerja dibayar melebihi apa yang pantas didapatkan.[19]
Keempat,
competitive investment.[20]
Arti kata dari investasi adalah penanaman uang atau modal untuk memperoleh
keuntungan.[21]
Jumlah investasi Indonesia sendiri sangat besar, yaitu 20.387.533.777 US$, jika
menurut pengertian diatas, maka keuntungan yang didapatkan Indonesia paling
besar ke-2 dibawah Singapura dengan jumlah investasi sebesar 40.695.879.247 US$
dan dibandingkan negara-negara di ASEAN lainnya, karena investasi Indonesia
yang besar.[22]
Namun investasi negara asing yang masuk ke Indonesia juga besar, yaitu
26.349.225.591 US$.[23]
Jadi jika kita lihat, investasi asing yang masuk ke Indonesia lebih besar
dibandingkan investasi yang ditanam Indonesia keluar. Dengan investasi asing ke
Indonesia dengan besar-besaran, Indonesia dengan pikiran kosongnya terkadang
melepaskan kepemilikan atas satu hal sedangkan privat costs dan social costs
kurang diperhitungkan oleh pemerintah. Dan lagi, diatas telah disebutkan bahwa
Indonesia hanya berfokus pada perusahaan saja tanpa melihat aspek lainnya, hal
ini mungkin akan memperkaya pemilik perusahaan, namun tidak memperkaya
pekerjanya.[24]
Kelima,
competitive maritime goods, services and
transportation.[25]
Dengan tujuan meningkatkan perekonomian, negara-negara di Asia Tenggara
mengharapkan adanya integrasi dalam segala bidang termasuk dalam produk
maritim, jasa, dan transportasi. Hal ini pastinya sangat baik jika kita lihat
dengan adanya kemudahal dalam lintas kawasan dikarenakan proses pengurusan visa
yang dipermudah, ketersediaan alat transportasi, pengurangan pajak, dan
distribusi hasil laut. Indonesia sudah baik dalam memberikan input atas dasar
poros ekonomi yang saat ini diterapkan, namun yang saya takutkan, kebaikan
Indonesia ini menjadi cela negara asing
untuk “mempermainkan” kedaulatan maritim Indonesia yang memengaruhi masukan
atas kebijakan ekonomi.[26]
Seperti banyaknya kasus pelanggaran penangkapan ikan, perbatasan wilayah yang
terjadi, hal ini dikarenakan prinsip intergritas yang dianggap sebagai
peng-izin-an eksploitasi bersama. Belum lagi biaya transportasi domestik di
Indonesia lebih mahal dibanding biaya penerbangan ke luar negeri bahkan membuat
masyarakat Indonesia lebih senang berlibur ke luar negeri ketimbang berlibur di
negara sendiri.[27]
Keenam,
competitive technology. Indonesia dan
negara-negara di Asia Tenggara meningkatkan teknologi untuk mendukung kemudahan
di segala bidang baik informasi, pasar, pekerjaan, keuangan, dll untuk
mendukung kebebasan pasar dengan memberikan ruang informasi yang lebih cepat.
Negara-negara di Asia tenggara kita ketahui bersama bukanlah negara produksi
teknologi yang baik, Indonesia sendiri mendapatkan banyak teknologi dengan
sumbangan Jepang, Cina dan negara-negara yang telah maju lainnya. Wajar jika
negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris membuka pasar bebas untuk
memberikan ruang seluas mungkin dalam menjual hasil produksinya. Dengan membuka
pasar bebas, tanpa memiliki kemampuan memproduksi teknologi, Indonesia sudah
bunuh diri. AS dan Inggris membuka pasar bebas setelah mereka berhasil
menemukan barang dan jasa yang bisa dijual dengan keunggulan tersendiri setelah
mereka melakukan proteksi.[28]
Namun Indonesia hanya akan mengonsumsi produk yang diciptakan negara lain. Dan
jika masih saja tidak dapat membuat barang atau jasa produksi, Indonesia
terancam merugi dan dengan distribusi yang sering diberikan kepada “orang
miskin” akan memperburuk keadaan karena “orang miskin” tersebut didorong untuk
semakin malas.
Jika
kita lihat diatas, kompetisi intra dan extra dalam MEA akan menimbulkan
kegagalan ekonomi bagi Indonesia dan perluasan hegemoni negara-negara asing di
Indonesia. Adanya kegagalan ini dikarenakan kurangnya perhitungan yang matang.
Dalam menerapkan persaingan kebijakan yang sebenarnya tidak berpengaruh akan
kesejahteraan. Persaingan ekonomi dan ekspor yang ternyata Indonesia juga dikalahkan
oleh negara kecil seperti Singapura. Persaingan pekerja dan mekanisme yang
dianggap merupakan pemasukan besar bagi negara ternyata hanya dikarenakan
murahnya bayaran pekerja Indonesia. Persaingan investasi yang kembali kita
dikalahkan oleh Singapura, ditambah investasi asing ke Indonesia lebih besar
dari pada investasi Indonesia ke luar. Dalam persaingan barang, jasa maritim,
dan transportasi Indonesia seakan tidak konsisten jika melihat biaya
transportasi domestik yang lebih mahal dibandingkan biaya transportasi keluar
negeri. Serta persaingan teknologi, kita termasuk golongan negara yang belum
bisa secara mandiri memproduksi teknologi sendiri. Indonesia akan semakin
terhimpit keadaan ekonomi jika MEA dilaksanakan.
Referensi:
ASEAN
Economic Comunity Blue Print.
Cafruny,
Alan W. 2003. Neo-liberalism Hegemony and
Transformation in Europe. Littlefield Publisher.
Carlucci,
Alessandro. 2013. Gramsci and Languages: Unification, Diversity, Hegemony.
Netherlands: Koninklijke Brill NV.
Chang,
Ha Joon. 2010. 23 Things They Don’t Tell
You Aboout Capitalism. Allene Lane.
Findlay,
Ronald, Kevin H.O’Rourke. 2007. Power and
Plenty: Trade, War, and World Economy in the Second Millenium.
Karakitson,
Elias, Lambros Varnavides. 2014. Maritime
Economic Approach. Palgrave McMillan.
KBBI(Kamus
Besar Berbahasa Indonesia)
Murphy,
Craig N, Roger Tooze. 1991. The New
International Political Economic. Palgrave McMillan Uk.
Sherington,
Mark. 2003. Added Value. Palgrave.
Shimizu,
Yoshima. 2007. Economic Dynamism of Asia
in the New Millenium. World Scientific Publishing Co.
Twomey,
Michael. 2000. A Century of Foreign Investment in the Third World. Routledge.
[1] Findlay,
Ronald, Kevin H.O’Rourke. 2007. Power and
Plenty: Trade, War, and World Economy in the Second Millenium. (halaman 529)
[2] ASEAN
Economic Comunity Blue Print. Pada kalimat pembuka menyatakan adanya kompetisi
‘a hightly competitive economic region’. (halaman 2)
[3] Ibid.
(halaman 2 dan 19)
[4] https://www.bps.go.id/Subjek/view/id/9
(diakses pada Pukul 00.32 WIB)
[5]
Sherington, Mark. 2003. Added Value.
Palgrave. (halaman 2)
[6] http://data.worldbank.org/indicator/BM.GSR.GNFS.CD
(diakses pada Pukul 23.21 WIB)
[7] http://data.worldbank.org/indicator/BX.GSR.GNFS.CD
(diakses pada Pukul 23.25 WIB)
[8] Chang,
Ha Joon. 2010. 23 Things They Don’t Tell
You Aboout Capitalism. Allene Lane. (thing 23)
[9] ASEAN
Economic Blue Print. (halaman 5)
[10]
Shimizu, Yoshima. 2007. Economic Dynamism
of Asia in the New Millenium. World Scientific Publishing Co. (halaman 57)
[11] Twomey,
Michael. 2000. A Century of Foreign Investment in the Third World. Routledge.
(halaman 133)
[12] http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.KD.ZG
(diakses pada Pukul 23.47 WIB)
[13]
Cafruny, Alan W. 2003. Neo-liberalism
Hegemony and Transformation in Europe. Littlefield Publisher. (halaman 95)
[14] http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.KD.ZG
(diakses pada Pukul 23:47)
[15] Murphy,
Craig N, Roger Tooze. 1991. The New
International Political Economic. Palgrave McMillan Uk. (halaman 79 dan 80)
[16] ASEAN
Economic Community Blue Print. (halaman 5 dan 16)
[17]
Carlucci, Alessandro. 2013. Gramsci and Languages: Unification, Diversity,
Hegemony. Netherlands: Koninklijke Brill NV. (halaman 173)
[18] http://data.worldbank.org/indicator/SL.TLF.TOTL.IN
(diakses pada Pukul 1.35 WIB)
[19] Chang,
Ha Joon. 2010. 23 Things They Don’t Tell
You Aboout Capitalism. Allene Lane. (thing 3)
[20] ASEAN
Economic Community Blue Print. (halaman 12)
[21] KBBI(Kamus
Besar Berbahasa Indonesia)
[22] http://data.worldbank.org/indicator/BM.KLT.DINV.CD.WD
(diakses pada Pukul 2.05 WIB)
[23] http://data.worldbank.org/indicator/BX.KLT.DINV.CD.WD
(diakses pada Pukul 2.13 WIB)
[24] Chang,
Ha Joon. 2010. 23 Things They Don’t Tell
You Aboout Capitalism. Allene Lane. (thing 13)
[25] ASEAN
Economic Community Blue Print. (halaman 19-21)
[26]
Karakitson, Elias, Lambros Varnavides. 2014. Maritime Economic Approach. Palgrave McMillan. (halaman 14)
[27] http://www.traveloka.com/id/flight/route/Lampung-Bali.TKG.DPS/?id=8442250454822372205&kw=8442250454822372205_%2Blampung%20%2Bbali&gmt=b&gn=g&gd=c&gdm=&gcid=92464082230&gdp=&gdt=&gap=1t1&pc=0&cp=8442250454822372205_RUTE-s_8442250454822372205_TKG.DPS&kid=4e93a85a-6339-efa9-fab0-000013c6836b&aid=26644528870&wid=kwd-159314193670&fid=&gid=1007737&adloc=id-id&gclid=CMzBtcK7lswCFdURaAodOgEJtw
(diakses pada Pukul 3.03 WIB)
[28] Chang,
Ha Joon. 2010. 23 Things They Don’t Tell
You Aboout Capitalism. Allene Lane. (thing 7)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar