Kamis, 16 Maret 2017

Power, Power Relation

Pada review kali ini, kami akan membahas beberapa hal mengenai power, seperti konsep dasar power dalam studi budaya, diferensiasi bentuk power, relasi kekuasaan dan pihak berkepentingan, komodifikasi, komoditas, fetisisme, konsumsi dan produksi budaya. Pembahasan ini kami rasa penting untuk mengungkapkan bahwa hal-hal yang kita anggap adalah pemberian Tuhan, merupakan bentuk keberhasilan power dalam penerapan atas satu ide.
Pertama, kita akan membahas konsep power. Power merupakan konsep yang sangat sering kita dengar dalam ilmu hubungan internasional. Bagi Bennet, konsep power adalah keadaan dimana pemaksaan dilakukan oleh individu atau grup tertentu untuk mencapai tujuannya. Dikatakan pula oleh Hall, bahwa power adalah konsep dimana keadaan bisa disebut zero sum game.[1] Dari pandangan ini, terlihat bahwa konsep power menjadi sangat negatif, karena pandangan yang selalu negatif ini, kami lebih mendukung pandangan yang dikemukakan oleh Faulcault. Menurut Faulcault, power itu ada dimana pun, bukan  karena  mencakup segalanya, namun karena power berasal dari mana saja. Power merupakan pebentuk atas ide dan identitas yang membentuk kembali dunia pada bentuk yang selalu diperbarui.[2] Menurut kami, konteks power yang disampaikan Faulcault lebih mendukung pada kajian budaya yang berasal dari kelas post-positifisme yang mengedepankan sikap kritisnya terhadap ide. Kami menyetujui bahwa dunia ini selalu berubah, dan budaya juga ikut berubah sesuai dengan perubahan jaman yang terjadi, namun menurut kami ada satu hal yang tidak berubah, yaitu rasa selalu ingin mengeluarkan ide baru dan mengubah dunia sesuai apa yang diimpikan oleh individu atau kelompok.
Walupun kami menyetujui pendapat Faulcault ini, kami juga percaya bahwa memang power merupakan alat untuk pemaksa kehendak.[3] Jika kelompok atau individu memiliki power, maka kelompok atau individu itu bisa sedikit lebih mampu memaksakan kehendaknya. Karena power jugamerupakan alat bagi otoritas dalam penerapan ide yang dibuatnya. Bahkan ilmu pengetahuan yang kita semua ketahui saat ini adalah proses keberhasilan power dalam memaksakan pemikiran dari pemikir yang memiliki power lebih dibanding pemikir lainnya yang idenya tidak digunakan.

Kedua, kita akan membahas diferensiasi bentuk power dan hubungan power dengan pihak yang berkepentingan. Dari bahasan pada dua paragraf sebelumnya, kita jadi mengetahui bahwa power dapat berbentuk ide, hegemoni, dan dalam bentuk paksaan. Ketiga hal ini kami rasa telah mencakup secara luas bentuk power. Jika kita pernah mendengan kata  hard power, soft power, dan smart power,  kami rasa, hal itu hanyalah bentuk kembali dari ide, hegemoni dan paksaan. Hard power, soft power, dan smart power hanyalah bentuk berbeda dari ide yang muncul dan dengan proses hegemoni yang berbeda, walau ketiganya mengandung unsur memaksa.
Power bisa didapatkan dari beberapa hal yang kembali merujuk pada pembuatan ide, hegemoni, dan paksaan. Power dapat muncul karena kedudukan, intelektual, dan karena keadaan keuangan. Tidak hanya dari pandangan negara, namun seorang individu juga akan memiliki power jika memiliki minimal satu dari salah satu aspek power itu.[4]
Diskursus power atas ide-ide satu identitas, dapat menyebabkan negara memiliki image powerful. [5] Pembentukan  image negara ini tidak terlapas dari bagaimana kelompok atau individu dalam negara membentuk ide yang dijadikan keunggulan bagi negara sehingga dirasa dalam penerapannya, walaupun tidak merasa dipaksa, ide yang dimunculkan itu sudah dianut dan terbentuklah image satu negara. Power  tidak dapat dilepaskan dengan hegemoni yang memiliki arti sebagai konsep pergeseran ide yang bisa dilakukan oleh grup yang dominan. Pengekspresian power dapat dilakukan dengan memberikan legitimasi dan keterbukaan atas bentuk dan praktik budayanya.[6]
Power lebih jauh membentuk kebudayaan kita sampai saat ini. konstruksu diri kita atas budaya, atas oposisi biner, dan atas nilai-nilai yang ada tidak lepas dari keberadaan power. Power digunakan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu untuk menyampaikan apa yang mereka inginkan dengan sifat power yang memaksa. Pihak yang berkepentingan tidak akan berhasil memengaruhi kita untuk melakukan apa yang mereka inginkan jika mereka tidak memiliki power. Jadi, menut kami, budaya yang selama ini sudah tertanam adalah hasil konstruksi dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk menerapkan ide yang mereka gagas dan sekaligus orang-orang yang memiliki power.

Ketiga, kita akan membahas komodifikasi, komoditas, dan fetisisme. Komodifikasi adalah proses pembentukankomoditas dengan mengubah kualitas dan  tanda menjadi item penting  untuk dijual di pasar. Proses pembentukan komoditas ini dilakukan oleh industri dan untuk meningkatkan ketertarikan kita atas satu benda.[7] Jika kita hubungkan dengan power, maka proses penerapan nilai atas komoditas yang baik atau tidak baik, yang berharga atau kurang berharga, barang yang cantik atau tidak, dan banyak hal lainnya merupakan keberhasilan industri dalam menerapkan bentuk ide yang mereka miliki.
Komodifikasi yang dilakukan juga merupakan proses mengubah budaya dari budaya rendah atau budaya masyarakat menjadi budaya tinggi. Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa komodifikasi adalah pengubahan kualitas dan tanda sehingga menjadi lebih menarik dimata konsumen, jika barang(jika kita anggap barang) tersebut menjadi menarik di mata konsumen, konsumen akan dengan senang hati untuk selalu menggunakan barang yang telah diubah itu. Bukan hanya ketertarikan untuk sekedar menggunakan karena memang barang tersebut adalah hal yang penting, namun juga karena rasa bangga yang diciptakan dari penggunaan barang tersebut. terciptanya rasa bangga atas penggunaan produk, membuat konsumen menjadi memiliki sifat konsumerisme.
Sifat konsemerisme dari konsumen memang akan menguntungkan pihak industri, namun mungkin saja akan merugikan konsumen itu sendiri. Keuntungan yang didapat industri pasti mendapatkan kapital yang lebi sehingga bisa lebih meluaskan industri yang dimiliki, namun bagi konsumen, mungkin akan teronstruk menjadi masyarakat dengan ide yang ditanamkan. Kami kali ini mengambil contoh penggunaan iPhone dikalangan mahasiswa. iPhone tidak sekedar digunakan atau dibeli oleh mahasiswa karena kegunaannya yang memang lebih unggul jika dibandingkan jenis hadphone lainnya, namun karena rasa banga yang dimiliki pemilik iPhone hanya dengan memegang iPhone yang dimilikinya.
Jadi, kita sudah mengetahui makna dari komodifikasi merupakan perubahan tanda dan kualitas barang. Barang yang telah diubah nilainya ini diseri nama komoditas yang fetis.[8] Fetisisme yang terjadi karena perubahan kualitas dan tanda ini juga meningkatkan nilai jual barang. Fetisisme dikatakan tidak akan lekat dengan barang, namun setelah kami berpikir ulang, jasa juga bisa diberikan nilai lebih sehingga nilai yang lama seperti tergantikan oleh nilai baru. Yang kami jadikan contoh disini adalah pijat. Pijat jika hanya menggunakan makna tradisional, maka pijat hanya sekedar dinilai sekitar Rp 20.000,- namun jika pijat dilakukan di satu ruangan yang memang dibuat untuk khusus, jasa pijat tersebut menjadi tiga sampai lima kali lebih mahal dari biasanya.
Memang menurut kami tidak baik menggunakan barang atau jasa yang sekiranya tidak dibutuhkan hanya sekedar untuk pamer atau hal lainnya. Tapi kami juga tidak menyalahkan pihak industri yang dengan kreatif menggunakan ide yang ada untuk mengembangkan usaha dan kapital yang dimiliki kami rasa,jika individu memang akan mencari untung dalam setiao hal yang ada.
Yang terakhir, kita akan membahan konsumsi dan produksi biaya. Konsumsi memiliki arti sugesti untuk menggunakan atau menerapkan.[9] Pada kajian budaya sendiri, konsumsi berarti proses penerapan arti dan makna. Jika mendengar kata konsumsi, kita akan ingat dengan kata konsumen. Kita perlu merefleksikan diri lebih lagi mengenai nilai apa yang selama ini kita anggap baik dan salaha. Kita perlu menelaah lebih mengenai oposisi biner yang ada di dunia. Kita perlu menyadari bahwa oposisi biner yang ada ini adalah keberhasilah dari power dan mungkin kebodohan kita dalam menerima ide yang ada. Secara kasar kami mengatakan bahwa kita bodoh karena kita masih terkungkung pada ide dan gagasan yang malah kita anggap selalu benar. Mungkin jika kita sadar, kita tidak akan memandang orang lain lebih rendah atau lebih tinggi bagi kita dan kita tidak akan memaksakan ide yang tertanam pada diri kita kepada orang lain.
Kembali lagi pada aspek konsumsi. Jika kita mengkonsumsi barang atau jasa, kita mengeluarkan harga tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya oleh industri. Harga yang diterapkan itu muncul atau diprosukdi oleh kombinasi skill dan kombinasi power yang memaksa.[10] Jadi segala hal yang ada di dunia ini kembali lagi bagaimana dan seberapa besar peran power terlibat dalam masyarakat.
Kesimpulan dari tulisan kami kali ini adalah power merupakan konsep yang merujuk pada produksi ide, hegemoni dan paksaan. Power tidak hanya berhenti sampai sini, power ternyata membentuk pengetahuan yang kita ketahui dan juga dapat memberikan nilai lebih kepada barang atau jasa yang ada. Dan yang lebih perlu diperhatikan, kita dengan sukarela mengonsumsi ide dan gagasan yang diberitahukan pada kita
Anggota:
*      Aditya Pratama
*      Anika Ayu P.
*      Biyess Nurul A.
*      Claudy Yudika
*      Mariah Ramandisya
*      Puspa Puspita
*      Rima Rachmatika
*      Rina Junita S.
*      Theresia Cassandra S.V

Referensi
Barker, Chris. 2004. The SAGE Dictionary of Cultural Studies. Sage Publications.
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies, Theory and Practice. SAGE Publications.
Budiharjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta:Gramedia.
Campbell, Neil. 1998. American Cultural Studies_ An Introduction to American Culture. New York.
Longhurst, Brian,  dkk. 2008. Introducing Cultural Studies. Pearson
Sardar, Ziauddin. 1998. Introducing Cultural Studies. Victoria:Mc Pherson Printing.





[1] Barker, Chris. 2004. The SAGE Dictionary of Cultural Studies. Sage Publications. (hal: 162)
[2] Longhurst, Brian,  dkk. 2008. Introducing Cultural Studies. Pearson (hal.64)
[3] Barker, Chris. 2005. Cultural Studies, Theory and Practice - SAGE Publications. (hal: 9)
[4] Budiharjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta:Gramedia. (hal:62)
[5] Campbell, Neil. 1998. American Cultural Studies_ An Introduction to American Culture. New York. (hal: 14)n
[6] Sardar, Ziauddin. 1998. Introducing Cultural Studies. Victoria:Mc Pherson Printing. (hal:27)

[7] Barker, Chris. 2004. The SAGE Dictionary of Cultural Studies. Sage Publications. (hal: 28)
[8] Longhurst, Brian,  dkk. 2008. Introducing Cultural Studies. Pearson (hal.195)

[9] Barker, Chris. 2004. The SAGE Dictionary of Cultural Studies. Sage Publications. (hal: 33)
[10] Longhurst, Brian,  dkk. 2008. Introducing Cultural Studies. Pearson (hal:90)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar