Pada
review kali ini, kami akan membahas beberapa hal mengenai power, seperti konsep dasar power
dalam studi budaya, diferensiasi bentuk power,
relasi kekuasaan dan pihak berkepentingan, komodifikasi, komoditas, fetisisme,
konsumsi dan produksi budaya. Pembahasan ini kami rasa penting untuk
mengungkapkan bahwa hal-hal yang kita anggap adalah pemberian Tuhan, merupakan
bentuk keberhasilan power dalam
penerapan atas satu ide.
Pertama,
kita akan membahas konsep power. Power
merupakan konsep yang sangat sering kita dengar dalam ilmu hubungan
internasional. Bagi Bennet, konsep power
adalah keadaan dimana pemaksaan dilakukan oleh individu atau grup tertentu
untuk mencapai tujuannya. Dikatakan pula oleh Hall, bahwa power adalah konsep dimana keadaan bisa disebut zero sum game.[1]
Dari pandangan ini, terlihat bahwa konsep power menjadi sangat negatif, karena
pandangan yang selalu negatif ini, kami lebih mendukung pandangan yang
dikemukakan oleh Faulcault. Menurut Faulcault, power itu ada dimana pun, bukan karena
mencakup segalanya, namun karena power
berasal dari mana saja. Power
merupakan pebentuk atas ide dan identitas yang membentuk kembali dunia pada
bentuk yang selalu diperbarui.[2]
Menurut kami, konteks power yang
disampaikan Faulcault lebih mendukung pada kajian budaya yang berasal dari
kelas post-positifisme yang mengedepankan sikap kritisnya terhadap ide. Kami
menyetujui bahwa dunia ini selalu berubah, dan budaya juga ikut berubah sesuai
dengan perubahan jaman yang terjadi, namun menurut kami ada satu hal yang tidak
berubah, yaitu rasa selalu ingin mengeluarkan ide baru dan mengubah dunia
sesuai apa yang diimpikan oleh individu atau kelompok.
Walupun kami menyetujui
pendapat Faulcault ini, kami juga percaya bahwa memang power merupakan alat untuk pemaksa kehendak.[3]
Jika kelompok atau individu memiliki power, maka kelompok atau individu itu
bisa sedikit lebih mampu memaksakan kehendaknya. Karena power jugamerupakan
alat bagi otoritas dalam penerapan ide yang dibuatnya. Bahkan ilmu pengetahuan
yang kita semua ketahui saat ini adalah proses keberhasilan power dalam memaksakan pemikiran dari
pemikir yang memiliki power lebih dibanding pemikir lainnya yang idenya tidak
digunakan.
Kedua, kita akan
membahas diferensiasi bentuk power dan hubungan power dengan pihak yang
berkepentingan. Dari bahasan pada dua paragraf sebelumnya, kita jadi mengetahui
bahwa power dapat berbentuk ide, hegemoni, dan dalam bentuk paksaan. Ketiga hal
ini kami rasa telah mencakup secara luas bentuk power. Jika kita pernah
mendengan kata hard power, soft power, dan smart power, kami rasa, hal itu hanyalah bentuk kembali
dari ide, hegemoni dan paksaan. Hard
power, soft power, dan smart power hanyalah bentuk berbeda dari ide yang
muncul dan dengan proses hegemoni yang berbeda, walau ketiganya mengandung
unsur memaksa.
Power bisa didapatkan
dari beberapa hal yang kembali merujuk pada pembuatan ide, hegemoni, dan
paksaan. Power dapat muncul karena kedudukan, intelektual, dan karena keadaan
keuangan. Tidak hanya dari pandangan negara, namun seorang individu juga akan
memiliki power jika memiliki minimal satu dari salah satu aspek power itu.[4]
Diskursus power atas ide-ide satu identitas, dapat
menyebabkan negara memiliki image powerful. [5]
Pembentukan image negara ini tidak
terlapas dari bagaimana kelompok atau individu dalam negara membentuk ide yang
dijadikan keunggulan bagi negara sehingga dirasa dalam penerapannya, walaupun
tidak merasa dipaksa, ide yang dimunculkan itu sudah dianut dan terbentuklah
image satu negara. Power tidak dapat dilepaskan dengan hegemoni yang
memiliki arti sebagai konsep pergeseran ide yang bisa dilakukan oleh grup yang
dominan. Pengekspresian power dapat
dilakukan dengan memberikan legitimasi dan keterbukaan atas bentuk dan praktik
budayanya.[6]
Power lebih jauh
membentuk kebudayaan kita sampai saat ini. konstruksu diri kita atas budaya,
atas oposisi biner, dan atas nilai-nilai yang ada tidak lepas dari keberadaan
power. Power digunakan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu
untuk menyampaikan apa yang mereka inginkan dengan sifat power yang memaksa.
Pihak yang berkepentingan tidak akan berhasil memengaruhi kita untuk melakukan
apa yang mereka inginkan jika mereka tidak memiliki power. Jadi, menut kami,
budaya yang selama ini sudah tertanam adalah hasil konstruksi dari pihak-pihak
yang memiliki kepentingan untuk menerapkan ide yang mereka gagas dan sekaligus
orang-orang yang memiliki power.
Ketiga,
kita akan membahas komodifikasi, komoditas, dan fetisisme. Komodifikasi adalah
proses pembentukankomoditas dengan mengubah kualitas dan tanda menjadi item penting untuk dijual di
pasar. Proses pembentukan komoditas ini dilakukan oleh industri dan untuk
meningkatkan ketertarikan kita atas satu benda.[7]
Jika kita hubungkan dengan power, maka proses penerapan nilai atas komoditas
yang baik atau tidak baik, yang berharga atau kurang berharga, barang yang
cantik atau tidak, dan banyak hal lainnya merupakan keberhasilan industri dalam
menerapkan bentuk ide yang mereka miliki.
Komodifikasi
yang dilakukan juga merupakan proses mengubah budaya dari budaya rendah atau
budaya masyarakat menjadi budaya tinggi. Seperti yang sudah dijelaskan diatas
bahwa komodifikasi adalah pengubahan kualitas dan tanda sehingga menjadi lebih
menarik dimata konsumen, jika barang(jika kita anggap barang) tersebut menjadi
menarik di mata konsumen, konsumen akan dengan senang hati untuk selalu
menggunakan barang yang telah diubah itu. Bukan hanya ketertarikan untuk
sekedar menggunakan karena memang barang tersebut adalah hal yang penting,
namun juga karena rasa bangga yang diciptakan dari penggunaan barang tersebut.
terciptanya rasa bangga atas penggunaan produk, membuat konsumen menjadi
memiliki sifat konsumerisme.
Sifat
konsemerisme dari konsumen memang akan menguntungkan pihak industri, namun
mungkin saja akan merugikan konsumen itu sendiri. Keuntungan yang didapat
industri pasti mendapatkan kapital yang lebi sehingga bisa lebih meluaskan
industri yang dimiliki, namun bagi konsumen, mungkin akan teronstruk menjadi
masyarakat dengan ide yang ditanamkan. Kami kali ini mengambil contoh
penggunaan iPhone dikalangan mahasiswa. iPhone tidak sekedar digunakan atau
dibeli oleh mahasiswa karena kegunaannya yang memang lebih unggul jika
dibandingkan jenis hadphone lainnya, namun karena rasa banga yang dimiliki
pemilik iPhone hanya dengan memegang iPhone yang dimilikinya.
Jadi,
kita sudah mengetahui makna dari komodifikasi merupakan perubahan tanda dan
kualitas barang. Barang yang telah diubah nilainya ini diseri nama komoditas
yang fetis.[8]
Fetisisme yang terjadi karena perubahan kualitas dan tanda ini juga
meningkatkan nilai jual barang. Fetisisme dikatakan tidak akan lekat dengan
barang, namun setelah kami berpikir ulang, jasa juga bisa diberikan nilai lebih
sehingga nilai yang lama seperti tergantikan oleh nilai baru. Yang kami jadikan
contoh disini adalah pijat. Pijat jika hanya menggunakan makna tradisional,
maka pijat hanya sekedar dinilai sekitar Rp 20.000,- namun jika pijat dilakukan
di satu ruangan yang memang dibuat untuk khusus, jasa pijat tersebut menjadi
tiga sampai lima kali lebih mahal dari biasanya.
Memang
menurut kami tidak baik menggunakan barang atau jasa yang sekiranya tidak
dibutuhkan hanya sekedar untuk pamer atau hal lainnya. Tapi kami juga tidak
menyalahkan pihak industri yang dengan kreatif menggunakan ide yang ada untuk
mengembangkan usaha dan kapital yang dimiliki kami rasa,jika individu memang
akan mencari untung dalam setiao hal yang ada.
Yang
terakhir, kita akan membahan konsumsi dan produksi biaya. Konsumsi memiliki
arti sugesti untuk menggunakan atau menerapkan.[9]
Pada kajian budaya sendiri, konsumsi berarti proses penerapan arti dan makna.
Jika mendengar kata konsumsi, kita akan ingat dengan kata konsumen. Kita perlu
merefleksikan diri lebih lagi mengenai nilai apa yang selama ini kita anggap
baik dan salaha. Kita perlu menelaah lebih mengenai oposisi biner yang ada di
dunia. Kita perlu menyadari bahwa oposisi biner yang ada ini adalah
keberhasilah dari power dan mungkin kebodohan kita dalam menerima ide yang ada.
Secara kasar kami mengatakan bahwa kita bodoh karena kita masih terkungkung
pada ide dan gagasan yang malah kita anggap selalu benar. Mungkin jika kita
sadar, kita tidak akan memandang orang lain lebih rendah atau lebih tinggi bagi
kita dan kita tidak akan memaksakan ide yang tertanam pada diri kita kepada
orang lain.
Kembali
lagi pada aspek konsumsi. Jika kita mengkonsumsi barang atau jasa, kita
mengeluarkan harga tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya oleh industri.
Harga yang diterapkan itu muncul atau diprosukdi oleh kombinasi skill dan kombinasi power yang memaksa.[10]
Jadi segala hal yang ada di dunia ini kembali lagi bagaimana dan seberapa besar
peran power terlibat dalam masyarakat.
Kesimpulan
dari tulisan kami kali ini adalah power merupakan konsep yang merujuk pada
produksi ide, hegemoni dan paksaan. Power tidak hanya berhenti sampai sini,
power ternyata membentuk pengetahuan yang kita ketahui dan juga dapat
memberikan nilai lebih kepada barang atau jasa yang ada. Dan yang lebih perlu
diperhatikan, kita dengan sukarela mengonsumsi ide dan gagasan yang
diberitahukan pada kita
Anggota:









Referensi
Barker,
Chris. 2004. The SAGE Dictionary of Cultural Studies. Sage Publications.
Barker,
Chris. 2005. Cultural Studies, Theory and Practice. SAGE Publications.
Budiharjo, Miriam.
2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta:Gramedia.
Campbell, Neil. 1998.
American Cultural Studies_ An Introduction to American Culture. New York.
Longhurst,
Brian, dkk. 2008. Introducing Cultural
Studies. Pearson
Sardar, Ziauddin. 1998. Introducing
Cultural Studies. Victoria:Mc Pherson Printing.
[1]
Barker, Chris. 2004. The SAGE Dictionary of Cultural Studies. Sage
Publications. (hal: 162)
[2]
Longhurst, Brian, dkk. 2008. Introducing
Cultural Studies. Pearson (hal.64)
[3]
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies, Theory and Practice - SAGE Publications.
(hal: 9)
[4] Budiharjo,
Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta:Gramedia. (hal:62)
[5] Campbell, Neil. 1998. American Cultural Studies_ An
Introduction to American Culture. New York. (hal: 14)n
[6] Sardar, Ziauddin. 1998. Introducing Cultural
Studies. Victoria:Mc Pherson Printing. (hal:27)
[7] Barker,
Chris. 2004. The SAGE Dictionary of Cultural Studies. Sage Publications. (hal:
28)
[8]
Longhurst,
Brian, dkk. 2008. Introducing Cultural
Studies. Pearson (hal.195)
[9] Barker,
Chris. 2004. The SAGE Dictionary of Cultural Studies. Sage Publications. (hal:
33)
[10] Longhurst,
Brian, dkk. 2008. Introducing Cultural
Studies. Pearson (hal:90)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar