Kamis, 16 Maret 2017

ISU LINGKUNGAN HIDUP DI WTO STUDI KASUS “INDIA ETC VS US: SHRIMP-TURTLE” DALAM DISPUTE SETTLEMENT BODY (WTO)

ISU LINGKUNGAN HIDUP DI WTO
STUDI KASUSINDIA ETC VS US: SHRIMP-TURTLE
DALAM DISPUTE  SETTLEMENT BODY (WTO)



KELOMPOK 1
MARIAH RAMANDISYAH
RIMA RACHMATIKA KM
RINA JUNITA. S
THERESIA CASSANDRA S.V




BAB I
PENDAHULUAN
1.1.         Latar Belakang
Lingkungan sudah menjadi salah satu isu yang di perhatikan dalam hubungan internasional, temasuk dalam perdagangan. Hubungan antara lingkungan dan perdagangan menjadi isu yang cukup sensitif dan menimbulkan pro kontra di banyak negara.[1] Dalam isu lingkungan, perdagangan dapat memberi pengaruh atas keberlangsungan lingkungan baik dalam hal positif maupun negatif.  Dibentuknya WTO pada 1 Januari 1995 sebagai kelanjutan GATT merupakan organisasi antar pemerintah  yang mewadahi sekitar 164 negara, memiliki wewenang dalam membuat peraturan dalam perdagangan internasional yang harus dipatuhi negara anggotanya.
Organisasi perdagangan dunia tersebut merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah di tandatangani oleh negara-negara anggota.
Isu lingkungan mendapat perhatian khusus didalam GATT/WTO sejak tahun 1971, pada saat itu GATT telah memiliki “Environmental Measures and International Trade  ” yang memperdulikan persoalan perdagangan dibelahan bumi selatan. Komisi ini dibentuk karena munculnya kecemasan bahwa kepentingan lingkungan akan menghambat perdagangan. [2] Namun kemudian pada tahun 1990 GATT yang telah berganti nama menjadi WTO juga menjadikan isu lingkungan hidup sebagai studi khusus.
WTO menawarkan kemudahan dalam perdagangan internasional sehingga mendapatkan kemudahan dalam pemasukan dan pertumbuhan GDP sehingga mempermudah dalam menyelesaian isu lingkungan hidup di negara-negara anggotanya maupun isu lingkungan di dunia.        Namun jika di temukan fakta-fakta yang terjadi, sesungguhnya praktik perdagangan internasional justru memperparah kondisi lingkungan dunia saat ini. Perdagangan internasional yang tentunya menciptakan banyak didirikannya Industri mendorong terjadinya kerusakan lingkungan, melakukan pembuangan limbah yang menyebabkan pencemaran baik diudara maupun lautan, deforestasi hutan untuk membangun lahan pertanian, perkebunan maupun pabrik, kepunahan hewan langka, pemanasan bumi, penipisan lapisan ozon bumi, polusi kendaraan, dan sampah.

1.2.         Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Fokus Isu Lingkungan Hidup di World Trade Organization (WTO) dan Studi Kasusnya ?

1.3.         Tujuan Penulisan

1.      Mengetahui Perkembangan Keterlibatan WTO dalam Isu Lingkungan Hidup
2.      Mengetahui Mekanisme Penyelesaian Isu Lingkungan Hidup di Dispute Settlement Body dalam WTO.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1.    Perkembangan Keterlibatan WTO Sebagai organisasi Perdagangan Internasional dengan Isu Lingkungan Hidup.
Perdagangan dan lingkungan, sebagai isu, bukan merupakan hal yang baru. Hubungan antara perdagangan dan perlindungan lingkungan, baik dampak kebijakan lingkungan terhadap perdagangan, dan dampak perdagangan terhadap lingkungan telah terjadi mulai tahun 1970. Kekhawatiran internasional tentang dampak pertumbuhan ekonomi pada keberlangsungan kehidupan sosial dan lingkungan menyebabkan kemudian diadakan sebuah konferensi internasional tentang bagaimana mengelola lingkungan yaitu Konferensi Stockholm.
Pada tahun 1972, PBB mengadakan Konferensi Lingkungan Hidup Manusia di Stockholm. Selama persiapan pada tahun 1971, Sekretariat Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT) diminta untuk memberikan kontribusi. [3]  Pembahasan difokuskan pada implikasi kebijakan perlindungan lingkungan pada perdagangan internasional. Pada bulan November 1971, GATT Dewan Perwakilan Rakyat sepakat untuk membentuk sebuah grup “Environmental Measures and International Trade  “ yang akan terbuka untuk semua anggota GATT (yaitu GATT penandatangan).  Namun, keputusan juga mengatakan kelompok hanya akan bersidang atas permintaan anggota GATT.[4]
Diskusi tentang hubungan antara pertumbuhan ekonomi, pembangunan sosial dan lingkungan yang awalnya dimulai pada Konferensi Stockholm terus berlanjut sepanjang tahun 1970-an dan 80-an. Pada tahun 1987, misalnya, “the World Commission on Environment and Development “ menghasilkan laporan berjudul Our Common Future (juga dikenal sebagai Laporan Brundtland), di mana istilah "pembangunan berkelanjutan" diciptakan. Laporan ini mengidentifikasi kemiskinan sebagai salah satu penyebab paling penting dari degradasi lingkungan, dan berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi yang lebih besar, didorong sebagian oleh peningkatan perdagangan internasional, dapat menghasilkan sumber daya yang diperlukan untuk memerangi apa yang telah menjadi dikenal sebagai "polusi kemiskinan".[5]
Fokus akan adanya perdagangan dan Lingkungan ini kemudian menjadi salah satu dasar terbentuknya WTO yang pada dasarnya merupakan kelanjutan dari GATT. Menjelang akhir 1986-1994 Putaran Uruguay, perhatian juga pada ke isu-isu lingkungan yang terkait dengan perdagangan. hal ini menyebabkan beberapa diskusi[6]
·          Selama Putaran Uruguay (1986-1994), isu-isu lingkungan yang terkait dengan perdagangan didiskusikan. Isu-isu lingkungan tertentu yang dibahas dalam GATT, Perjanjian tentang Pertanian, Sanitasi dan Phytosanitary Measures (SPS), Subsidi dan Countervailing Measures, dan Perdagangan Terkait Aspek Hak Kekayaan Intelektual.
·         Pada tahun 1982, sejumlah negara berkembang menyatakan keprihatinan bahwa produk yang dilarang di negara-negara maju atas dasar bahaya lingkungan, alasan kesehatan atau keselamatan, terus diekspor kenegara berkembang.
·         Pada 1982 GATT pertemuan tingkat menteri, anggota memutuskan untuk memeriksa langkah-langkah yang diperlukan untuk mengkontrol ekspor produk yang dilarang di dalam negeri sehingga tidak merugikan negara lain (dengan alasan membahayakan manusia, hewan, tumbuhan atau kesehatan, atau lingkungan).
·         Pada tahun 1991, terjadi perselisihan antara Meksiko dan Amerika Serikat menyoroti keterkaitan antara kebijakan perlindungan lingkungan dan perdagangan. Kasus ini terkait embargo AS pada impor tuna dari Meksiko, tertangkap menggunakan jaring pukat yang menyebabkan pembunuhan terhadap lumba-lumba. Meksiko mengimbau GATT dengan alasan bahwa embargo itu tidak konsisten dengan aturan perdagangan internasional.

Hasilnya keputusan menteri “ministerial Decision” di Marrakesh April 1994 di yaitu the preamble to the Marrakesh Agreement tentang pembentukan WTO, mengacu pada pentingnya bekerja menuju “Sustainable Development” dan para anggota WTO mengakui:
"Bahwa hubungan mereka di bidang perdagangan dan usaha ekonomi harus dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan standar hidup ..., sedangkan penggunaan optimal dari sumber daya di bumi disesuaikan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan, baik untuk melindungi dan melestarikan lingkungan dan untuk meningkatkan sarana harus di lakukan dengan cara yang konsisten disesuaikan kebutuhan masing-masing negara berdasarkan tingkat pembangunan ekonomi. "[7]

“Decision on Trade and Environment"
yang di buat di Marrakesh april 1994 juga menjadi dasar terbentuknya WTO, dimana didalamnya terdapat ketentuan dimana negara-negara Tidak perlu adanya pertentangan kebijakan antara menegakkan dan menjaga sistem perdagangan multilateral yang terbuka, tidak diskriminatif dan adil, dan bertindak untuk perlindungan lingkungan, dan promosi pembangunan berkelanjutan."
Tidak hanya sampai pembentukan “Decision on Trade and Environment” saja, WTO terus memfokuskan pada isu lingkungan. Sejak tahun 2006, Pascal Lamy, sebagai Direktur-Genderal WTO terus menyuarakan dukungan WTO atas lingkungan melalui berbagai organisasi lingkungan. Sejak tahun 2006 saja, tercatat bahwa lebih dari 40 kali dilakukan promosi perbaikan lingkungan yang dilakukan oleh Pascal Lamy. Dalam berbagai pidatonya itu, Pascal Lamy menekankan bahwa demi menjaga standar kehidupan, memastikan ketersediaan pekerjaan, meningkatkan pendapatan, serta memperluas perdagangan barang dan jasa, dibutuhkan sikap yang mnghargai lingkungan.

2.2.     Studi Kasus Lingkungan Hidup di Dispute Settlement Body : PENYU-UDANG
WTO menjadi badan perdagangan internasional yang sudah meberikan focus terhadap isu lingkungan. Salah satu nya adalah kasus penyu-udang yang di bawa oleh India, Malaysia, Pakistan dan Thailand untuk memprotes kebijakan Amerika Serikat pada tahun 1997.[8] Amerika Serikat menerapkan kebijakan perdagangan yang melarang impor jenis udang tertentu dan produk udang. Kasus tersebut menjadi kasus nomor 58 dan 61 dari dispute settlement body WTO.
Dalam kasus ini, terdapat tujuh jenis penyu yang teridentifikasi dan menyebar ke seluruh lautan dunia baik di daerah sub tropis maupun tropis. Penyu-penyu menghabiskan waktu berada di laut, dari berimigrasi, mencari makan, bertahan hidup dan berkembang biak. Namun aktivitas tersebut mendapatkan gangguan dari aktivtas manusia salah satunya dalam hal eksploitasi sumber daya laut.  Pencemaran laut, penghancuran habitat, ekploitasi daging, kerang dan telur membuat rusaknya ekosistem laut dan terancamnya keberadaan penyu yang sudah langka.
Lima spesies penyu yang terancam punah di perairan Amerika Serikat telah terdaftar pada Undang-undang Amerika Serikat “ Endagered Species” 1973 menyatakan di larangnya negara-negara terkait untuk mengambil, berburu, menangkap, membunuh penyu-penyu di perairan Amerika Serikat, di laut territorial dan laut lepas.[9] Penangkapan udang di daerah-daerah tersebut menggunakan kapal pukat udang di anggap menyebabkan resiko keselamatan penyu yang ikut terjaring dalam penjaringan udang tersebut.
Hukum Publik Amerika Serikat 101-102 bagian 609 mengatur hukum impor yang di berlakukan pada 1989 menyatakan : panen udang menggunakan teknologi memungkinkan kerugain atas penyu tertentu tidak di izinkan untuk di impor ke Amerika Serikat, kecuali panen bersertifikat bangsa  yang memiliki program regulasi dan incidental dengan tindakan yang sebanding dengan Amerikan Serikat lakukan, atau lingkungan pemancingan yang tidak menimbulkan ancaman bagi penyu”.[10]
Dari aturan hukum di atas, negara-negara yang memiliki salah satu dari lima spesies penyu dalam yuridiksi Amerika Serikat dan melakukan panen udang dengan teknologi harus memaksa nelayan untuk memenuhi syarat-syarat panen udang yang di tanggung oleh shrimpers Amerika Serikat untuk mendapatkan disertifikasi ekspor produk udang ke Amerika Serikat.
2.3.     Proses Penyelesaian Kasus Penyu-Udang pada Dispute Settlement Agreement

Pada 8 Oktober 1996 India, Malaysia, Pakistan dan Thailand meminta konsultasi dengan Amerika Serikat atas permasalahan udang-penyu. Permasalahan udang-penyu ini dianggap melukai artikel I, XI, XIII GATT 1994. Pada 9 Januari 1997, Malaysia dan Thailand mengajukan permohonan pembentukan panel dan pada 22 Januari 1997 ada pembahasan atas dibentuk panel oleh DSB. Kemudian pada 30 Januari 1997, Pakistan juga meminta pendirian panel. Baru pada 25 Februari 1997 india meminta dibentuk panel oleh DSB. Dsb baru setuju untuk mendirikan panel pada 10 April 1997.

Baru pada 15 April 1997 dibentuk panel dan pada 15 Mei 1998 sudah ada pelaporan panel kepada anggota. Pembelaan Amerika Serikat saat itu menggunakan artikel XX GATT 1994. Namun pembelaan ini tidak dapat digunakan atas pelanggaran pada artikel I GATT 1994. 13 Juli 1998 Amerika Serikat mengajukan keberatan atas keputusan yang diberikan panel dan mengajukan pembuatan Appealed Body (AB). Akhirnya dibentuklah AB pada 12 Oktober 1998 untuk emnangani keberatan Amerika Serikat ini. AB menyampaikan hasil pencarian data dan keputusannya kepada DSB pada 6 November 1998.



Baru pada 15 April 1997 dibentuk panel dan pada 15 Mei 1998 sudah ada pelaporan panel kepada anggota. Pembelaan Amerika Serikat saat itu menggunakan artikel XX GATT 1994. Namun pembelaan ini tidak dapat digunakan atas pelanggaran pada artikel I GATT 1994. 13 Juli 1998 Amerika Serikat mengajukan keberatan atas keputusan yang diberikan panel dan mengajukan pembuatan Appealed Body (AB). Akhirnya dibentuklah AB pada 12 Oktober 1998 untuk emnangani keberatan Amerika Serikat ini. AB menyampaikan hasil pencarian data dan keputusannya kepada DSB pada 6 November 1998.

Amerika serikat memberitahukan pada DSB bahwa Amerika Serikat akan mengimplementasikan rekomendasi panel dan AB yang telah disetujui DSB pada 25 November 1998. Amerika Serikat dan negara pelapor setuju bahwa implementasi akan dimulai tiga belas bulan setelah adopsi keputusan, yaitu 6 Desember 1999. Amerika serikat dan Malaysia sendiri memiliki persetujuan atas penerapan artikel 21 dan 22 DSU.
Penerapan yang disarankan DSB tidak dijalankan oleh Amerika Serikat dan membuat Malaysia melaporkan tindakan tersebut dengan landasan artikel 21.5 DSU pada 12 Oktober 2000. Pada 15 Juni 2001 dibentuk badan compliance. Badan kompliance tersebut terdiri dari Australia, Canada, Ecuador, India, Jepang, Mexico, Pakistan, Thailang, Hongkong, dan Komunitas Eropa. Ada tiga hal yang menjadi kesimpulan badan compliance, yaitu: (1)memastikan bahwa Amerika Serikat melanggar artikel XI:1 GATT 1994, (2)memastikan bahwa penerapan rekomendasi DSB pada bagian 609 Hukum Publik 101-162 telah memuaskan, dan (3)mengadopsi saran Malaysia untuk menilik kembali artikel 21.5 DSU. Pada 19 September 2001 AB menyatakan waktu penyampaian keputusan pada 22 Oktober 2001 atas kesimpulan compliance. Dan kembali diadopsi keputusan AB pada 21 November 2001.




2.4.     Keputusan Kasus Penyu-Udang
Dalam kasus ini, Amerika Serikat di nyatakan kalah oleh dispute settlement body.[11] Kepentingan Amerika Serikat untuk melindungi lingkungan terkendala oleh diskriminasi perdagangan oleh negara-negara anggota WTO lainnya.  Kebijakan Amerika Serikat tersebut membuat negara-negara di Barat terutama Karbia untuk mendapat teknis, bantuan keuangan dan periode transisi yang lama bagi para nelayan untuk menggunakan peralatan yang di syaratkan (turtle excluder).
Walaupun dalam laporannya Appelate Body menjelaskan di bawah aturan WT, negara memiliki hak untuk mengambil tindakan perdagangan untuk melindungi lingkungan (khususnya, manusia, hewan atau tanaman hidup dan kesehatan) dan spesies yang terancam punah dan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui). Serta pada pasal 20 GATT mengatur langkah-langkah perlindungan penyu dan berbagai pengecualian aturan perdagangan WTO dalam beberapa kriteria seperti non-diskriminasi perdagangan.[12] Kebijakan tersebut juga di nilai merugikan India, Malaysia, Pakistan dan Thailand yang mengalami tindak diskriminasi perdagangan.




BAB III
Penutup
3.1. Kesimpulan
Perdagangan dan lingkungan, sebagai isu, buka merupakan hal yang baru. Hubungan antara perdagangan dan perlindungan lingkungan, baik dampak kebijakan lingkungan terhadap perdagangan, dan dampak perdagangan terhadap lingkungan telah terjadi mulai tahun 1970. Kekhawatiran internasional tentang dampak pertumbuhan ekonomi pada keberlangsungan kehidupan sosial dan lingkungan yang mendasari PBB mengadakan Konferensi Lingkungan Hidup Manusia di Stockholm tahun 1972 dan GATT turut memberikan kontribusi.
“Decision on Trade and Environment" yang di buat di marrakesh april 1994 juga menjadi dasar terbentuknya WTO, dimana didalamnya terdapat ketentuan dimana negara-negara Tidak perlu adanya pertentangan kebijakan antara menegakkan dan menjaga sistem perdagangan multilateral yang terbuka, tidak diskriminatif dan adil, dan bertindak untuk perlindungan lingkungan, dan promosi pembangunan berkelanjutan."
Dibentuknya WTO turut membetuk pula Dispute Settlement Body yang mana menyelesaikan persengketaan perdagangan yang juga menyangkut masalah lingkungan hidup. Terdapat banyak kasus yang baru dilaporkan, sedang berjalan, atau bahkan diselesaikan melalui Dispute Settlement Body yang hanya berlaku bagi negara anggota WTO saja. Salah satu persengketaan yang terjadi yaitu mengenai kasus penyu-udang yang di bawa oleh India, Malaysia, Pakistan dan Thailand untuk memprotes kebijakan embargo Amerika Serikat pada tahun 1997 yang melarang impor jenis udang tertentu dan produk udang. Amerika Serikat melihat dalam pelaksanaan penangkapan udang oleh India, Malaysia, Pakistan, dan Thailand mengancam kehidupan habitat penyu dilautan.


DAFTAR PUSTAKA
Chauffour, Jean Pierre and Jean Christoper.M. 2011. PTA Policies  for Development. World Bank. Understanding WTO / WTO.org
Jurnal oleh Maarif,Syamsul.1999. WTO dan Lingkungan Hidup. Jakata: Universitas Indonesia
Mayasari, Kiki Puspita.2009.”Peran GATT/WTO Terhadap Isu Lingkungan Hidup Melalui Ekolabel Dalam Perdagangan Internasional. Medan Universitas sumatera Utara.




[1] Chauffour, Jean Pierre and Jean Christoper.M. 2011. PTA Policies  for Development. World Bank. Understanding WTO / WTO.org hlm. 407
[2] Dilihat dari Kiki Puspita Mayasari.2009.”Peran GATT/WTO Terhadap Isu Lingkungan Hidup Melalui Ekolabel Dalam Perdagangan Internasional. Medan Universitas sumatera Utara.
[3] Dilihat dari https://www.wto.org/english/tratop_e/envir_e/hist1_e.htm di akses pada 13 November 2016, pukul: 12.40 WIB
[4] Ibid, wto.org
[5] Dilihat dari https://www.wto.org/english/tratop_e/envir_e/hist1_e.htm di akses pada 13 November 2016, pukul: 13.00 WIB
[6] Ibid, wto.org
[7] Lihat https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/utw_chap3_e.pdf hlm. 67-68, di akses pada 13 November 2016, pukul: 18.00 WIB
[8]  Ibid
[9] Lihat https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/utw_chap3_e.pdf hlm. 67-68, di akses pada 13 November 2016, pukul: 18.00 WIB
[10] Ibid, hlm 67
[11] Lihat https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/utw_chap3_e.pdf hlm.68, di akses pada 13 November 2016, pukul: 18.00 WIB
[12] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar