ISU LINGKUNGAN HIDUP DI WTO
STUDI KASUS “INDIA ETC VS US: SHRIMP-TURTLE”
DALAM DISPUTE SETTLEMENT BODY (WTO)
KELOMPOK 1
MARIAH
RAMANDISYAH
RIMA
RACHMATIKA KM
RINA JUNITA. S
THERESIA
CASSANDRA S.V
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Lingkungan sudah menjadi salah satu isu yang
di perhatikan dalam hubungan internasional, temasuk dalam perdagangan. Hubungan
antara lingkungan dan perdagangan menjadi isu yang cukup sensitif dan
menimbulkan pro kontra di banyak negara.[1]
Dalam isu lingkungan, perdagangan dapat memberi pengaruh atas keberlangsungan
lingkungan baik dalam hal positif maupun negatif. Dibentuknya WTO pada 1 Januari 1995 sebagai
kelanjutan GATT merupakan organisasi antar pemerintah yang mewadahi sekitar 164 negara, memiliki
wewenang dalam membuat peraturan dalam perdagangan internasional yang harus
dipatuhi negara anggotanya.
Organisasi perdagangan dunia tersebut
merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah
perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui
suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional
sebagai hasil perundingan yang telah di tandatangani oleh negara-negara
anggota.
Isu lingkungan mendapat perhatian khusus didalam
GATT/WTO sejak tahun 1971, pada saat itu
GATT telah memiliki “Environmental Measures and International Trade ” yang memperdulikan persoalan perdagangan
dibelahan bumi selatan. Komisi ini dibentuk karena munculnya kecemasan bahwa
kepentingan lingkungan akan menghambat perdagangan. [2] Namun
kemudian pada tahun 1990 GATT yang telah berganti nama
menjadi WTO juga menjadikan isu lingkungan hidup sebagai studi
khusus.
WTO menawarkan kemudahan dalam perdagangan internasional sehingga mendapatkan
kemudahan dalam pemasukan dan pertumbuhan GDP sehingga mempermudah dalam menyelesaian
isu lingkungan hidup di negara-negara anggotanya maupun isu lingkungan di dunia. Namun jika di temukan fakta-fakta yang terjadi, sesungguhnya praktik perdagangan
internasional justru memperparah kondisi lingkungan dunia saat ini. Perdagangan internasional
yang tentunya menciptakan banyak didirikannya Industri mendorong terjadinya kerusakan
lingkungan, melakukan pembuangan limbah yang menyebabkan pencemaran baik
diudara maupun lautan, deforestasi hutan untuk membangun lahan pertanian,
perkebunan maupun pabrik, kepunahan hewan langka, pemanasan bumi, penipisan
lapisan ozon bumi, polusi kendaraan, dan sampah.
1.2.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Fokus Isu Lingkungan Hidup di World
Trade Organization (WTO) dan Studi Kasusnya ?
1.3.
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Perkembangan Keterlibatan
WTO dalam Isu Lingkungan Hidup
2. Mengetahui Mekanisme Penyelesaian Isu
Lingkungan Hidup di Dispute Settlement Body dalam WTO.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Perkembangan Keterlibatan WTO Sebagai organisasi
Perdagangan Internasional dengan Isu Lingkungan Hidup.
Perdagangan dan lingkungan, sebagai isu, bukan
merupakan hal yang baru. Hubungan antara perdagangan dan perlindungan
lingkungan, baik dampak kebijakan lingkungan terhadap perdagangan, dan dampak
perdagangan terhadap lingkungan telah terjadi mulai tahun 1970. Kekhawatiran
internasional tentang dampak pertumbuhan ekonomi pada keberlangsungan kehidupan
sosial dan lingkungan menyebabkan kemudian diadakan sebuah konferensi
internasional tentang bagaimana mengelola lingkungan yaitu Konferensi Stockholm.
Pada tahun 1972, PBB mengadakan Konferensi
Lingkungan Hidup Manusia di Stockholm. Selama persiapan pada tahun 1971,
Sekretariat Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT) diminta untuk
memberikan kontribusi. [3] Pembahasan difokuskan pada implikasi kebijakan
perlindungan lingkungan pada perdagangan internasional. Pada bulan November 1971, GATT Dewan
Perwakilan Rakyat sepakat untuk membentuk sebuah grup “Environmental Measures
and International Trade “ yang akan terbuka untuk semua anggota GATT
(yaitu GATT penandatangan). Namun, keputusan juga mengatakan kelompok
hanya akan bersidang atas permintaan anggota GATT.[4]
Diskusi tentang hubungan antara pertumbuhan ekonomi, pembangunan sosial dan
lingkungan yang awalnya
dimulai pada Konferensi Stockholm terus berlanjut
sepanjang tahun 1970-an dan 80-an. Pada tahun 1987,
misalnya, “the World Commission on
Environment and Development “ menghasilkan
laporan berjudul Our Common Future (juga dikenal sebagai Laporan Brundtland),
di mana istilah "pembangunan berkelanjutan" diciptakan. Laporan ini
mengidentifikasi kemiskinan sebagai salah satu penyebab paling penting dari
degradasi lingkungan, dan berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi yang lebih
besar, didorong sebagian oleh peningkatan perdagangan internasional, dapat
menghasilkan sumber daya yang diperlukan untuk memerangi apa yang telah menjadi
dikenal sebagai "polusi kemiskinan".[5]
Fokus akan adanya
perdagangan dan Lingkungan ini kemudian menjadi salah satu dasar terbentuknya
WTO yang pada dasarnya merupakan kelanjutan dari GATT. Menjelang akhir 1986-1994 Putaran Uruguay, perhatian juga pada ke
isu-isu lingkungan yang terkait dengan perdagangan. hal ini menyebabkan
beberapa diskusi[6]
·
Selama
Putaran Uruguay (1986-1994), isu-isu lingkungan yang terkait dengan perdagangan
didiskusikan. Isu-isu lingkungan tertentu yang dibahas dalam GATT, Perjanjian
tentang Pertanian, Sanitasi dan Phytosanitary Measures (SPS), Subsidi dan
Countervailing Measures, dan Perdagangan Terkait Aspek Hak Kekayaan Intelektual.
·
Pada tahun
1982, sejumlah negara berkembang menyatakan keprihatinan bahwa produk yang
dilarang di negara-negara maju atas dasar bahaya lingkungan, alasan kesehatan
atau keselamatan, terus diekspor kenegara berkembang.
·
Pada 1982 GATT
pertemuan tingkat menteri, anggota memutuskan untuk memeriksa langkah-langkah
yang diperlukan untuk mengkontrol
ekspor produk yang dilarang di dalam negeri sehingga tidak merugikan negara lain (dengan alasan membahayakan manusia, hewan, tumbuhan
atau kesehatan, atau lingkungan).
·
Pada tahun
1991, terjadi perselisihan antara Meksiko dan Amerika Serikat menyoroti
keterkaitan antara kebijakan perlindungan lingkungan dan perdagangan. Kasus ini
terkait embargo AS pada impor
tuna dari Meksiko,
tertangkap menggunakan jaring pukat
yang menyebabkan pembunuhan terhadap lumba-lumba.
Meksiko mengimbau GATT dengan alasan bahwa embargo itu tidak konsisten dengan
aturan perdagangan internasional.
Hasilnya keputusan
menteri “ministerial Decision” di Marrakesh April 1994 di yaitu the preamble to
the Marrakesh Agreement tentang pembentukan WTO, mengacu pada pentingnya
bekerja menuju “Sustainable Development” dan para anggota WTO mengakui:
"Bahwa
hubungan mereka di bidang perdagangan dan usaha ekonomi harus dilakukan dengan
tujuan untuk meningkatkan standar hidup ..., sedangkan penggunaan optimal dari
sumber daya di bumi disesuaikan
dengan tujuan pembangunan berkelanjutan, baik untuk melindungi dan melestarikan
lingkungan dan untuk meningkatkan sarana harus di lakukan
dengan cara yang konsisten disesuaikan kebutuhan
masing-masing negara berdasarkan
tingkat pembangunan ekonomi.
"[7]
“Decision on Trade and Environment" yang di buat di Marrakesh april 1994 juga menjadi dasar terbentuknya WTO, dimana didalamnya terdapat ketentuan dimana negara-negara Tidak perlu adanya pertentangan kebijakan antara menegakkan dan menjaga sistem perdagangan multilateral yang terbuka, tidak diskriminatif dan adil, dan bertindak untuk perlindungan lingkungan, dan promosi pembangunan berkelanjutan."
Tidak hanya sampai pembentukan
“Decision on Trade and Environment” saja, WTO terus memfokuskan pada isu
lingkungan. Sejak tahun 2006, Pascal Lamy, sebagai Direktur-Genderal WTO terus
menyuarakan dukungan WTO atas lingkungan melalui berbagai organisasi
lingkungan. Sejak tahun 2006 saja, tercatat bahwa lebih dari 40 kali dilakukan
promosi perbaikan lingkungan yang dilakukan oleh Pascal Lamy. Dalam berbagai pidatonya
itu, Pascal Lamy menekankan bahwa demi menjaga standar kehidupan, memastikan
ketersediaan pekerjaan, meningkatkan pendapatan, serta memperluas perdagangan
barang dan jasa, dibutuhkan sikap yang mnghargai lingkungan.
2.2.
Studi Kasus
Lingkungan Hidup di Dispute Settlement Body :
PENYU-UDANG
WTO menjadi badan perdagangan internasional
yang sudah meberikan focus terhadap isu lingkungan. Salah satu nya adalah kasus
penyu-udang yang di bawa oleh India, Malaysia, Pakistan dan Thailand untuk
memprotes kebijakan Amerika Serikat pada tahun 1997.[8]
Amerika Serikat menerapkan kebijakan perdagangan yang melarang impor jenis
udang tertentu dan produk udang. Kasus tersebut menjadi kasus nomor 58 dan 61
dari dispute settlement body WTO.
Dalam kasus ini, terdapat tujuh jenis penyu
yang teridentifikasi dan menyebar ke seluruh lautan dunia baik di daerah sub
tropis maupun tropis. Penyu-penyu menghabiskan waktu berada di laut, dari
berimigrasi, mencari makan, bertahan hidup dan berkembang biak. Namun aktivitas
tersebut mendapatkan gangguan dari aktivtas manusia salah satunya dalam hal
eksploitasi sumber daya laut. Pencemaran
laut, penghancuran habitat, ekploitasi daging, kerang dan telur membuat
rusaknya ekosistem laut dan terancamnya keberadaan penyu yang sudah langka.
Lima spesies penyu yang terancam punah di perairan Amerika Serikat telah
terdaftar pada Undang-undang Amerika Serikat “ Endagered Species” 1973
menyatakan di larangnya negara-negara terkait untuk mengambil, berburu,
menangkap, membunuh penyu-penyu di perairan Amerika Serikat, di laut
territorial dan laut lepas.[9]
Penangkapan udang di daerah-daerah tersebut menggunakan kapal pukat udang di
anggap menyebabkan resiko keselamatan penyu yang ikut terjaring dalam
penjaringan udang tersebut.
“Hukum
Publik Amerika Serikat 101-102 bagian 609 mengatur hukum impor yang di
berlakukan pada 1989 menyatakan : panen udang menggunakan teknologi
memungkinkan kerugain atas penyu tertentu tidak di izinkan untuk di impor ke
Amerika Serikat, kecuali panen bersertifikat bangsa yang memiliki program regulasi dan incidental
dengan tindakan yang sebanding dengan Amerikan Serikat lakukan, atau lingkungan
pemancingan yang tidak menimbulkan ancaman bagi penyu”.[10]
Dari aturan hukum di atas, negara-negara yang
memiliki salah satu dari lima spesies penyu dalam yuridiksi Amerika Serikat dan
melakukan panen udang dengan teknologi harus memaksa nelayan untuk memenuhi
syarat-syarat panen udang yang di tanggung oleh shrimpers Amerika Serikat untuk mendapatkan disertifikasi ekspor
produk udang ke Amerika Serikat.
2.3.
Proses
Penyelesaian Kasus Penyu-Udang pada Dispute Settlement Agreement
Pada 8
Oktober 1996 India, Malaysia, Pakistan dan Thailand meminta konsultasi dengan
Amerika Serikat atas permasalahan udang-penyu. Permasalahan udang-penyu ini dianggap
melukai artikel I, XI, XIII GATT 1994. Pada 9 Januari 1997, Malaysia dan
Thailand mengajukan permohonan pembentukan panel dan pada 22 Januari 1997 ada
pembahasan atas dibentuk panel oleh DSB. Kemudian pada 30 Januari 1997,
Pakistan juga meminta pendirian panel. Baru pada 25 Februari 1997 india meminta
dibentuk panel oleh DSB. Dsb baru setuju untuk mendirikan panel pada 10 April
1997.
Baru
pada 15 April 1997 dibentuk panel dan pada 15 Mei 1998 sudah ada pelaporan
panel kepada anggota. Pembelaan Amerika Serikat saat itu menggunakan artikel XX
GATT 1994. Namun pembelaan ini tidak dapat digunakan atas pelanggaran pada
artikel I GATT 1994. 13 Juli 1998 Amerika Serikat mengajukan keberatan atas
keputusan yang diberikan panel dan mengajukan pembuatan Appealed Body (AB).
Akhirnya dibentuklah AB pada 12 Oktober 1998 untuk emnangani keberatan Amerika
Serikat ini. AB menyampaikan hasil pencarian data dan keputusannya kepada DSB
pada 6 November 1998.
Baru pada 15 April 1997 dibentuk panel dan pada 15 Mei
1998 sudah ada pelaporan panel kepada anggota. Pembelaan Amerika Serikat saat
itu menggunakan artikel XX GATT 1994. Namun pembelaan ini tidak dapat digunakan
atas pelanggaran pada artikel I GATT 1994. 13 Juli 1998 Amerika Serikat
mengajukan keberatan atas keputusan yang diberikan panel dan mengajukan
pembuatan Appealed Body (AB). Akhirnya dibentuklah AB pada 12 Oktober 1998
untuk emnangani keberatan Amerika Serikat ini. AB menyampaikan hasil pencarian
data dan keputusannya kepada DSB pada 6 November 1998.
Amerika serikat memberitahukan pada DSB bahwa Amerika
Serikat akan mengimplementasikan rekomendasi panel dan AB yang telah disetujui
DSB pada 25 November 1998. Amerika Serikat dan negara pelapor setuju bahwa
implementasi akan dimulai tiga belas bulan setelah adopsi keputusan, yaitu 6
Desember 1999. Amerika serikat dan Malaysia sendiri memiliki persetujuan atas
penerapan artikel 21 dan 22 DSU.
Penerapan yang disarankan DSB tidak dijalankan oleh Amerika
Serikat dan membuat Malaysia melaporkan tindakan tersebut dengan landasan
artikel 21.5 DSU pada 12 Oktober 2000. Pada 15 Juni 2001 dibentuk badan
compliance. Badan kompliance tersebut terdiri dari Australia, Canada, Ecuador,
India, Jepang, Mexico, Pakistan, Thailang, Hongkong, dan Komunitas Eropa. Ada
tiga hal yang menjadi kesimpulan badan compliance, yaitu: (1)memastikan bahwa
Amerika Serikat melanggar artikel XI:1 GATT 1994, (2)memastikan bahwa penerapan
rekomendasi DSB pada bagian 609 Hukum Publik 101-162 telah memuaskan, dan
(3)mengadopsi saran Malaysia untuk menilik kembali artikel 21.5 DSU. Pada 19
September 2001 AB menyatakan waktu penyampaian keputusan pada 22 Oktober 2001
atas kesimpulan compliance. Dan kembali diadopsi keputusan AB pada 21 November
2001.
2.4.
Keputusan Kasus
Penyu-Udang
Dalam kasus ini, Amerika Serikat di nyatakan
kalah oleh dispute settlement body.[11]
Kepentingan Amerika Serikat untuk melindungi lingkungan terkendala oleh
diskriminasi perdagangan oleh negara-negara anggota WTO lainnya. Kebijakan Amerika Serikat tersebut membuat
negara-negara di Barat terutama Karbia untuk mendapat teknis, bantuan keuangan
dan periode transisi yang lama bagi para nelayan untuk menggunakan peralatan
yang di syaratkan (turtle excluder).
Walaupun dalam laporannya Appelate Body
menjelaskan di bawah aturan WT, negara memiliki hak untuk mengambil tindakan
perdagangan untuk melindungi lingkungan (khususnya, manusia, hewan atau tanaman
hidup dan kesehatan) dan spesies yang terancam punah dan sumber daya yang tidak
dapat diperbaharui). Serta pada pasal 20 GATT mengatur langkah-langkah
perlindungan penyu dan berbagai pengecualian aturan perdagangan WTO dalam
beberapa kriteria seperti non-diskriminasi perdagangan.[12]
Kebijakan tersebut juga di nilai merugikan India, Malaysia, Pakistan dan
Thailand yang mengalami tindak diskriminasi perdagangan.
BAB III
Penutup
3.1. Kesimpulan
Perdagangan dan lingkungan,
sebagai isu, buka merupakan hal yang baru. Hubungan antara perdagangan dan
perlindungan lingkungan, baik dampak kebijakan lingkungan terhadap perdagangan,
dan dampak perdagangan terhadap lingkungan telah terjadi mulai tahun 1970. Kekhawatiran
internasional tentang dampak pertumbuhan ekonomi pada keberlangsungan kehidupan
sosial dan lingkungan yang mendasari PBB
mengadakan Konferensi Lingkungan Hidup Manusia di Stockholm tahun 1972 dan GATT
turut memberikan kontribusi.
“Decision on Trade and
Environment" yang di buat di marrakesh april 1994 juga menjadi dasar terbentuknya WTO,
dimana didalamnya terdapat ketentuan dimana negara-negara Tidak perlu adanya pertentangan kebijakan antara menegakkan dan
menjaga sistem perdagangan multilateral yang terbuka, tidak diskriminatif dan
adil, dan bertindak untuk perlindungan lingkungan, dan promosi pembangunan
berkelanjutan."
Dibentuknya WTO turut
membetuk pula Dispute Settlement Body
yang mana menyelesaikan persengketaan perdagangan yang juga menyangkut masalah
lingkungan hidup. Terdapat banyak kasus yang baru dilaporkan, sedang berjalan,
atau bahkan diselesaikan melalui Dispute
Settlement Body yang hanya berlaku bagi negara anggota WTO saja. Salah satu
persengketaan yang terjadi yaitu mengenai kasus penyu-udang yang di bawa oleh India,
Malaysia, Pakistan dan Thailand untuk memprotes kebijakan embargo Amerika Serikat pada tahun 1997 yang melarang
impor jenis udang tertentu dan produk udang. Amerika Serikat melihat dalam pelaksanaan penangkapan
udang oleh India, Malaysia, Pakistan, dan Thailand mengancam kehidupan habitat penyu dilautan.
DAFTAR
PUSTAKA
Chauffour, Jean Pierre and Jean Christoper.M. 2011. PTA Policies for Development. World Bank. Understanding WTO / WTO.org
Jurnal oleh Maarif,Syamsul.1999. WTO dan Lingkungan Hidup. Jakata:
Universitas Indonesia
Mayasari, Kiki Puspita.2009.”Peran GATT/WTO Terhadap Isu
Lingkungan Hidup Melalui Ekolabel Dalam Perdagangan Internasional. Medan
Universitas sumatera Utara.
[1] Chauffour, Jean Pierre and Jean Christoper.M. 2011. PTA Policies for Development. World Bank. Understanding WTO / WTO.org hlm. 407
[2] Dilihat dari Kiki Puspita
Mayasari.2009.”Peran GATT/WTO Terhadap Isu Lingkungan Hidup Melalui Ekolabel
Dalam Perdagangan Internasional. Medan Universitas sumatera Utara.
[3] Dilihat dari https://www.wto.org/english/tratop_e/envir_e/hist1_e.htm di akses pada 13 November 2016, pukul:
12.40 WIB
[5] Dilihat dari https://www.wto.org/english/tratop_e/envir_e/hist1_e.htm di akses pada 13 November 2016, pukul:
13.00 WIB
[7] Lihat https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/utw_chap3_e.pdf hlm.
67-68, di akses
pada 13 November 2016, pukul: 18.00 WIB
[8] Ibid
[9] Lihat https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/utw_chap3_e.pdf hlm.
67-68, di akses
pada 13 November 2016, pukul: 18.00 WIB
[10] Ibid,
hlm 67
[11] Lihat https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/utw_chap3_e.pdf
hlm.68, di akses
pada 13 November 2016, pukul: 18.00 WIB
[12] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar