Kamis, 16 Maret 2017

ANALISIS EFEK DOMINO : STUDI KASUS KONFLIK INTERNAL DI SURIAH DAN PENGUNGSIAN DI JERMAN

ANALISIS EFEK DOMINO : STUDI KASUS KONFLIK INTERNAL DI SURIAH DAN PENGUNGSIAN DI JERMAN
Dimas Dwi Santoso
Nisrina Khansa K
Theresia Cassandra Saka V



Latar Belakang
Hubungan Internasional tentunya merupakan kajian multidisiplin yang mengkaji hampir semua hal. Diantara hal-hal yang dikaji oleh hubungan internasional, yang paling kentara adalah kajian terhadap konflik. Konflik sendiri dapat terjadi hanya didalam satu negara atau juga antar-negara. Kali ini kami akan membahas konflik internal. Konflik internal adalah kekerasan atau potensi kekerasan politik yang disebabkan faktor domestik dimana kekerasan bersenjata menjadi ancaman utama didalam satu batas negara yang juga dapat memengaruhi negara lain.[1]
Dari pengertian diatas, diketahui bahwa sebenarnya konflik internal terjadi di satu negara namun memengaruhi negara lainnya. Contoh konflik internal yang memengaruhi negara lain adalah konflik yang terjadi di Syria. Konflik internal yang terjadi di Syria membuat sebagian besar warganya menjadi refugee Syria datang ke Jerman. Konflik internal yang terjadi di Syria kemudian tidak hanya menimbulkan masalah di Syria namun juga ke Jerman. Pada penelitian kali ini, kelompok kami akan melihat efek domino yang ditimbulkan oleh konflik internal pada kasus Syria-Jerman.
Pembahasan
Konflik Internal
Seperti yang telah disebutkan pada latar belakang diatas, kami ingin melihat efek domino yang ditimbulkan konflik internal di Syria terhadap ledakan refugee di Jerman. Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai domino efek yang terjadi karena konflik internal Syria erhadap ledakan refugee di Jerman, lebih dulu kita perlu memahami konflik internal. Berikut ini adalah pemahaman mengenai konflik internal yang kelompok kami dapatkan dari beberapa sumber.
Penulis
Judul Buku
Definisi Konflik Internal
Penyebab Konflik Internal
Michael E. Brown
The International Dimensions of Internal Conflict
Konflik internal adalah kekerasan atau potensi kekerasan politik yang disebabkan faktor domestik dimana kekerasan bersenjata menjadi ancaman utama didalam satu batas negara yang juga dapat memengaruhi negara lain.
Konflik internal disebabkan adanya keputusan politik yang tidak disetujui oleh masyarakatnya, sehingga menimbulkan konflik internal.
Michael Eddison
Violent Politics: Strategies of Internal Conflicts
Konflik internal adalah kekerasan politik.
Konflik internal disebabkan karena adanya tekanan politis dari dalam negara.
 Gad Barzilai
Wars, Internal Conflicts, and Political Order: A Jewish Democracy in the Middle East
Konflik bersenjata didalam kebijakan politik satu negara.
Konflik persenjataan yang terjadi ini karena adanya perbedaan pandangan terhadap kebijakan politik yang dimunculkan.
Lindsay Moir
The Law of Internal Arm Conflicts.
Konflik internal adalah konflik persenjataan internal.
Konflik internal muncul karena adanya perbedaan nilai dan dikarenakan adanya perbedaan waktu serta tempat.

Dari beberapa pengertian diatas, diketahui bahwa konflik internal adalah konflik yang terjadi karena adanya perbedaan nilai yang menimbulkan adanya perbedaan interpretasi atas kebijakan politis yang diambil. Perbedaan interpretasi itu akhirnya menimbulkan aksi ekstrim oleh masyarakat yang kontra pada penerapan kebijakan politik yang diambil. Penyebab timbulnya konflik internal sendiri karena kebijakan politis. Ditegaskan lebih lagi dalam tulisan Michael Brown dan Michael Eddison bahwa sekalipun yang menyebabkan munculnya konflik adalah perseteruan kebijakan perekonomian, dianggap bahwa kebijakan perekonomian yang ada adalah bagian dari kebijakan politis.
Konflik Internal Syria
Konflik internal yang terjadi di Syria diawali bukan hanya dari keputusan politik yang baru saja diambil, melainkan juga konflik panjang yang muncul satu dekade yang lalu. Dari kota Deraa menuju kota-kota pinggiran Latakia dan Banyas di Pantai Mediterania atau laut Tengah, Homs, Ar Rasta, dan Hama di Suriah Barat, serta Deir es Zor di Suriah Timur.[2] Lalu protes yang terjadi menjadi sebuah perang sipil yang semakin besar yang terjadi di Suriah. Kemudian konflik yang terjadi menyebabkan munculnya dua kekuatan besar, karena terpecahnya dua bagian di kota ini dan konflik yang terjadi dapat disebut dengan konflik agama karena adanya pertentangan ideologi antara dua kekuatan besar tersebut, yaitu kaum Sunni dan Alawi (kaum Iran yang bermazhab Syi’ah) dalam konflik tersebut. Sunni merupakan penentang utama rezim Bashar al Assad  yang didominasi dan didukung oleh orang-orang Alawite. Dimana para kelompok Sunni tersebut didukung oleh negara-negara Arab Saudi, Afganistan, dan Quwait. Sedangkan para pendukung pemerintahan Assad adalah orang-orang Iran.
Konflik internal ‘etnis’ tersebut adalah bentuk dan bukti awal bahwa konflik syria tidak berhenti dari satu dekade lebih. Masalah internal yang baru muncul dari sektor ekonomi. Masalah-masalah seperti tingginya jumlah pengangguran, tingginya inflasi, terbatasnya kesempatan bagi masyaratkat untuk dapat melakukan mobilitas sosial, adanya pembatasan kebebasan politik, dan aparat keamanan yang anarkis menyebabkan munculnya permasalahan internal di Syria. Kemudian munculnya protes yang dilakukan oleh masyarakat Suriah terhadap kepemimpinan rezim Bashar al Assad agar bisa turun dari tahtanya juga merupakan faktor munculnya konflik di Syria. Namun hal tersebut tidak menimbulkan perubahan yang berarti pada rezim yang ada. Buktinya adalah kepemimpinan yang ada adalah keturunan dari Assad dan hal tersebut dilakukan secara terus-menerus. Pada saat rezim dipimpin oleh anak Bashar al Assad yaitu Hafez al Assad selama empat tahun hingga saat ini, perubahan-perubahan yang terjadi masih jauh dari kata baik.
Pembangunan yang dilakukan masih sangat tidak memuaskan, baik di bidang sosial, politik, maupun ekonomi bagi Suriah. PBB dan juga kelompok pembela HAM memberikan informasi bahwa pada November 2013 lalu, Oxford Research Group telah  melaporkan bahwa tercatat hingga 11 ribu anak-anak yang ada di Suriah telah terbunuh akibat konflik tersebut.[3] Serta jumlah korban yang tercatat telah mencapai 100.000 jiwa, dan pada September 2013, UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) telah mencatat bahwa masyarakat Suriah telah menjadi pengungsi (refugees)  dengan jumlah ratusan orang yang mendapatkan bantuan internasional serta 2 juta jiwa yang melakukan pengungsian ke negara tetangga, yaitu Yordania, Irak, Libanon, dan Turki.[4] 
Dampak perang tersebut juga menyebabkan terjadinya krisi humaniter di Suriah dan juga terjadi ketegangan antara masyarakat asli negara tempat pengungsi dan masyarakat yang mengungsi asal Suriah. Bahkan Robert Lindren mengatakan bahwa lebih dari 11 juta orang yang ada di Suriah tergantung dengan bantuan humaniter, sekitar 7,6 juta menjadi korban kekerasan di negara asalnya sendiri (Suriah), sekitar 3,7 juta masyarakat asli Suriah mengungsi ke luar negeri. menurut data sejak tahun 2013, tiga perempat masyarakat yang m,asih bertahan di Suriah mengalami kemiskinan yang sudah sangat parah, karena perang yang terus menerus terjadi setidaknya 200.000 orang di sana mengalami kelaparan dan kekurangan sumber air bersih.[5]
Akibatnya muncullah protes yang dilakukan oleh masyarakat untuk meminta pembebasan terhadap anak-anak yang sedang ditahan. Namun, tidak disangka respon yang dilakukan oleh para tentara Suriah itu sangat berlebihan, dimana mereka menembaki para masyarakat gelombang protes tersebut sampai menyebabkan beberapa yang mengikuti aksi tersebut meninggal. Hal inilah yang semakin menyulut aksi protes yang terjadi di Suriah. Setelah terjadi hal tersebut bukan malah membuat mereka berhenti untuk memprotes tetapi malah menjadi semakin melus aksi yang mereka lakukan.

Efek Ledakan Refugee Syria di Jerman
Kasus pengungsian yang melanda Uni Eropa telah terjadi sejak tahun 1990 dengan angka 400.000 orang pertahunnya. Sehingga, sejak tahun 2012 yang secara intensif mengimpelemtasikan sistem Dublin I, II, dan III sebagai bentuk tindak preventif dari pembludakan jumlah pengungsi konflik di negara lain.

Namun, sejak tahun 2015 lalu, sistem dublin mengalami penurunan dalam pengimplemetasiannya, sehingga terjadi peningkatan pengungsi secara signifikan. Salah satu negara yang mengalami peningkatan penerimaan pengungsi yang terbesar di Uni Eropa adalah Jerman. Jerman menjadi tempat tujuan utama para pengungsi Suriah terbesar kedua setelah Turki, yaitu 31,94 persen dari pengungsi total di Uni Eropa (442.000 orang) pada tahun 2015, atau berjumlah 70 ribu orang. Pada kasus ini, memperlihatkan bahwa konflik internal di Suriah mengakibatkan lahirnya kasus pengungsian di negara. Selain itu, Suriah menjadi negara pengungsi terbesar per tahunnya, yang mencapai 2 juta orang. Tidak hanya itu, efek lain dari kasus pengungsian masyarakat Suriah menyebabkan efek domino lainnya di Jerman.

Efek domino disebut juga sebagai dampak berlanjut dari konflik yang sedang atau telah terjadi. Hal  ini menjelaskan bahwa konflik internal tidak hanya berdampak pada aktor atau wilayah pelakunya. Melainkan juga berpotensi berdampak di negara, wilayah, atau bahkan stakeholder di luarnya, dan dampak lanjut dan meluas tersebut disebut dengan efek domino. Salah satu efek domino yang terjadi karena adanya konflik internal di Suriah adalah terjadi di Jerman. Khususnya pada aspek ekonomi fiskal, imigrasi, dan protes sentimen masyarakat lokal.

Efek Dublin I : Efek Fiskal di Jerman

Jerman mengalami kenaikan signifikan pengeluaran untuk menyediakan tempat dan fasilitas bagi para pengungsi Suriah. Sejak tahun 2014 terus mengalami peningkatan hingga tahun 2016 ini, yaitu 2014 pengeluaran bernilai 0,08 persen dari total GDP jerman, meningkat menjadi 0,20 persen pada tahun 2015, dan pada tahun 2016 meningkat menjadi 0,35 persen. Hal ini yang menyebabkan adanya potensi pengalihan alokasi pendaan Jerman di luar rencan Jerman sendiri.

Efek Dublin II : Efek Serapan Imigran

Sejak adanya penerimaan pengungsian di Jerman, akibatnya Jerman harus memperketat penyerapan imigran yang datang dari luar negeri. Jadi dapat memicu keterbatasan jerman untuk menyerap tenaga asing, dan keterbatasan Jerman untuk dikunjungi. Sehingga berpotensi mengancam iklim buruk pada ekonomi negara Jerman.[6]

Efek Dublin III : Efek Tuntutan Masyarakat Lokal

Penuntutan secara pribadi yang bersifat sentimental oleh masyarakat lokal atas pelegalan Islam di Jerman, karena mayoritas pengungi adalah beragama Islam.[7]



Pengungsian di Uni Eropa tahun 2014 - 2016[8]

Pengaruh Konflik Internal Terhadap Keamanan Negara
Konflik internal tentu akan mempengaruhi keamanan negara. Diketahui bahwa bahkan keamanan internasional pun dipengaruhi oleh keamanan negara. Keamanan negara yang memengaruhi keamanan internasional dipengaruhi oleh keamanan internal negara dan keamanan internal negara dapat dlihat dari ada/tidak adanya konflik didalam negara.[9]
Pengaruh yang muncul karena adanya konflik internal adalah tidak stabilnya keamanan negara. Ketidak-stabilan keamanan negara ini dapat menimbulkan dua dampak besar, yaitu akan timbulnya perbaruan dan perbaikan terhadap kebijakan politik yang ada atau justru akan menimbulkan kehancuran negara.
Dari kasus Syria, diketahui bahwa munculnya refugee merupakan bentuk negatif dari konflik internal. Konflik internal di syria muncul dengan kekerasan bersenjata oleh pemerintah yang secara terus menerus “membunuh” warganya yang tidak setuju atas kebijakan politik yang ada di Syria. Sejauh data yang kami dapatkan, Syria belum melakukan perbaikan atau penilikan ulang atas kebijakan politiknya untuk mengurangi dampak konflik internal. Bahkan dampak dari konflik internal ini juga menghambat tercapainya perdamaian positif dalam bidang ekonomi. Konflik internal di Syria dapat memicu kegagalan negara akibat “hilangnya” masyarakat dari Syria yang menimbulkan hancurnya perekonomian negara.
Konflik internal yang terjadi di Syria tidak hanya menimbulkan efek dinegara-nya saja, tapi juga mempengaruhi negara lain, terlebih Jerman. Efek domino yang ditimbulkan di Jerman bisa dilihat melalui Efek Dublin yang terjadi. Terlebih lagi tidak hanya efek dublin, melainkan adanya perubahan kebijakan luar negeri dan kebijakan pekerja di Jerman seperti yang telah kami jabarkan diatas.
Jika dikatakan bahwa negara takut terhadap konflik internal yang terjadi di dalam negaranya, secara general pasti terjadi. Namun jika kita melihat kasus yang terjadi antara Syria-Jerman, maka diketahui yang mengalami ketakutan justru Jerman, yang notabene bukanlah negara yang mengalami konflik internal. Syria yang sebenarnya sumber konflik justru hirau atas konflik internal yang terjadi. Hal ini dibuktikan dengan respons yang diberikan Syria pada masyarakatnya yang “mengungsi”, dengan memberikan ancaman dan bahkan melakukan kekerasan bersenjata.
Kesimpulan
Dari penelitian yang kami lakukan, terlihat bahwa kami mendapatkan kerangka berpikir seperti dibawah ini:
Konflik internal adalah konflik yang didorong adanya perbedaan pandangan politik yang terkadang mengakibatkan munculnya kekerasan bersenjata dari negara atau pun aktor non-negara. Konflik internal yang terjadi ini tidak hanya memengaruhi satu negara namun juga lintas batas negara. Hal ini dibuktikan dengan kasus yan terjadi antara Syria-Jerman. Konflik internal yang terjadi di Syria sendiri mengakibatkan efek domino, baik di Syria maupun Jerman.
Efek yang muncul di Syria berpengaruh pada degradasi ekonomi di Syria dan juga turunnya keamanan dalam negara. Sedangkan di Jerman, efek domino yang muncul terlihat dari banyak sektor, pada efek dublin I, II, dan III.



Referensi:
Aiyar, Shekhar, dkk. 2016. IMF Staff Discussion Note: The Refugee Surge in Europe: Economic Challenges Topalova. Euro
Moir, Lindsay. 2012. The Law of Internal Armed Conflict. Cambridge University Press.
Barzilai, Gad. 1996.  Wars, Internal Conflicts, and Political Order: A Jewish Democracy in the Middle East-State. University of New York Press.
Addison, Michael. 2002. Violent Politics_: Strategies of Internal Conflict.
Brown, Michael E. 1996. The International Dimensions of Internal Conflict.The MIT Press: Massachusetts.
Siti Muti’ah, “Pergolakan Panjang Suriah: Masih Adakah Pan-Arabisme dan Pan-Islamisme” dalam Jurnal CMES Volume V Nomor 1, Edisi Juli-Desember 2012.
Al-Jazeera. 24 November 2013. Report: Over 11,000 Syrian Children Killed in War, Most by Explosives.
William, Paul D. 2008. Security Studies: An Introducion. Routledge.





[1] Brown, Michael E. 1996. The International Dimensions of Internal Conflict.The MIT Press: Massachusetts. (hal:)
[2]Siti Muti’ah, “Pergolakan Panjang Suriah: Masih Adakah Pan-Arabisme dan Pan-Islamisme” dalam Jurnal CMES Volume V Nomor 1, Edisi Juli-Desember 2012, hlm. 5

[3] Al-Jazeera. 24 November 2013. Report: Over 11,000 Syrian Children Killed in War, Most by Explosives.
[4] UN Agency. 3 September 2013. Number of Syrian refugees tops 2 million, with ‘more on the way’. Diakses dari http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=45757#.WDTYHrlc5-Q
[5] Suriah Terjerumus Dalam Bencana Humaniter, Diakses dari http://www.dw.com/id/suriah-terjerumus-dalam-bencana-humaniter/a-18314169
[6] Dikutip dari buku laporan : Shekhar Aiyar, Bergljot Barkbu, Nicoletta Batini, Helge Berger, Enrica Detragiache, Allan Dizioli, Christian Ebeke, Huidan Lin, Linda Kaltani, Sebastian Sosa, Antonio Spilimbergo, and Petia. IMF Staff Discussion Note. 2016. The Refugee Surge in Europe: Economic Challenges Topalova. Euro
[7] dikutip dari laman : https://www.rt.com/news/346930-islamophobia-germany-refugees-study/ diakses pada tanggal: 22 November 2016, pukul : 20.31 WIB.
[8] Dikutip dari buku laporan : Shekhar Aiyar, Bergljot Barkbu, Nicoletta Batini, Helge Berger, Enrica Detragiache, Allan Dizioli, Christian Ebeke, Huidan Lin, Linda Kaltani, Sebastian Sosa, Antonio Spilimbergo, and Petia. IMF Staff Discussion Note. 2016. The Refugee Surge in Europe: Economic Challenges Topalova. Euro
[9] William, Paul D. 2008. Security Studies: An Introducion. Routledge. (chapter 9)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar