Kamis, 16 Maret 2017

Realism dan kritik


REALISM

E.H Carr
Carr sangat tidak setuju dengan pendapat kaum liberalis yang dia sebut sebagai kaum utopis. Kaum liberal menganggap bahwa diplomasi internasional dapat direkstrukturalisasi agar bersifat damai. Ketahanan dan keutuhan dapat dimiliki oleh semua kelompok. Mengubah diplomasi rahasia menjadi persetujuan publik yang akan menjadi dasar pengambilan kebijakan luar negri. Resolusi kemanan kolektif atau balance of power.[1]
Pandangan Carr tentang keinginan untuk mencegah perang sangat utopis karena hal ini hanya didasarkan pada orinsip moralitas semata. Sedangkan Carr sendiri lebih meyakini bahwa aspek teleologi itu lebih besar dibanding aspek penelitian(praktek lebih dari pemikiran, generalisasi lebih dari observasi).[2] Carr menganggap bahwa cita-cita saja tidak cukup untuk dijadikan dasar ilmu politik melainkan harus kritis dan analitis. Yang utama adalah mementingkan kenyataan daripada seharusnya. Sifat realis sendiri lebih kritis dan agak sinus. Mengutamakan fakta dan analisis atas sebab dan dampak serta berfokus pada kekuatan sedangakan faktor lainnya menyesuaikan.[3]
Pandangan realisme diyakini menjadi koreksi terhadap maraknya utopianisme di dunia, yang jelas mengabaikan unsur power dalam urusan politik internasional, memasukkan kepentingan umum kedalam kepentingan negara, dan anggapan liberal terhadap prinsip absolut(perdamaian, keselarasan, kepentingan keamanan kolektif, dan perdagangan bebas)bukanlah prinsip melainkan refleksi yang mengabaikan kebijakan nasional yang didasarkan pada kepentingan nasional. Sedangkan menurut realis sendiri bahwa keselarasan itu diciptakan untuk mempertahankan posisi dominan orang-orang yang makmur dam memiliki hak istimewa.[4]
Menurut realis damai dapat diwujudkan dengan menyesuaikan diri terhadap kekuatan dominan yang ada dengan mementingkan kekuatan strategis. Unit tertinggi bukanlah bangsa-negara melainnkan unsur yang tidak mengandung unsur politik, seperti agama, kelas, etnis, dll. Tatanan internasional harus mempertimbangkan kenyataan/ realitas kekuatan glonal bukannya moralitas saja, tetapi bukan berarti mengabaikan moralitas dalam pengambilan kebijakan. Kekuatan menjadi prioritas, tidak ada otoritas karena setiap negara tidak tunduk dan bebas melakukan apa saja dengan kekuatan yang mereka miliki. Mengutamakan kepentingan umum adalah hayalan karena selalu mengorbankan kaum yang lemah.[5]

Morgenthau
Morgenthau menilik hal ini melalui dua sudut pandang. Pertama, ada sifat baik yang berpotensi dalam diri manusia, kegagalan tatanan sosial lah yang membuat standar rasional dan memengaruhi pemikiran lembaga. Kedua, dunia ini tidak sempurna karena sifat paksaan manusia itu sendiri. Tidak ada kebaikan mutlak, pengawasan dan penyeimbangan lah yang menyebabkan perolehan dengan hasil sesuai.
Morgenthau memiliki enam prinsip realisme politik, yaitu: (1) Politik ditentukan oleh hukum obyektif yang berakr pada diri manusia. (2) Kunci untuk memahami politik internasional adalah mendefinisikan konsep kepentingan dalam kaitannya dengan kekuasaan. (3) Bentuk dan sifat kekuasaan bermacam-macam dalam waktu, tempat, dan konteks, tetapi konsep kepentingan akan tetap sama. (4) Prinsip moral universal tidak menuntun sikap negara meski negara jelas akan memiliki implikasi moral dan etika. (5) Tidak ada serangkaian prinsip moral yang disetujui scara universal. (6) Secara intelektual, bidang politik itu otonom dari setiap bidang perhatian manusia lain, entah yang bersifat legal, moral, atau otonom.[6]
Morgenthau menganggap bahwa perdamaian terwujud jika pencarian rasional dan kekuasaan yang didasarkan pada hukum politik talah dipahami secara luas. Negara bukan aktor utama, melainkan unsur lain seperti komunitas supranatural dan pemerintah negara, organisasi politi, dan struktur yang lebih dari struktur bangsa-negara. Morgenthau meyakini bahwa moral tidak bisa diuji atau dibuktikan dalam tingkat dan arti. Perdamaian abadi sendiri tidak ada, keadaan damai saat ini hanyalah gencatan senjata sementara sehingga keseimbangan kekuasaan diperlukan untuk menjaga stabilitas dan mengatur negara yang cenderung mencari kekuatan strategis.[7]

KRITIK
Kennetz Waltz berpikir bahwa politik internasional merupakan sistem dengan struktur yang dapat didefinisikan secara tepat. Realisme dianggap kurang menjelaskan akibat politik dengan menilai pokok dari sistem politik. Bertentangan dengan pemikiran morgenthau, waltz menilai kondisi anarki negara sebagai kekuasaa sebagai syarat sistematis negara.[8]
Carr yang berpikir bahwa gagasan untuk mencegah perang terlalu utopis. Sebenarnya kalau gagasan itu ada, itu bisa-bisa saja. Karena buktinya Carr sendiri menilai semua dari kacamatanya sendiri sehingga melihatnya sebagai apa yang dia percaya dan pada saat itu, hal ini didukung dengan terjadinya Perang Dunia II.
Kritikan terhadap pemikiran Carr dibidikkan pada sikap bersebrangan yang tidak bisa didamaikan lagi antara realisme dan idealisme. Tanggapan Carr adalah sebagai membela ‘kebijakan nasional yang ditujukan pada peningkatan kewajiban moral dan perluasan komunitas politik’.[9]
Kaum realis menitik beratkan pada kekuasaan, dan realita kejadian didunia. Memang hal ini tidak salah, tetapi patut juga memikirkan unsur lain yang mungkin memengaruhi keputusan dan kepentingan nasional, seperti ekonomi. Kita tahu sendiri dalam kehidupan saat ini, ekonomi sangat menunjang terjadinya diplomasi antar negara bai yang berkekuatan sama atau yang berbeda tingkat kekuatan. Realita memang bisa kita jadikan dasar pasti dalam pengambilan keputusan, tapi juga jangan lupa bahwa moralitas seseorang juga sampai saat ini sangat memengaruhi dinamika dunia internasional. Banayk para pemegang kekuasaan yang mengambil keputusan berdasarkan moral mereka. Moral sendiri dapat terbentuk dengan keadaan/kondisi lingkungan sekitar. Seperti contoh saja, Amerika dulu meyakinibahwa komunis tidak akan bisa masuk ke dalah masyarakat dan negara Asia, tetapi kita ketahui Cina adalah negara komunis, meski pun saat ini cina mulai membuka dirinya.[10] Sedangkan Morgenthau sendiri sangat pesimis
Ia melihat adanya kekuatan dalam ketidakberpihakkan dan pendekatan tidak terpuji terhadap hubungan internasional ketika bisa saja memiliki arti lebih dari sebuah perlindungan dan rasionalisasi dari sikap yang tidak bermoral dan tidak etis.[11]
Ia mengabaikan pertimbangan ekonomi dalam perumusan kebijakan luar negri dan berkmentar sangat sedikit tentang hakikat kapitalisme dan dampaknya pada orde internasional.
Realisme tidak percaya akan adanya perubahan, perbaikan, hubungan internasional dengan mendorong kita menerima realitas. Pencarian kekuasaan dan keamanan adalah logika dominan dalam politik global.[12] Saya sendiri selalu percaya akan adanya perubahan meski pun kecil. Perubahan dapat saja terjadi jika pemimpin memiliki sikap dan intelektual yang berbeda satu dengan lainnya. Contohnya saja dapat kita lihat dalam negara kita Indonesia, dengan perubahan presiden dan kabinet dpat mengubah kebijakan yang ada, yang juga dapat mengubah sistem politik yang ada. Bahkan perubahan terjadi di kalangan masyarakatnya, yang sekarang lebih aktif mengawasi pemerintahan. Perubahan ini juga memengaruhi hubungan diplomatik antar negara, entah mempererat hubungan diplomasi atau sebaliknya, seperti saat ini, bisa dikatakan bahwa hubungan diplomatik kita dengan beberapa negara seperti Australia dan Brasil.[13]
Untuk saat ini, keamanan dan kekuasaan menurut saya bukanlah yang dominan dalam politik global. Memang benar keamanan patut diperhatikanoleh setiap negara, keamananlah yang menjamin wilayah kita aman. Tetapi bukan berarti hal ini yang utama, menurut saya keamanan, dan kerjasama sama pentingnya dalam politik global. Kerjasama bisa saja muncul dari sumber daya alam, sumber daya manusia dan hal lainnya, bukan hanya keamanan. Contohnya, sudah banyak animator Indonesia yang bekerjasama dengan pihak asing dan menciptakan karya bersama yang cukup terkenal, Iron Man adalah contoh kerjasama antara animator asing dan animator Indonesia. Contoh lainnya, banyak perusahaan asing yang mendirikan perusahaanya di Indonesia, disini pihak asing untung dengan berjalannya rencana mereka, dan kita diuntungkan denga devisa, pajak yang mereka berikan. Walau terkadang kerjasama yang terjadi belum benar-benar menguntungkan keduabelah pihak secara maksimal. Jadi untuk memprioritaskan keamanan sebagai hal yang paling penting merupakan kelemahan pandangan realism.
Carr menyatakan bahwa negara itu bebas melakukan apa saja sesuai keinginan mereka. Pasti hal ini tidak boleh dilakukan. Bayangkan kericuhan yang akan terjadi jika negara-negara di dunia mengabaikan hukum yang ada. Memang negara memiliki keinginan tersendiri untuk memajukan negaranya, tetapi jangan dilupakan lagi moralitas. Bahkan jika kita melakukan hal sekecil apa pun, hasil dan dampaknya bisa terjadi pada orang lain. Contohnya, jika uji coba nuklir dilakukan disembarang tempat, tentunya akan berdampak radiasi serius. Bahkan hal yang telah dipertimbangkan seperti kejadian di Jepang, adanya kecelakaan nuklir, telah mengambil beberapa korban.
Tentang mengutamakan teleologi dibandingkan analisis. Ini tentunya salah. Mana mungkin kita membuat peraturan yang tidak sesuai dengan keadaan yang ada. Seperti pencanangan pemilihan wakil rakyat secara tidak langsung, rakyat Indonesia yang saat ini mulai menjunjung tinggi demokrasi, tidak akan setuju dengan keputusan ini. jadi praktek dan analisis patut dilakukan secara seimbang.
Tidak semua pandangan kaum realis akan dinamika politik internasional salah. Saya sangat setuju dengan tidak setujunya realisme tentang anggapan bahwa keamanan dan keutuhan dapat tercipta dalam setiap kelompok. Keamanan itu bukan hanya tidak adanya kekerasan dalam hidup, tetapi rasa aman dan terjamin. Jika seseorang dengan menyatakan pendapatnya tidak disetujui dan disitu dia merasa terintimidasi, itu juga termasuk rasa tidak aman. Bahkan organisasi yang terlihat sangat bersatu pun pasti terdapat retak/cela dalam diri kelompok iu, hal ini dikarenakan sifat dasar manusia yang berbeda-beda. Contohnya, dalam partai Golkar saja sudah menimbulkan dua kubu yang muncul saat Munas Ancol dan Bali.[14]
Diplomasi rahasia diubah menjadi persetujuan publik dalam mengambil keputusan dan kebijakan luar negri. Persetujuan publik perlu dalam pengambilan keputusan suatu negara. Diharapkan juga diplomasi saat ini transparan karena rakyat saat ini juga sudah pintar menilai apa yang baik atau tidak, jika ada satu hal yang ditutup-tutupi, kemungkinan ada dua kubu yang muncul dan menimbulkan bentrok antar masyarakat. Seperti kasus KPK vs Polri, ada dua kubu yang terlibat. Yang pertama berpikir kalau KPK dijadikan korban karena kinerja KPK yang baik. Sedangkan yang lain berpikir bahwa Kapolri yang merupakan korban, karena Budi Gunawan sangat mendukung Jokowi sehingga hal ini juga dapat menurunkan citra jokowi.
Power memang unsur yang perlu ada dalam suatu negara. Power sekarang bisa berupa soft power dan smart power. Jika suatu negara tidak memiliki power, maka negara itu akan dipandang sebelah mata. Sedangkan negara yang memiliki power yang besar sangat disegani, seperti AS. Kita ketahui bahwa Amerika negara yang hebat, bahkan sebelum perang dunia 1 dan perang dunia 2, memang power yang dimiliki Amerika Serikat sangat menonjol setelah perang dingin, ini yang sekiranya menjadikan amerika disegani. Saat ini Cina mulai membangun kekuatannya, penghasilan yang didapatka Cina per tahunnya bahkan telah melampaui Amerika, hanya saja amerika sudah lebih lama menguasai dunia ini. [15]Cina juga saat ini telah menunjukkan taringnya, sehingga Cina dapat dijadikan ancaman atau pun teman untuk berdiplomasi.
Perdamaian mutlak itu tidak ada, perdamaian yang ada saat ini hanyalah gencatan senjata untuk sementara. Tidak mungkin suatu perdamaian dapat tercipta mutlak di dunia. Dengan kekuasaan dan kekuatan yang berbeda, bisa saja perang pecah sewaktu-waktu. Pasti ada keinginan untuk menguasai wilayah lebih besar agar kekuasaan bertambah. Contohnya saja Malaysia yang sejauh ini telah merebut pulau ambalat, dan beberapa pulau lainnya. Dengan hal ini saja, kita bisa lihat kurangnya perdamaian antara negara yang bersebelahan. Negara Malaysia ingin menguasai pulau di Indonesia karena SDA yang ada, selain itu hukum laut yang ada juga menyebabkan terjadinya kerugian besar jika kehilangan pulau sekali pun itu adalah pulau kecil.
Rothstein menyatakan bahwa realism hanya menyampaikan fakta-fakta  masuk akal tanpa direnungkan. Mereka menarik segala kesimpulan yang ada berdasarkan fakta lapangan tanpa meninjau lebih dalam karena realis hanya meninjau pemerintahan tanpa melihat masyarakat didalamnya atau internal suatu negara.[16] Hal ini bisa kita lihat melalui pernyataan Carrdan Morgenthau yang mengesampingkan masyarakat dan individu dalam negara yang mereka amati.
Benar apa yang dikatakan bahwa prinsip absolut(perdamaian, keselarasan kepentingan,keamanan kolektif, dan perdagangan bebas) kaum liberalis tidak sepenuhnya benar. Contohnya saja Laissez Faire yang menganggap bahwa kebijakan yang diterapkan oleh elit penguasa juga baik bagi semua masyarakat. Hal ini muncul karena elit politik ingin mempertahankan kekuasaannya, sedangkan masyarakat yang kurang mampu disini hanya diharapkan untuk bertahan. Hal ini kembali lagi dipengaruhi oleh perbedaan sifat dan sikap dasar manusia.[17] Selain sifat dasar individu, hal ini juga dipengaruhi oleh kenyataan atau pengalaman orang yang berbeda.[18]
KESIMPULAN
Realisme terlihat sangat tidak setuju dengan pemikiran liberalism tentang prinsip absolut yang diajukan liberalism karena menganggap prinsip yang mereka buat merupakan refleksi gagal yang mengabaikan kebijakan nasional dan mendasarkannya pada kepentingan nasional. Hal ini dianggap sesuatu yang sangat utopis oleh Carr karena sebenarnya pemikiran yang muncul ini hanyalah untuk mempertahankan kekuatan  elit politik yang makmur dan memiliki hak khusus.  Realisme menurut Carr sendiri lebih mementingkan praktek daripada pemikiran. Fakta dan analisis lebih diperlukan daripada sebab dan akibat yang selalu dipikirkan dari sudut pandang moralitas atau apa yang seharusnya. Realism diharuskan fokus pada kekuasan dan yang lain diharuskan menyesuaikan. Kita harusnya tidak melawan kekuatan yang sudah ada tetapi harus bisa beradaptasi pada kekuatan yang ada agar perdamaian bisa diwujudkan.
Sedangkan Morgenthau memandangnya sudah melalui dua sudut pandang, realis dan liberalis. Walau tetap mengedepankan pemikiran realis. Morgenthau juga mengedepankan rasionalitas akan kekuasaan yang didasarkan pada hukum politik, hal ini yang membuat terwujudnya perdamaian.
Kedua ahli ini sendiri tidak seperti realis lainnya, mereka menilai bahwa negara bukanlah aktor utama dalam dinamika internasional. Carr berpikir bahwa aktornya bisa saja sesuatu yang diluar kepentingan politik. Morgenthau berpikir bahwa aktornya adalah struktur yang lebih dari struktur bangsa-negara.
Banyak serangan atau kekurangan dari pandangan kedua ahli. Carr dianggap sudah tidak dapat berdamai lagi dengan pemikiran liberalism. Sedangkan morgenthau sangat menganggap rendah pandangan kaum marxian. Morgenthau sangat tidak memperhatikan adanya faktor ekonomi dalam dinamika politik internasional.
Kedua aktor juga mengesampingkan moralitas. Mereka menganggap moralitas itu tidak seharusnya memengaruhi pengambilan keputusan dan kebijakan. Alasannya bahwa moral hanya muncul sebagai kepentingan dari seseorang. Dan moral itu tidak bisa diuji dan dibuktikan dalam tingkat maupun arti.
Banyak hal yang sesuai denga kehidupan saat ini seperti diplomasi rahasia yang diubah menjadi persetujuan publik, mempertimbangkan unsur power, membedakan kepentingan umum dengan kepentingan nasional, tidak setujunya dngan prinsip absolut liberal. Tetapi banyak juga yang tidak sesuai seperti fokus negara pada kekuasaan dan kekuatan denga mengabaikan faktor lain, dan pemikiran bahwa setiap negara bebas untuk melakukan apa pun.



Catatan Akhir


[1] Burchill, Scott, Andrew Linklater.  1996. Theories of International Relation. New York: ST Martin’s Press, hal    90

[2] Burchill, Scott, Andrew Linklater.  1996. Theories of International Relation. New York: ST Martin’s Press, hal 91

[3] Burchill, Scott, Andrew Linklater.  1996. Theories of International Relation. New York: ST Martin’s Press, hal 92

[4] Burchill, Scott, Andrew Linklater.  1996. Theories of International Relation. New York: ST Martin’s Press, hal 92-95

[5] Burchill, Scott, Andrew Linklater.  1996. Theories of International Relation. New York: ST Martin’s Press, hal 95-98

[6] Burchill, Scott, Andrew Linklater.  1996. Theories of International Relation. New York: ST Martin’s Press, hal 100-103

[7] Burchill, Scott, Andrew Linklater.  1996. Theories of International Relation. New York: ST Martin’s Press, hal 103-106

[8] Burchill, Scott, Andrew Linklater.  1996. Theories of International Relation. New York: ST Martin’s Press, hal 106

[9] Burchill, Scott, Andrew Linklater.  1996. Theories of International Relation. New York: ST Martin’s Press, hal 96

[10] Gita Karisma

[11] Burchill, Scott, Andrew Linklater.  1996. Theories of International Relation. New York: ST Martin’s Press, hal 105

[12] Burchill, Scott, Andrew Linklater.  1996. Theories of International Relation. New York: ST Martin’s Press, hal 110

[13] Tempo.co/read.news/2015/02/24/063644904/Tarik-Dubes-dari-Brasil-Jokowi-Ini-Kehormatan-Negara

[14] M.tribunnews.com/nasional/2015/02/26/fadel-minta-mahkamah-partai-netral-dan-jujur

[15] Fahmi Tarumanegara

[16] Burchill, Scott, Andrew Linklater.  1996. Theories of International Relation. New York: ST Martin’s Press, hal 112

[17] Burchill, Scott, Andrew Linklater.  1996. Theories of International Relation. New York: ST Martin’s Press, hal 95

[18] Burchill, Scott, Andrew Linklater.  1996. Theories of International Relation. New York: ST Martin’s Press, hal 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar