REALISM
E.H Carr
Carr
sangat tidak setuju dengan pendapat kaum liberalis yang dia sebut sebagai kaum
utopis. Kaum liberal menganggap bahwa diplomasi internasional dapat
direkstrukturalisasi agar bersifat damai. Ketahanan dan keutuhan dapat dimiliki
oleh semua kelompok. Mengubah diplomasi rahasia menjadi persetujuan publik yang
akan menjadi dasar pengambilan kebijakan luar negri. Resolusi kemanan kolektif
atau balance of power.[1]
Pandangan
Carr tentang keinginan untuk mencegah perang sangat utopis karena hal ini hanya
didasarkan pada orinsip moralitas semata. Sedangkan Carr sendiri lebih meyakini
bahwa aspek teleologi itu lebih besar dibanding aspek penelitian(praktek lebih
dari pemikiran, generalisasi lebih dari observasi).[2] Carr
menganggap bahwa cita-cita saja tidak cukup untuk dijadikan dasar ilmu politik
melainkan harus kritis dan analitis. Yang utama adalah mementingkan kenyataan
daripada seharusnya. Sifat realis sendiri lebih kritis dan agak sinus.
Mengutamakan fakta dan analisis atas sebab dan dampak serta berfokus pada
kekuatan sedangakan faktor lainnya menyesuaikan.[3]
Pandangan
realisme diyakini menjadi koreksi terhadap maraknya utopianisme di dunia, yang
jelas mengabaikan unsur power dalam urusan politik internasional, memasukkan
kepentingan umum kedalam kepentingan negara, dan anggapan liberal terhadap
prinsip absolut(perdamaian, keselarasan, kepentingan keamanan kolektif, dan
perdagangan bebas)bukanlah prinsip melainkan refleksi yang mengabaikan
kebijakan nasional yang didasarkan pada kepentingan nasional. Sedangkan menurut
realis sendiri bahwa keselarasan itu diciptakan untuk mempertahankan posisi
dominan orang-orang yang makmur dam memiliki hak istimewa.[4]
Menurut
realis damai dapat diwujudkan dengan menyesuaikan diri terhadap kekuatan
dominan yang ada dengan mementingkan kekuatan strategis. Unit tertinggi
bukanlah bangsa-negara melainnkan unsur yang tidak mengandung unsur politik,
seperti agama, kelas, etnis, dll. Tatanan internasional harus mempertimbangkan
kenyataan/ realitas kekuatan glonal bukannya moralitas saja, tetapi bukan
berarti mengabaikan moralitas dalam pengambilan kebijakan. Kekuatan menjadi
prioritas, tidak ada otoritas karena setiap negara tidak tunduk dan bebas
melakukan apa saja dengan kekuatan yang mereka miliki. Mengutamakan kepentingan
umum adalah hayalan karena selalu mengorbankan kaum yang lemah.[5]
Morgenthau
Morgenthau
menilik hal ini melalui dua sudut pandang. Pertama, ada sifat baik yang
berpotensi dalam diri manusia, kegagalan tatanan sosial lah yang membuat
standar rasional dan memengaruhi pemikiran lembaga. Kedua, dunia ini tidak
sempurna karena sifat paksaan manusia itu sendiri. Tidak ada kebaikan mutlak,
pengawasan dan penyeimbangan lah yang menyebabkan perolehan dengan hasil
sesuai.
Morgenthau
memiliki enam prinsip realisme politik, yaitu: (1) Politik ditentukan oleh
hukum obyektif yang berakr pada diri manusia. (2) Kunci untuk memahami politik
internasional adalah mendefinisikan konsep kepentingan dalam kaitannya dengan
kekuasaan. (3) Bentuk dan sifat kekuasaan bermacam-macam dalam waktu, tempat,
dan konteks, tetapi konsep kepentingan akan tetap sama. (4) Prinsip moral
universal tidak menuntun sikap negara meski negara jelas akan memiliki
implikasi moral dan etika. (5) Tidak ada serangkaian prinsip moral yang
disetujui scara universal. (6) Secara intelektual, bidang politik itu otonom
dari setiap bidang perhatian manusia lain, entah yang bersifat legal, moral,
atau otonom.[6]
Morgenthau
menganggap bahwa perdamaian terwujud jika pencarian rasional dan kekuasaan yang
didasarkan pada hukum politik talah dipahami secara luas. Negara bukan aktor
utama, melainkan unsur lain seperti komunitas supranatural dan pemerintah
negara, organisasi politi, dan struktur yang lebih dari struktur bangsa-negara.
Morgenthau meyakini bahwa moral tidak bisa diuji atau dibuktikan dalam tingkat
dan arti. Perdamaian abadi sendiri tidak ada, keadaan damai saat ini hanyalah
gencatan senjata sementara sehingga keseimbangan kekuasaan diperlukan untuk
menjaga stabilitas dan mengatur negara yang cenderung mencari kekuatan
strategis.[7]
KRITIK
Kennetz
Waltz berpikir bahwa politik internasional merupakan sistem dengan struktur
yang dapat didefinisikan secara tepat. Realisme dianggap kurang menjelaskan
akibat politik dengan menilai pokok dari sistem politik. Bertentangan dengan
pemikiran morgenthau, waltz menilai kondisi anarki negara sebagai kekuasaa
sebagai syarat sistematis negara.[8]
Carr
yang berpikir bahwa gagasan untuk mencegah perang terlalu utopis. Sebenarnya
kalau gagasan itu ada, itu bisa-bisa saja. Karena buktinya Carr sendiri menilai
semua dari kacamatanya sendiri sehingga melihatnya sebagai apa yang dia percaya
dan pada saat itu, hal ini didukung dengan terjadinya Perang Dunia II.
Kritikan
terhadap pemikiran Carr dibidikkan pada sikap bersebrangan yang tidak bisa
didamaikan lagi antara realisme dan idealisme. Tanggapan Carr adalah sebagai
membela ‘kebijakan nasional yang ditujukan pada peningkatan kewajiban moral dan
perluasan komunitas politik’.[9]
Kaum
realis menitik beratkan pada kekuasaan, dan realita kejadian didunia. Memang
hal ini tidak salah, tetapi patut juga memikirkan unsur lain yang mungkin
memengaruhi keputusan dan kepentingan nasional, seperti ekonomi. Kita tahu
sendiri dalam kehidupan saat ini, ekonomi sangat menunjang terjadinya diplomasi
antar negara bai yang berkekuatan sama atau yang berbeda tingkat kekuatan.
Realita memang bisa kita jadikan dasar pasti dalam pengambilan keputusan, tapi
juga jangan lupa bahwa moralitas seseorang juga sampai saat ini sangat
memengaruhi dinamika dunia internasional. Banayk para pemegang kekuasaan yang
mengambil keputusan berdasarkan moral mereka. Moral sendiri dapat terbentuk
dengan keadaan/kondisi lingkungan sekitar. Seperti contoh saja, Amerika dulu
meyakinibahwa komunis tidak akan bisa masuk ke dalah masyarakat dan negara
Asia, tetapi kita ketahui Cina adalah negara komunis, meski pun saat ini cina
mulai membuka dirinya.[10]
Sedangkan Morgenthau sendiri sangat pesimis
Ia
melihat adanya kekuatan dalam ketidakberpihakkan dan pendekatan tidak terpuji
terhadap hubungan internasional ketika bisa saja memiliki arti lebih dari
sebuah perlindungan dan rasionalisasi dari sikap yang tidak bermoral dan tidak
etis.[11]
Ia
mengabaikan pertimbangan ekonomi dalam perumusan kebijakan luar negri dan
berkmentar sangat sedikit tentang hakikat kapitalisme dan dampaknya pada orde
internasional.
Realisme
tidak percaya akan adanya perubahan, perbaikan, hubungan internasional dengan
mendorong kita menerima realitas. Pencarian kekuasaan dan keamanan adalah
logika dominan dalam politik global.[12]
Saya sendiri selalu percaya akan adanya perubahan meski pun kecil. Perubahan
dapat saja terjadi jika pemimpin memiliki sikap dan intelektual yang berbeda
satu dengan lainnya. Contohnya saja dapat kita lihat dalam negara kita
Indonesia, dengan perubahan presiden dan kabinet dpat mengubah kebijakan yang
ada, yang juga dapat mengubah sistem politik yang ada. Bahkan perubahan terjadi
di kalangan masyarakatnya, yang sekarang lebih aktif mengawasi pemerintahan.
Perubahan ini juga memengaruhi hubungan diplomatik antar negara, entah
mempererat hubungan diplomasi atau sebaliknya, seperti saat ini, bisa dikatakan
bahwa hubungan diplomatik kita dengan beberapa negara seperti Australia dan
Brasil.[13]
Untuk
saat ini, keamanan dan kekuasaan menurut saya bukanlah yang dominan dalam
politik global. Memang benar keamanan patut diperhatikanoleh setiap negara,
keamananlah yang menjamin wilayah kita aman. Tetapi bukan berarti hal ini yang
utama, menurut saya keamanan, dan kerjasama sama pentingnya dalam politik
global. Kerjasama bisa saja muncul dari sumber daya alam, sumber daya manusia
dan hal lainnya, bukan hanya keamanan. Contohnya, sudah banyak animator
Indonesia yang bekerjasama dengan pihak asing dan menciptakan karya bersama
yang cukup terkenal, Iron Man adalah contoh kerjasama antara animator asing dan
animator Indonesia. Contoh lainnya, banyak perusahaan asing yang mendirikan
perusahaanya di Indonesia, disini pihak asing untung dengan berjalannya rencana
mereka, dan kita diuntungkan denga devisa, pajak yang mereka berikan. Walau
terkadang kerjasama yang terjadi belum benar-benar menguntungkan keduabelah
pihak secara maksimal. Jadi untuk memprioritaskan keamanan sebagai hal yang
paling penting merupakan kelemahan pandangan realism.
Carr
menyatakan bahwa negara itu bebas melakukan apa saja sesuai keinginan mereka.
Pasti hal ini tidak boleh dilakukan. Bayangkan kericuhan yang akan terjadi jika
negara-negara di dunia mengabaikan hukum yang ada. Memang negara memiliki
keinginan tersendiri untuk memajukan negaranya, tetapi jangan dilupakan lagi
moralitas. Bahkan jika kita melakukan hal sekecil apa pun, hasil dan dampaknya
bisa terjadi pada orang lain. Contohnya, jika uji coba nuklir dilakukan
disembarang tempat, tentunya akan berdampak radiasi serius. Bahkan hal yang
telah dipertimbangkan seperti kejadian di Jepang, adanya kecelakaan nuklir,
telah mengambil beberapa korban.
Tentang
mengutamakan teleologi dibandingkan analisis. Ini tentunya salah. Mana mungkin
kita membuat peraturan yang tidak sesuai dengan keadaan yang ada. Seperti
pencanangan pemilihan wakil rakyat secara tidak langsung, rakyat Indonesia yang
saat ini mulai menjunjung tinggi demokrasi, tidak akan setuju dengan keputusan
ini. jadi praktek dan analisis patut dilakukan secara seimbang.
Tidak
semua pandangan kaum realis akan dinamika politik internasional salah. Saya
sangat setuju dengan tidak setujunya realisme tentang anggapan bahwa keamanan
dan keutuhan dapat tercipta dalam setiap kelompok. Keamanan itu bukan hanya
tidak adanya kekerasan dalam hidup, tetapi rasa aman dan terjamin. Jika
seseorang dengan menyatakan pendapatnya tidak disetujui dan disitu dia merasa
terintimidasi, itu juga termasuk rasa tidak aman. Bahkan organisasi yang terlihat
sangat bersatu pun pasti terdapat retak/cela dalam diri kelompok iu, hal ini
dikarenakan sifat dasar manusia yang berbeda-beda. Contohnya, dalam partai
Golkar saja sudah menimbulkan dua kubu yang muncul saat Munas Ancol dan Bali.[14]
Diplomasi
rahasia diubah menjadi persetujuan publik dalam mengambil keputusan dan
kebijakan luar negri. Persetujuan publik perlu dalam pengambilan keputusan
suatu negara. Diharapkan juga diplomasi saat ini transparan karena rakyat saat
ini juga sudah pintar menilai apa yang baik atau tidak, jika ada satu hal yang
ditutup-tutupi, kemungkinan ada dua kubu yang muncul dan menimbulkan bentrok
antar masyarakat. Seperti kasus KPK vs Polri, ada dua kubu yang terlibat. Yang
pertama berpikir kalau KPK dijadikan korban karena kinerja KPK yang baik.
Sedangkan yang lain berpikir bahwa Kapolri yang merupakan korban, karena Budi
Gunawan sangat mendukung Jokowi sehingga hal ini juga dapat menurunkan citra
jokowi.
Power
memang unsur yang perlu ada dalam suatu negara. Power sekarang bisa berupa soft
power dan smart power. Jika suatu negara tidak memiliki power, maka negara itu
akan dipandang sebelah mata. Sedangkan negara yang memiliki power yang besar
sangat disegani, seperti AS. Kita ketahui bahwa Amerika negara yang hebat,
bahkan sebelum perang dunia 1 dan perang dunia 2, memang power yang dimiliki
Amerika Serikat sangat menonjol setelah perang dingin, ini yang sekiranya
menjadikan amerika disegani. Saat ini Cina mulai membangun kekuatannya,
penghasilan yang didapatka Cina per tahunnya bahkan telah melampaui Amerika,
hanya saja amerika sudah lebih lama menguasai dunia ini. [15]Cina
juga saat ini telah menunjukkan taringnya, sehingga Cina dapat dijadikan
ancaman atau pun teman untuk berdiplomasi.
Perdamaian
mutlak itu tidak ada, perdamaian yang ada saat ini hanyalah gencatan senjata
untuk sementara. Tidak mungkin suatu perdamaian dapat tercipta mutlak di dunia.
Dengan kekuasaan dan kekuatan yang berbeda, bisa saja perang pecah
sewaktu-waktu. Pasti ada keinginan untuk menguasai wilayah lebih besar agar kekuasaan
bertambah. Contohnya saja Malaysia yang sejauh ini telah merebut pulau ambalat,
dan beberapa pulau lainnya. Dengan hal ini saja, kita bisa lihat kurangnya
perdamaian antara negara yang bersebelahan. Negara Malaysia ingin menguasai
pulau di Indonesia karena SDA yang ada, selain itu hukum laut yang ada juga
menyebabkan terjadinya kerugian besar jika kehilangan pulau sekali pun itu
adalah pulau kecil.
Rothstein
menyatakan bahwa realism hanya menyampaikan fakta-fakta masuk akal tanpa direnungkan. Mereka menarik
segala kesimpulan yang ada berdasarkan fakta lapangan tanpa meninjau lebih
dalam karena realis hanya meninjau pemerintahan tanpa melihat masyarakat
didalamnya atau internal suatu negara.[16]
Hal ini bisa kita lihat melalui pernyataan Carrdan Morgenthau yang
mengesampingkan masyarakat dan individu dalam negara yang mereka amati.
Benar
apa yang dikatakan bahwa prinsip absolut(perdamaian, keselarasan
kepentingan,keamanan kolektif, dan perdagangan bebas) kaum liberalis tidak
sepenuhnya benar. Contohnya saja Laissez Faire yang menganggap bahwa kebijakan
yang diterapkan oleh elit penguasa juga baik bagi semua masyarakat. Hal ini
muncul karena elit politik ingin mempertahankan kekuasaannya, sedangkan
masyarakat yang kurang mampu disini hanya diharapkan untuk bertahan. Hal ini
kembali lagi dipengaruhi oleh perbedaan sifat dan sikap dasar manusia.[17]
Selain sifat dasar individu, hal ini juga dipengaruhi oleh kenyataan atau
pengalaman orang yang berbeda.[18]
KESIMPULAN
Realisme
terlihat sangat tidak setuju dengan pemikiran liberalism tentang prinsip
absolut yang diajukan liberalism karena menganggap prinsip yang mereka buat
merupakan refleksi gagal yang mengabaikan kebijakan nasional dan mendasarkannya
pada kepentingan nasional. Hal ini dianggap sesuatu yang sangat utopis oleh
Carr karena sebenarnya pemikiran yang muncul ini hanyalah untuk mempertahankan
kekuatan elit politik yang makmur dan
memiliki hak khusus. Realisme menurut
Carr sendiri lebih mementingkan praktek daripada pemikiran. Fakta dan analisis
lebih diperlukan daripada sebab dan akibat yang selalu dipikirkan dari sudut
pandang moralitas atau apa yang seharusnya. Realism diharuskan fokus pada
kekuasan dan yang lain diharuskan menyesuaikan. Kita harusnya tidak melawan
kekuatan yang sudah ada tetapi harus bisa beradaptasi pada kekuatan yang ada
agar perdamaian bisa diwujudkan.
Sedangkan
Morgenthau memandangnya sudah melalui dua sudut pandang, realis dan liberalis.
Walau tetap mengedepankan pemikiran realis. Morgenthau juga mengedepankan
rasionalitas akan kekuasaan yang didasarkan pada hukum politik, hal ini yang
membuat terwujudnya perdamaian.
Kedua
ahli ini sendiri tidak seperti realis lainnya, mereka menilai bahwa negara
bukanlah aktor utama dalam dinamika internasional. Carr berpikir bahwa aktornya
bisa saja sesuatu yang diluar kepentingan politik. Morgenthau berpikir bahwa
aktornya adalah struktur yang lebih dari struktur bangsa-negara.
Banyak
serangan atau kekurangan dari pandangan kedua ahli. Carr dianggap sudah tidak
dapat berdamai lagi dengan pemikiran liberalism. Sedangkan morgenthau sangat
menganggap rendah pandangan kaum marxian. Morgenthau sangat tidak memperhatikan
adanya faktor ekonomi dalam dinamika politik internasional.
Kedua
aktor juga mengesampingkan moralitas. Mereka menganggap moralitas itu tidak
seharusnya memengaruhi pengambilan keputusan dan kebijakan. Alasannya bahwa
moral hanya muncul sebagai kepentingan dari seseorang. Dan moral itu tidak bisa
diuji dan dibuktikan dalam tingkat maupun arti.
Banyak
hal yang sesuai denga kehidupan saat ini seperti diplomasi rahasia yang diubah
menjadi persetujuan publik, mempertimbangkan unsur power, membedakan
kepentingan umum dengan kepentingan nasional, tidak setujunya dngan prinsip
absolut liberal. Tetapi banyak juga yang tidak sesuai seperti fokus negara pada
kekuasaan dan kekuatan denga mengabaikan faktor lain, dan pemikiran bahwa
setiap negara bebas untuk melakukan apa pun.
Catatan
Akhir
[1]
Burchill, Scott, Andrew Linklater. 1996.
Theories of International Relation. New York: ST Martin’s Press, hal 90
[2]
Burchill, Scott, Andrew Linklater. 1996.
Theories of International Relation. New York: ST Martin’s Press, hal 91
[3]
Burchill, Scott, Andrew Linklater. 1996.
Theories of International Relation. New York: ST Martin’s Press, hal 92
[4]
Burchill, Scott, Andrew Linklater. 1996.
Theories of International Relation. New York: ST Martin’s Press, hal 92-95
[5]
Burchill, Scott, Andrew Linklater. 1996.
Theories of International Relation. New York: ST Martin’s Press, hal 95-98
[6]
Burchill, Scott, Andrew Linklater. 1996.
Theories of International Relation. New York: ST Martin’s Press, hal 100-103
[7]
Burchill, Scott, Andrew Linklater. 1996.
Theories of International Relation. New York: ST Martin’s Press, hal 103-106
[8]
Burchill, Scott, Andrew Linklater. 1996.
Theories of International Relation. New York: ST Martin’s Press, hal 106
[9]
Burchill, Scott, Andrew Linklater. 1996.
Theories of International Relation. New York: ST Martin’s Press, hal 96
[10] Gita
Karisma
[11] Burchill,
Scott, Andrew Linklater. 1996. Theories
of International Relation. New York: ST Martin’s Press, hal 105
[12]
Burchill, Scott, Andrew Linklater. 1996.
Theories of International Relation. New York: ST Martin’s Press, hal 110
[13]
Tempo.co/read.news/2015/02/24/063644904/Tarik-Dubes-dari-Brasil-Jokowi-Ini-Kehormatan-Negara
[14]
M.tribunnews.com/nasional/2015/02/26/fadel-minta-mahkamah-partai-netral-dan-jujur
[15] Fahmi
Tarumanegara
[16]
Burchill, Scott, Andrew Linklater. 1996.
Theories of International Relation. New York: ST Martin’s Press, hal 112
[17]
Burchill, Scott, Andrew Linklater. 1996.
Theories of International Relation. New York: ST Martin’s Press, hal 95
[18]
Burchill, Scott, Andrew Linklater. 1996.
Theories of International Relation. New York: ST Martin’s Press, hal 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar