Kamis, 16 Maret 2017

MONOPOLI MUSLIM DI INDONESIA: ANALISA AKSI 212

MONOPOLI MUSLIM DI INDONESIA: ANALISA AKSI 212

Abstrak
Tuhan adalah hal yang abstrak, hal ini diungkapkan oleh Baruch Spinoza dalam bukunya The Ethics. Dari devinisi ini, seolah konteks Tuhan yang diagung-agungkan oleh setiap agama memiliki konteks yang abstrak, dan begitu pula dengan agama. Agama yang ada di dunia ini sendiri masih menjadi perdebatan panjang, apakah sebagai sumber konflik atau sebagai penyelesai konflik. Dengan menggunakan metode berpikir deduktif, penelitian ini akan mencari penerangan atas klaim dan penilaian apakah agama menjadi sumber konflik atau sebagai penyelesai konflik melalui data sekunder. Penelitian dengan didasarkan pada pandangan perspektif  realisme dan yang ditujukan melalui studi kasus di Indonesia dalam gerakan 212 ini akan berusaha mendapatkan data melalui sumber terpercaya, baik melalui situs online, media cetak, atau pun literatur terpercaya lainnya. Pengambilan kasus di Indonesia sendiri dirasa penting karena penulis merupakan warga negara Indonesia yang melihat adanya keberagaman agama namun tidak sepenuhnya menyebabkan toleransi agama. Melalui penelitian ini, diharapkan mampu memunculkan kecenderungan atas penilaian mengenai agama dan saran konkrit atas penyelesaian isu yang ada, dan untuk meminimalisir marjinalisasi yang dilakukan satu agama atas agama lainnya.

Kata kunci: agama, realisme, metode berpikir deduktif.
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara demokrasi yang menjunjung pluralisme sebagaimana seharusnya negara demokrasi. Pluralisme sendiri merupakan tidak-adanya pemberatan atau keberatan atas perbedaan; dan tingkat pluralisme di Indonesia sendiri tergolong bernilai tinggi, yaitu 7,75 dari total nilai 10,00.[1] Tingkat pluralisme yang tinggi di Indonesia ini dapat dilihat dari Undang-Undang 1945 Pasal 29 Indonesia yang membebaskan setiap masyarakatnya memeluk agama sesuai hati nuraninya.[2] Bentuk pluralisme lainnya bisa kita lihat melalui pengakuan Indonesia atas agama resmi.
Indonesia mengakui lima agama sebagai agama yang dianut. Adapun agama-agama itu adalah Islam, Katolik, Kristen, Hindu, dan Budha.[3] Keberagaman agama di Indonesia ini sepertinya merupakan suatu ciri khas tersendiri, dimana agama Islam sebagai agama mayoritas yang dianut oleh 87,21% masyarakat Indonesia, tidak menjadikan Indonesia memiliki peraturan yang didasarkan pada khilafah seperti yang dilakukan oleh Saudi Arabia.[4] Namun hal ini seolah tidak beriringan dengan tingginya nilai pluralisme di Indonesia, gerakan 212 yang terjadi pada tanggal 2 Desember 2016 di Indonesia, menggambarkan bahwa sensitifitas atas adanya pluralitas di Indonesia sebenarnya hanya dinilai melalui banyaknya jenis atau macam keberagaman suku, agama, dan ras yang ada di Indonesia; dan belum didasarkan pada tingginya toleransi antar perbedaan yang ada.
Gerekan 212 sebagai gerakan penuntutan atas keadilan proses hukum yang berkenaan dengan isu agama bagi penulis dianggap sebagai bentuk dari sistem anarki sehingga tidak ada kedudukan agama yang lebih superior dibanding agama lain, sehingga proses pemberian tuntutan akan berjalan begitu saja tanpa adanya penahanan atau larangan oleh pihak superior. Gerakan 212 juga dinilai penulis sebagai bentuk dari sifat manusia yang menekankan pada sifat egois atau self-help. Selain kedua pandangan ini, bisa diliat bahwa negara dapat ditunggangi oleh kepentingan satu kelompok agama dan bahkan keputusan yang diambl negara dapat ditekan oleh satu kelompok masyarakat.
Penelitian ini digunakan untuk melihat sistem kepercayaan, dalam hal ini agama menggunakan perspektif realisme untuk menunjukkan cara agar tercapainya perdamaian.
Kerangka Teori
Dari penjelasan pada pendahuluan diatas, terlihat bahwa agama yang direpresentasikan oleh pemeluk agama dalam negara tertentu, dan karena adanya representasi agama oleh pemeluk agama, diketahui bahwa agama bersifat anarki, self-help dan memonopoli. Maka akan sangat menarik jika kita lihat agama melalui perspektif realisme untuk lebih dapat merefleksikan tindakan dengan kedok agama yang tidak jarang terjadi, terutama di Indonesia. Menurut pandangan Jackson dan Sorensen, ide utama perspektif  realisme adalah:
(1)a pessimistic view of human nature; (2)a conviction that international relations are necessarily conflictual and that international conflicts are ultimately resolved by war; (3)a high regard for the values of national security and state survival; (4)a basic scepticism that there can be progress in international politics which is comparable to that in domestic political life.[5]
Dengan menngunakan perspektif realisme, penulis mengharapkan dapat melihat agama dan hubungannya dengan negara sebagai hubungan yang dapat memonopoli agama lainnya. Bahkan saran yang akan diberikan akan tetap menitikberatkan pada pandangan realisme.
Pembahasan
Analisa Realisme terhadap Keberadaan Agama dalam Studi Kasus Gerakan 212 di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui pada kerangka teoritis diatas bahwa sifat alami manusia dipandang secara pesimis, hubungan internasional adalah konfliktual yang penyelesaian utamanya melalui perang, kemanan negara dan ketahanan negara menjadi nilai yang diprioritaskan, dan adanya progres dalam politik internasolnal dapat dibandingkan dengan kehidupan politik domestik. Dari keempat ide dasar tersebut dapat ditarik dua kesimpulan mengenai pandangan realisme terhadap agama yang mempertegas bahwa agama adalah sumber konflik.
Pertama, agama yang direpresentasikan manusia memiliki perilaku yang juga seperti manusia yang ‘jahat’. Meskipun agama tidak mengajarkan untuk melakukan kegiatan yang jahat, pemberian label atas perilaku yang ditimbulkan manusia akan dijadikan label atas identitas yang dipegang oleh manusia itu. Agama, lebih jauh lagi dijadikan alasan satu negara menilai perilaku negara melalui identitas mayoritas yang diakui oleh negara. identitas negara kemudian dilekatkan dengan identitas yang dipegang oleh aktor-aktor dalam hubungan internasional.
Dalam gerakan 212, terlihat bahwa representasi agama oleh masyarakat sangatlah kuat. Gerakan yang diklaim atas dasar penuntutan hukum secara adil mengenai isu agama hanyalah satu dari banyak sifat buruk agama. Tidak hanya representasi atas agama Islam, namun juga agama lain. Agama dijadikan alasan oleh manusia untuk membela kebenaran, mengklaim hal yang baik dan benar, serta untuk memberikan monopoli atas kekuasaan yang diberikan atas pemelukan satu agama.
Pembelaan kebenaran dalam gerakan 212 ini dirasa menggunakan kedok agama untuk menyalahkan satu kelompok masyarakat. Islam, sebagai agama yang melakukan gerakan tersebut dirasa merepresentasikan bahwa agama dapat ditunggangi oleh kepentingan pemegang kekuasaan yang diberikan oleh agama. Buktinya adalah kekuasaan yang dipegang oleh Habieb Rizieq, menjadikannya dapat memonopoli kegiatan agama. Habieb Rizieq dirasa memberikan tekanan bagi masyarakat non-muslim melalui gerakan ini. Tekanan yang diberikan adalah klaim bahwa tidak benar jika pemimpin berasal dari agama non-Islam, jika memang dipimpin oleh non-Islam, maka umat muslim akan melakukan tindakan tegas, jangan macam-macam terhadap kami. Gerakan 212 ini juga ditakutkan makin merepresentasikan anggapan dunia bahwa muslim atau pemeluk agama islam memiliki konotasi negativ, bersifat jahat. Yang lebih ditakutkan lagi, gerakan 212 akan memperburuk pandangan dunia terhadap pemeluk agama Islam, yang ditempekan label sebagai teroris.
Kedua, didapatkan pemikiran bahwa agama merupakan sumber konflik karena bersifat konfliktual. Konflik antar-agama yang terjadi hanyalah justifikasi atas penyelesaian masalah, namun kenyataannya adalah bentuk keras untuk mempertahankan status quo. Dalam gerakan 212, masyarakat Islam di Indonesia melakukan gerakan tersebut untuk menyatakan kedudukan superiornya atas agama lain di Indonesia, sehingga Islam, sebagai agama mayoritas di Indonesia diberikan perlakuan spesial dalam kedudukan di negara.
Dalam gerakan 212, aksi tersebut timbul karena kurangnya kompetensi pada mayoritas masyarakat ‘beragama’ di Indonesia. Kurangnya kompetesi pada masyarakat ini menimmbulkan adanya pencernaan makna secara dangkal dalam proses penerimaan informasi yang disampaikan oleh pemberi informasi. Menurut penulis, masyarakat yang mengikuti gerakan 212 kurang kompetensi sehingga cepat ter-profokasi oleh informasi yang disalahartikan. Alasan ini cukup untuk merepresentasikan seberapa konfliktualnya agama. Tanpa mengetahui penyebab pasti atau kejadian asali atas satu hal, satu agama yangd irepresentasikan sebagai pemeluk agama itu sendiri dengan berani melakukan aksi-aksi kekerasan (merkipun bukan kekerasan langsung).
Jadi dalam gerakan 212 dan yang juga merepresentasikan keadaan politik domestik negara atau dunia internasional, agama dapat menjadi motivasi bagi gerakan yang timbul. Gerakan 212 saja nyata didorong atas isu agama yang masih sensitif di Indonesia.
Meskipun menurut realis penyelesaian konflik yang dilakukan adalah perang, gerakan 212 ini dirasa masih kurang besar untuk menyelesaikan keadaana konfliktual yang masih bisa dirasakan saat ini melalui pemberitaan-pemberitaan media. Jika memang ingin menyelesaikan masalah, diperlukan perang sebagai jalan keluar agama. Penulis menyetujui pendapat ini dengan alasan, dominasi satu agama akan dapat dirasakan lebih lagi, jika tidak ada agama lain yang menyaingi kemampuan sau agama. Dalam hal ini, jika Islam sebagai agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Indonesia ingin menunjukkan dominasinya atas masyarakat beragama lainnya, masyarakat Islam di Indonesia patut melakukan tindakan marjinalisasi agama yang lebih lagi, melakukan kekerasan yang lebih lagi, sehingga akan timbul rasa takut dari agama lain kepada pemeluk agama Islam di Indonesia.
Analisa Monopoli Islam di Indonesia
Indonesia seperti yang telah dijelaskan diatas mengakui lima agama sebagai agama resmi di Indonesia. Namun seperti yang diketahui pula bahwa mayoritas agama yang dianut di Indonesia adalam Islam. Agama Islam sebagai agama terbesar di Indonesia melalui pandangan realis dirasa merepresentasikan bahwa agama memiliki dasar sifat yang jahat, yang mengakibatkan agama dipandang pesimis karena bersifat konflktual dan merupakan arena monopoli.
Gerakan 212 yang diberitakan merupakan gerakan perjuangan untuk memonopoli kebijakan. Penulis mendapatkan pemikiran ini diawali dengan melihat sejarah menteri keagamaan di Indonesia yang selalu dipimpin oleh pemeluk agama Islam. Hal ini sedikit menunjukkan monopoli satu agama di Indonesia. Bahkan visi dan misi dari Kementerian Keagaman Indonesia pun sudah memperlihatkan Monopoli agama Islam di Indonesia dengan mencantumkan visi ‘meningkatkan kualitas raudhatul athfal, perguruan tinggi agama, pendidikan agama, dan pendidikan keagamaan.’[6]Tidak hanya di situ, penulis kemudian melihat agenda yang dilakukan oleh Menteri Agama, sejak periode 2013, kegiatan resmi yang dilakkan oleh menteri agama Idonesia, semua mengacu pada kegiatan keagamaan muslim.. dari 15 berita resmi yang diluncurkan oleh menteri agama, 14 diantaranya merupakan berita resmi atas agama Islam.[7]
Kemusian gerakan 212 muncul, hal ini semakin menambah kecurigaan penulis mengenai monopoli yang dilakukan Agama Islam di Indonesia. Gerakan 212 sebaga bentuk monopoli dirasa oleh penulis karena munculnya kepemimpinan kontroversial Basuki Tcahaja Purnama (Ahok) yang dirasa mampu mengambil alih tampuk kekuasaan Islam di Indonesia. Kepemimpinan Ahok yang terkenal tegas dicurigai akan membawa ketidak-beruntungan masyarakat. Hal ini didasari pula oleh pengartian yang diberikan oleh beberapa ulama mengenai pemimpin non-Islam yang dikatakan tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Menurut penulis, gerakan 212 terjadi karena beberapa oknum belum dapat menerima pengaturan oleh masyarakat non-Islam karena menganggap agamanya sebagai agama superior. Superioritas yang ada inilah yang menyebabkan berani timbulnya gerakan 212. Jika membandingkan aksi 212 dengan kegiatan keagamaan di beberapa tempat lainnya, bahkan memang setiap negara yang memiliki lebih dari satu agama namun dikuasai oleh agama tertentu, agama mayoritas akan merasa bahwa dirinya adalah superior seperti yang terjadi di Perancis, dimana masyarakat Katolik adalah agama superior dan agama Islam adalah agama inferior.
Kesimpulan Dan Saran
Tuhan adalah hal yang abstrak. Devinisi ini membuat pandangan akan agama juga menjadi abstrak. Keabstrakan agama dan konteks Tuhan menurut pandnagan Hubungan Internasional dijadikan perdebatan atas agama sebagai sumbe rkonflik atau penyelesai konflik. Disini penulis memiliki klaim bahwa agama adalah sumber dari konflik karena agama memiliki sifat ‘jahat’ yang memonopoli dan konfliktual. Meskipun demikian, sebenarnya penulis menganggap bahwa bukanlah agama yang menhajarkan kejahatan tersebut, melainkan adanya representasi agama oleh sekelompok masyarakat.
Adapun representasi masyarakat yang penulis lihat disini sangat mengacu pada sifat dasar manusia yang jahat, sehingga tindakan jahat oleh manusia dengan satu identias agama menyebabkan agama tersebut terbilang jahat. Dalam kasus yang diangka penulis, yaitu gerakan 212 yang terjadi di Indonesia, monpoli terjadi sudah sejak lama, jika melihat pada sejarah, visi dan misi, serta gerakan resmi yang dilakukan oleh Kementerian Keagamaan Indonesia. Gerakan 212 menjadi bentuk mempertahankan status quo agama dan mempertahankan monopoli agama Islam atas agama inferior lainnya.
Gerakan 212 sebagai bentuk monopoli kekuasaan agama juga dapat kita lihat melalui pemimpin masyarakat beragama, dalam kasus ini adalah Habieb Rizieq dan Ahok sebagai tersangka. Bentuk monopoli kekuasaan yang diberikan agama pada pemimpinnya terlihat dari keberhasilah pengadaan gerakan 212 itu sendiri. Jika kaum muslim tidak merasa superior, maka penulis merasa tidak akan terjadi gerakan 212 yang sangat mempermasalahkan kepemimpinan oleh umat non-Islam.
Jika kita menggunakan pandangan perspektif realisme, maka saran yang akan dikeluarkan adalah patut dibentuk perlombaan atau konflik besar yang bisa mengadu kekuatan agama mana yang lebih kuat, jika direpresentasikan atas umat di negara tersebut. dan jelas akan terlihat bahwa agama Islam akan menang. Jika agama Islam menang dan menjadi agama superior di Indonesia, maka agama Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia dapat memonopoli secara mutlak sistem kepemimpinan yang diinginkan. Bahkan jika diinginkan, monopoli dapat dilakukan lebih lagi pada sistem pemerintahan negara. monopoli yang akan dilakukan jika terjadi skema seperti yang dibayangkan penulis, maka perdamaian yang didasarkan syariat islam dapat tercapai.
Adapun dampak yang timbul bagi masyarakat non-Islam tidak perlu diperhatikan. Kaum Islam bisa saja menjadikan Indonesia sebagai negara Khilafah dan memindahkan 13% warga non-islam ke daerah yang telah ditentukan, dan membuat otonomi enaranya sendiri.
Referensi:
Jackson, Robert dan Georg Sorensen. 2013. Inroduction to International Relation: Theories and Approaches. Oxford University Press.
The Economist dan Intelligence Unit. 2015. Demokracy Index 2015: Democracy in an age of anxiety.
Undang-Undang Dasar 1945.



[1] Menurut laporan The Economist Intelligence Unit, Demokrasi dapat diukur melalui lima faktor, yaitu proses pemilihan dan pluralisme; efektifitas pemerintah; pastisipasi politik; budaya politik, dan kebebasan individu. Dikutip dari The Economist dan Intelligence Unit. 2015. Demokracy Index 2015: Democracy in an age og anxiety. (halaman 47 dan 6)
[2] Undang-Undang Dasar 1945. Buny dari UU 1945 Pasal 29 adalah: (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
[3]https://www.kemenag.go.id/artikel/12458/sekretariat-jenderal# (diakses pada 17 Desember 2016 Pukul 4:51 WIB)
[4]http://data.kemenag.go.id/file_dw/2013/2.1.pdf (diakses pada 17 Desember 2016 Pukul 4:54 WIB)
[5] Jackson, Robert dan Georg Sorensen. 2013. Inroduction to International Relation: Theories and Approaches. Oxford University Press. (halaman: 65)

[6] Misi Kementerian Keagamaan: (1)Meningkatkan kualitas kehidupan beragama. (2)Meningkatkan kualitas kerukunan umat beragama. (3)Meningkatkan kualitas raudhatul athfal, madrasah, perguruan tinggi agama, pendidikan agama, dan pendidikan keagamaan. (4)Meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji. (5)Mewujudkan tata kelola kepemerintahan yang bersih dan berwibawa.https://www.kemenag.go.id/artikel/12433/visi-dan-misi-kementerian-agama (diakses pada 17 Desember 2016 Pukul 5:45)

[7]https://www.kemenag.go.id/search?q=agama+resmi&x=0&y=0 (diakses pada 17 Desember 2016 Pukul 5:28)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar