MONOPOLI MUSLIM
DI INDONESIA: ANALISA AKSI 212
Abstrak
Tuhan
adalah hal yang abstrak, hal ini diungkapkan oleh Baruch Spinoza dalam bukunya
The Ethics. Dari devinisi ini, seolah konteks Tuhan yang diagung-agungkan oleh
setiap agama memiliki konteks yang abstrak, dan begitu pula dengan agama. Agama
yang ada di dunia ini sendiri masih menjadi perdebatan panjang, apakah sebagai
sumber konflik atau sebagai penyelesai konflik. Dengan menggunakan metode
berpikir deduktif, penelitian ini akan mencari penerangan atas klaim dan
penilaian apakah agama menjadi sumber konflik atau sebagai penyelesai konflik
melalui data sekunder. Penelitian dengan didasarkan pada pandangan
perspektif realisme dan yang ditujukan
melalui studi kasus di Indonesia dalam gerakan 212 ini akan berusaha
mendapatkan data melalui sumber terpercaya, baik melalui situs online, media
cetak, atau pun literatur terpercaya lainnya. Pengambilan kasus di Indonesia
sendiri dirasa penting karena penulis merupakan warga negara Indonesia yang
melihat adanya keberagaman agama namun tidak sepenuhnya menyebabkan toleransi
agama. Melalui penelitian ini, diharapkan mampu memunculkan kecenderungan atas
penilaian mengenai agama dan saran konkrit atas penyelesaian isu yang ada, dan
untuk meminimalisir marjinalisasi yang dilakukan satu agama atas agama lainnya.
Kata
kunci: agama, realisme, metode berpikir deduktif.
Pendahuluan
Indonesia merupakan
negara demokrasi yang menjunjung pluralisme sebagaimana seharusnya negara demokrasi.
Pluralisme sendiri merupakan tidak-adanya pemberatan atau keberatan atas
perbedaan; dan tingkat pluralisme di Indonesia sendiri tergolong bernilai
tinggi, yaitu 7,75 dari total nilai 10,00.[1]
Tingkat pluralisme yang tinggi di Indonesia ini dapat dilihat dari
Undang-Undang 1945 Pasal 29 Indonesia yang membebaskan setiap masyarakatnya
memeluk agama sesuai hati nuraninya.[2]
Bentuk pluralisme lainnya bisa kita lihat melalui pengakuan Indonesia atas
agama resmi.
Indonesia mengakui lima
agama sebagai agama yang dianut. Adapun agama-agama itu adalah Islam, Katolik,
Kristen, Hindu, dan Budha.[3]
Keberagaman agama di Indonesia ini sepertinya merupakan suatu ciri khas
tersendiri, dimana agama Islam sebagai agama mayoritas yang dianut oleh 87,21% masyarakat
Indonesia, tidak menjadikan Indonesia memiliki peraturan yang didasarkan pada
khilafah seperti yang dilakukan oleh Saudi Arabia.[4]
Namun hal ini seolah tidak beriringan dengan tingginya nilai pluralisme di
Indonesia, gerakan 212 yang terjadi pada tanggal 2 Desember 2016 di Indonesia,
menggambarkan bahwa sensitifitas atas adanya pluralitas di Indonesia sebenarnya
hanya dinilai melalui banyaknya jenis atau macam keberagaman suku, agama, dan
ras yang ada di Indonesia; dan belum didasarkan pada tingginya toleransi antar
perbedaan yang ada.
Gerekan 212 sebagai
gerakan penuntutan atas keadilan proses hukum yang berkenaan dengan isu agama
bagi penulis dianggap sebagai bentuk dari sistem anarki sehingga tidak ada
kedudukan agama yang lebih superior dibanding agama lain, sehingga proses pemberian
tuntutan akan berjalan begitu saja tanpa adanya penahanan atau larangan oleh
pihak superior. Gerakan 212 juga dinilai penulis sebagai bentuk dari sifat
manusia yang menekankan pada sifat egois atau self-help. Selain kedua pandangan
ini, bisa diliat bahwa negara dapat ditunggangi oleh kepentingan satu kelompok
agama dan bahkan keputusan yang diambl negara dapat ditekan oleh satu kelompok
masyarakat.
Penelitian ini
digunakan untuk melihat sistem kepercayaan, dalam hal ini agama menggunakan
perspektif realisme untuk menunjukkan cara agar tercapainya perdamaian.
Kerangka
Teori
Dari penjelasan pada pendahuluan diatas, terlihat
bahwa agama yang direpresentasikan oleh pemeluk agama dalam negara tertentu,
dan karena adanya representasi agama oleh pemeluk agama, diketahui bahwa agama
bersifat anarki, self-help dan memonopoli. Maka akan sangat menarik jika kita
lihat agama melalui perspektif realisme untuk lebih dapat merefleksikan
tindakan dengan kedok agama yang tidak jarang terjadi, terutama di Indonesia.
Menurut pandangan Jackson dan Sorensen, ide utama perspektif realisme adalah:
(1)a
pessimistic view of human nature; (2)a conviction that international relations
are necessarily conflictual and that international conflicts are ultimately
resolved by war; (3)a high regard for the values of national security and state
survival; (4)a basic scepticism that there can be progress in international
politics which is comparable to that in domestic political life.[5]
Dengan menngunakan perspektif realisme, penulis mengharapkan
dapat melihat agama dan hubungannya dengan negara sebagai hubungan yang dapat
memonopoli agama lainnya. Bahkan saran yang akan diberikan akan tetap
menitikberatkan pada pandangan realisme.
Pembahasan
Analisa Realisme terhadap
Keberadaan Agama dalam Studi Kasus Gerakan 212 di Indonesia
Seperti yang telah kita
ketahui pada kerangka teoritis diatas bahwa sifat alami manusia dipandang
secara pesimis, hubungan internasional adalah konfliktual yang penyelesaian
utamanya melalui perang, kemanan negara dan ketahanan negara menjadi nilai yang
diprioritaskan, dan adanya progres dalam politik internasolnal dapat
dibandingkan dengan kehidupan politik domestik. Dari keempat ide dasar
tersebut dapat ditarik dua kesimpulan mengenai pandangan realisme terhadap
agama yang mempertegas bahwa agama adalah sumber konflik.
Pertama, agama yang
direpresentasikan manusia memiliki perilaku yang juga seperti manusia yang ‘jahat’.
Meskipun agama tidak mengajarkan untuk melakukan kegiatan yang jahat, pemberian
label atas perilaku yang ditimbulkan manusia akan dijadikan label atas
identitas yang dipegang oleh manusia itu. Agama, lebih jauh lagi dijadikan
alasan satu negara menilai perilaku negara melalui identitas mayoritas yang
diakui oleh negara. identitas negara kemudian dilekatkan dengan identitas yang
dipegang oleh aktor-aktor dalam hubungan internasional.
Dalam gerakan 212,
terlihat bahwa representasi agama oleh masyarakat sangatlah kuat. Gerakan yang
diklaim atas dasar penuntutan hukum secara adil mengenai isu agama hanyalah
satu dari banyak sifat buruk agama. Tidak hanya representasi atas agama Islam,
namun juga agama lain. Agama dijadikan alasan oleh manusia untuk membela
kebenaran, mengklaim hal yang baik dan benar, serta untuk memberikan monopoli atas
kekuasaan yang diberikan atas pemelukan satu agama.
Pembelaan kebenaran
dalam gerakan 212 ini dirasa menggunakan kedok agama untuk menyalahkan satu
kelompok masyarakat. Islam, sebagai agama yang melakukan gerakan tersebut
dirasa merepresentasikan bahwa agama dapat ditunggangi oleh kepentingan
pemegang kekuasaan yang diberikan oleh agama. Buktinya adalah kekuasaan yang
dipegang oleh Habieb Rizieq, menjadikannya dapat memonopoli kegiatan agama.
Habieb Rizieq dirasa memberikan tekanan bagi masyarakat non-muslim melalui
gerakan ini. Tekanan yang diberikan adalah klaim bahwa tidak benar jika
pemimpin berasal dari agama non-Islam, jika memang dipimpin oleh non-Islam,
maka umat muslim akan melakukan tindakan tegas, jangan macam-macam terhadap
kami. Gerakan 212 ini juga ditakutkan makin merepresentasikan anggapan dunia
bahwa muslim atau pemeluk agama islam memiliki konotasi negativ, bersifat
jahat. Yang lebih ditakutkan lagi, gerakan 212 akan memperburuk pandangan dunia
terhadap pemeluk agama Islam, yang ditempekan label sebagai teroris.
Kedua, didapatkan
pemikiran bahwa agama merupakan sumber konflik karena bersifat konfliktual.
Konflik antar-agama yang terjadi hanyalah justifikasi atas penyelesaian
masalah, namun kenyataannya adalah bentuk keras untuk mempertahankan status
quo. Dalam gerakan 212, masyarakat Islam di Indonesia melakukan gerakan
tersebut untuk menyatakan kedudukan superiornya atas agama lain di Indonesia,
sehingga Islam, sebagai agama mayoritas di Indonesia diberikan perlakuan
spesial dalam kedudukan di negara.
Dalam gerakan 212, aksi
tersebut timbul karena kurangnya kompetensi pada mayoritas masyarakat
‘beragama’ di Indonesia. Kurangnya kompetesi pada masyarakat ini menimmbulkan
adanya pencernaan makna secara dangkal dalam proses penerimaan informasi yang
disampaikan oleh pemberi informasi. Menurut penulis, masyarakat yang mengikuti
gerakan 212 kurang kompetensi sehingga cepat ter-profokasi oleh informasi yang
disalahartikan. Alasan ini cukup untuk merepresentasikan seberapa
konfliktualnya agama. Tanpa mengetahui penyebab pasti atau kejadian asali atas
satu hal, satu agama yangd irepresentasikan sebagai pemeluk agama itu sendiri
dengan berani melakukan aksi-aksi kekerasan (merkipun bukan kekerasan langsung).
Jadi dalam
gerakan 212 dan yang juga merepresentasikan keadaan politik domestik negara
atau dunia internasional, agama dapat menjadi motivasi bagi gerakan yang
timbul. Gerakan 212 saja nyata didorong atas isu agama yang masih sensitif di
Indonesia.
Meskipun menurut realis
penyelesaian konflik yang dilakukan adalah perang, gerakan 212 ini dirasa masih
kurang besar untuk menyelesaikan keadaana konfliktual yang masih bisa dirasakan
saat ini melalui pemberitaan-pemberitaan media. Jika memang ingin menyelesaikan
masalah, diperlukan perang sebagai jalan keluar agama. Penulis menyetujui
pendapat ini dengan alasan, dominasi satu agama akan dapat dirasakan lebih
lagi, jika tidak ada agama lain yang menyaingi kemampuan sau agama. Dalam hal
ini, jika Islam sebagai agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Indonesia
ingin menunjukkan dominasinya atas masyarakat beragama lainnya, masyarakat
Islam di Indonesia patut melakukan tindakan marjinalisasi agama yang lebih
lagi, melakukan kekerasan yang lebih lagi, sehingga akan timbul rasa takut dari
agama lain kepada pemeluk agama Islam di Indonesia.
Analisa Monopoli Islam di Indonesia
Indonesia seperti yang
telah dijelaskan diatas mengakui lima agama sebagai agama resmi di Indonesia.
Namun seperti yang diketahui pula bahwa mayoritas agama yang dianut di
Indonesia adalam Islam. Agama Islam sebagai agama terbesar di Indonesia melalui
pandangan realis dirasa merepresentasikan bahwa agama memiliki dasar sifat yang
jahat, yang mengakibatkan agama dipandang pesimis karena bersifat konflktual
dan merupakan arena monopoli.
Gerakan 212 yang
diberitakan merupakan gerakan perjuangan untuk memonopoli kebijakan. Penulis
mendapatkan pemikiran ini diawali dengan melihat sejarah menteri keagamaan di
Indonesia yang selalu dipimpin oleh pemeluk agama Islam. Hal ini sedikit
menunjukkan monopoli satu agama di Indonesia. Bahkan visi dan misi dari
Kementerian Keagaman Indonesia pun sudah memperlihatkan Monopoli agama Islam di
Indonesia dengan mencantumkan visi ‘meningkatkan kualitas raudhatul athfal,
perguruan tinggi agama, pendidikan agama, dan pendidikan keagamaan.’[6]Tidak
hanya di situ, penulis kemudian melihat agenda yang dilakukan oleh Menteri
Agama, sejak periode 2013, kegiatan resmi yang dilakkan oleh menteri agama
Idonesia, semua mengacu pada kegiatan keagamaan muslim.. dari 15 berita resmi
yang diluncurkan oleh menteri agama, 14 diantaranya merupakan berita resmi atas
agama Islam.[7]
Kemusian gerakan 212
muncul, hal ini semakin menambah kecurigaan penulis mengenai monopoli yang
dilakukan Agama Islam di Indonesia. Gerakan 212 sebaga bentuk monopoli dirasa
oleh penulis karena munculnya kepemimpinan kontroversial Basuki Tcahaja Purnama
(Ahok) yang dirasa mampu mengambil alih tampuk kekuasaan Islam di Indonesia.
Kepemimpinan Ahok yang terkenal tegas dicurigai akan membawa
ketidak-beruntungan masyarakat. Hal ini didasari pula oleh pengartian yang
diberikan oleh beberapa ulama mengenai pemimpin non-Islam yang dikatakan tidak
sesuai dengan ajaran Islam.
Menurut penulis,
gerakan 212 terjadi karena beberapa oknum belum dapat menerima pengaturan oleh
masyarakat non-Islam karena menganggap agamanya sebagai agama superior.
Superioritas yang ada inilah yang menyebabkan berani timbulnya gerakan 212.
Jika membandingkan aksi 212 dengan kegiatan keagamaan di beberapa tempat
lainnya, bahkan memang setiap negara yang memiliki lebih dari satu agama namun
dikuasai oleh agama tertentu, agama mayoritas akan merasa bahwa dirinya adalah
superior seperti yang terjadi di Perancis, dimana masyarakat Katolik adalah
agama superior dan agama Islam adalah agama inferior.
Kesimpulan Dan Saran
Tuhan adalah hal yang
abstrak. Devinisi ini membuat pandangan akan agama juga menjadi abstrak.
Keabstrakan agama dan konteks Tuhan menurut pandnagan Hubungan Internasional
dijadikan perdebatan atas agama sebagai sumbe rkonflik atau penyelesai konflik.
Disini penulis memiliki klaim bahwa agama adalah sumber dari konflik karena
agama memiliki sifat ‘jahat’ yang memonopoli dan konfliktual. Meskipun
demikian, sebenarnya penulis menganggap bahwa bukanlah agama yang menhajarkan
kejahatan tersebut, melainkan adanya representasi agama oleh sekelompok
masyarakat.
Adapun representasi
masyarakat yang penulis lihat disini sangat mengacu pada sifat dasar manusia
yang jahat, sehingga tindakan jahat oleh manusia dengan satu identias agama
menyebabkan agama tersebut terbilang jahat. Dalam kasus yang diangka penulis,
yaitu gerakan 212 yang terjadi di Indonesia, monpoli terjadi sudah sejak lama,
jika melihat pada sejarah, visi dan misi, serta gerakan resmi yang dilakukan
oleh Kementerian Keagamaan Indonesia. Gerakan 212 menjadi bentuk mempertahankan
status quo agama dan mempertahankan monopoli agama Islam atas agama inferior
lainnya.
Gerakan 212 sebagai
bentuk monopoli kekuasaan agama juga dapat kita lihat melalui pemimpin
masyarakat beragama, dalam kasus ini adalah Habieb Rizieq dan Ahok sebagai
tersangka. Bentuk monopoli kekuasaan yang diberikan agama pada pemimpinnya
terlihat dari keberhasilah pengadaan gerakan 212 itu sendiri. Jika kaum muslim
tidak merasa superior, maka penulis merasa tidak akan terjadi gerakan 212 yang
sangat mempermasalahkan kepemimpinan oleh umat non-Islam.
Jika kita menggunakan
pandangan perspektif realisme, maka saran yang akan dikeluarkan adalah patut
dibentuk perlombaan atau konflik besar yang bisa mengadu kekuatan agama mana
yang lebih kuat, jika direpresentasikan atas umat di negara tersebut. dan jelas
akan terlihat bahwa agama Islam akan menang. Jika agama Islam menang dan menjadi
agama superior di Indonesia, maka agama Islam sebagai agama mayoritas di
Indonesia dapat memonopoli secara mutlak sistem kepemimpinan yang diinginkan.
Bahkan jika diinginkan, monopoli dapat dilakukan lebih lagi pada sistem
pemerintahan negara. monopoli yang akan dilakukan jika terjadi skema seperti
yang dibayangkan penulis, maka perdamaian yang didasarkan syariat islam dapat
tercapai.
Adapun dampak yang
timbul bagi masyarakat non-Islam tidak perlu diperhatikan. Kaum Islam bisa saja
menjadikan Indonesia sebagai negara Khilafah dan memindahkan 13% warga
non-islam ke daerah yang telah ditentukan, dan membuat otonomi enaranya
sendiri.
Referensi:
Jackson,
Robert dan Georg Sorensen. 2013. Inroduction to International Relation:
Theories and Approaches. Oxford University Press.
The Economist dan Intelligence Unit.
2015. Demokracy Index 2015: Democracy in an age of anxiety.
Undang-Undang
Dasar 1945.
[1] Menurut laporan The Economist
Intelligence Unit, Demokrasi dapat diukur melalui lima faktor, yaitu proses
pemilihan dan pluralisme; efektifitas pemerintah; pastisipasi politik; budaya
politik, dan kebebasan individu. Dikutip dari The Economist dan Intelligence
Unit. 2015. Demokracy Index 2015: Democracy in an age og anxiety. (halaman 47
dan 6)
[2] Undang-Undang
Dasar 1945. Buny dari UU 1945 Pasal 29 adalah: (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
[3]https://www.kemenag.go.id/artikel/12458/sekretariat-jenderal# (diakses pada 17 Desember 2016
Pukul 4:51 WIB)
[5] Jackson, Robert dan Georg
Sorensen. 2013. Inroduction to International Relation: Theories and Approaches.
Oxford University Press. (halaman: 65)
[6] Misi Kementerian Keagamaan: (1)Meningkatkan kualitas kehidupan beragama.
(2)Meningkatkan kualitas kerukunan umat beragama. (3)Meningkatkan kualitas
raudhatul athfal, madrasah, perguruan tinggi agama, pendidikan agama, dan
pendidikan keagamaan. (4)Meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji. (5)Mewujudkan
tata kelola kepemerintahan yang bersih dan berwibawa.https://www.kemenag.go.id/artikel/12433/visi-dan-misi-kementerian-agama (diakses pada 17 Desember 2016 Pukul 5:45)
[7]https://www.kemenag.go.id/search?q=agama+resmi&x=0&y=0 (diakses pada 17 Desember 2016
Pukul 5:28)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar