Kamis, 16 Maret 2017

resume buku theories of international regimes

Introduction: three perspectives on international regimes
Rezim internasional = hukum, norma, peraturan, proses pengambilan keputusan (Krasner) dapat dipandang melalui tiga perspektif yang didasarkan pada power (realism), interest (neo-liberalism), dan knowledge (cognitivitist).
Rezim internasional dipandang oleh institusionalism = effektifitas dan fleksibilitas. Rezim akan efektif jika peraturan dilakukan oleh anggota rezim atau jika tujuannya tercapai. Menurut fleksibiitas-nya, maka rezim dirasa fleksibel jika power rezim mampu bertahan dari tantangan dan lahirnya kekuatan rezim yang baru. Pandangan inilah yang menjadi pemikiran behavioralist dan diusahakan oleh ketiga perspektif untuk mendasari pemikirannya.
Regime yang didasarkan pada power melihat tidak hanya pada absolute gain, tetapi relative gain; yang mempertimbangkan sebab-akibat pada dunia internasional. Power juga mnyebabkan kooperasi antar-negara, walau terkadang terhalangkeinginan negara untuk survive dan independen.
Rezim yang didasarkan pada interest melihat negata adalah aktor rasional yang egois dan hanya bertujuan untuk mencapai kepentingan absolutnya dan model game theori digunakan untuk menggambarkan konstelasi interest negara.
Menurut kognitivitist yang didasarkan pada knowledge, fokus pada  dasar utama negara mencapai interest dan hubungannya pada ide normative.
Conceptual issues: defining international regimes
 Susan Strange mengatakan bahwa penggunaan konsep rezim internasional dapat berbeda berdasarkan kontesnya. Untuk itu Krasner menegaskan pendapatnya mengenai rezim “hukum (kepercayaan atas fakta, penyebab, kebenaran), norma (standar kebiasaan), peraturan (hukuman atau saran yang spesifik atas tindakan), proses pengambilan keputusan (praktik atas pembuatan dan implementasi collective choices) eksplisit atau implisit oleh aktor ”. Implikasi penting dari rezim internasional adalah : rezim dan institusi internasional harus dipelajari sebagai konteks yang berbeda atau suatu hal yang sama.
A complex and a lean definition of "international regime"
Young mengkritik Krasner: (1)definisi hanya berisi elemen yang susah dibedakan, (2)tidak elastic saat diaplikasikan, (3)konsep kecil yang tidak dapat menjadi sistem besar untuk menyelesaikan ambiguitas. Hal ini karena Krasnes hanya memberikan pengertian tanpa menjustifikasi mana yang lebih dapat digunakan, apakah implisit atau implisit.
Behavioral, cognitive, and formal approaches to conceptualizing international regimes
Rezim internasional dapat diargumentasikan menurut tiga konsep yaitu behavioral, cognitiv, dan formal. Young mengatakan bahwa institusi sosial adalah praktik usaha untuk pengakua peran kluster yang berbeda, konsekuensinya pendekatan behavioral (explanation of a given pattern of behavior) mengidentifikasi rezim secara empiris. Pendekatan ini melihat rezim melalui aksi negara. rezim menimbulkan peraturan, jadi institusi legal yang menimbulkan hukum (Mark Zacher).
Kratochwil dan Rugie, rezim dapat dipandang melalui  arti intersubjektivitas dan pembagian pengertian (cognitive {rezime exist in the issue area, states tent to act in accordance with it injunction}). Melihat rezim melalui penyampaian peristiwa oleh satu pihak kepada komunitas negara dan aksi communikative.
Keohane melihat rezim dengan cara formal (institution are persistence and connected set of rules that affirmative manner by goverments), rezim dijelaskan melalui satu bagian yang memengaruhi pengelolaan negara yaitu formal agreement.
Dari pembahasan ditas, kita melihat bahwa power dan interest based theory lebih dekat pada pendekatan formal dan kurang ke behavior, sedangkanknowledge based theory lebih ke pendekata kognitive.



Interest-based theories: political market failure, situation and problem structures, and institutional bargaining
Kal ini kita akan membahas pendekatan yang sangat dekat dengan rezim internasional.
The rationalist (or utilitarian) approach to international regimes
Realisme dan neo-liberalisme memiliki kesamaan pandangan pada beberapa hal yang diajukan oleh rasionalis mengenai keputusan pengambilan kebijakan aktor. Kebijakan luar negeri adalah keluaran dari perhiungan oleh negara mengenai keuntungan yang mungkin didapat. Rasionalist mengatakan bahwa keluaran akan cenderung stabil waktu ke waktu. Yang dimaksudkan stabil adalah kecenderungan-hasil yang ada akan stabil. Lebih lagi, rasionalist mengatakan bahwa keluaran cenderung stabil tidak hanya waktu ke waktu, namun juga pada aktor-aktornya, baik individu dan negara. Karakteristik ini dianggap tidak muncul begitu saja, keluaran yang ada akan dapat diperkirakan.
Karakteristik dari rasionalist lainnya adalah tidak mempermaslahkan persepsi aktor atas hubungan sebab akibat. Hal ini bisa berarti dua hal: (1)ahli mengasumsikan bahwa negara rasional dan paham atas situasi yang ada, (2)ahli mengasumsikan bahwa aktor menggunakan data yang ada dan tidak melakukan penelitian untuk mencari data yang asli.
Differences between neoliberalism and realism
Negara mencari pemaksimalan pada interest dan power, menyebabkan ada kebiasaan yang muncul dari negara. Neo-liberalisme mengatakan bahwa negara adalah aktor yang egois yang hanya mementingkan keuntungan dan kerugian negaranya saja. Secara berlawanan, relisme mengatakan bahwa negara (minimal dan sebagian) saling bergantung yang menyebabkan negara  ber-kooperasi. Hasil yang muncul, realisme lebih mementingkan efektifitas dan adaptasi rezim dibandingkan neo-liberalism yang memandang rezim sebagai bentuk ketertarikan yang melihat pada keadaan internasional itu sendiri.
Interest based approach juga memiliki dua pendekatan dalam rezim internasional. Pertama, cotractualism memandang rezim internasional dipengaruhi oleh bagaimana aktor berkooperasi yang menunjukkan Prisoner Dillema untuk menstabilkan rezim. Kedua, situation-structuralism lebih lagi melebarkan pandangan pada analisis dari keadaan strategis dimana aktor mungkin berkooperasi melalui rezim dan menganalisis konstelasi rezim sebagai institusi.
3.1 Keohane’s contractualist (or functional) theory of international regimes
Contractualist atau functional-teory rezim adalah perspektif dalam dunia politik yan fokus pada pertumbuhan institusionalisasi kebiasaan internasional yang diberi label neoliberal-institusionalisme (Keohane).
Realist premist and liberal institutionalist-conclusions
Negara adalah aktor krusial dan dunia adalah anarki. Aktor akan selalu rasional dan egois dalam pemenuhan dan maksimalisasi utilitas. Rasional berarti aktr konsisten, kecenderungan, dan perhitungan unung dan biaya. Egois yang dimaksud adalah independen. Egois yang dimaksudkan juga adalah self-interest sehingga aktor tidak memperdulikan jika aktor lain mmenuhi kebutuhan dan keuntungannya. Hal ini memiliki peran penting dalam sikap kooperatif negara dan distribusi power dan kesejahteraan memengaruhi kebiasaan negara.
Common interest, cooperation, and regimes
Teori kontraktualis mengatakan bahwa rezim beroperasi dalam kondisi dimana negara harus berbagi kesamaan interest, sehingga dapat menimbulkan kooperasi. Karena pandangan ini, dimungkinkan adanya minimal dua konsekuensi. Pertama, cakupan teori tidak negligible; sifat hubungan negara-negara tidaklah zero-sum game, namun saling terhubung. Kedua, teori bukanlah trivial; dunia internasional tidak dapat selalu diprediksi dan ditebak polanya. Untuk mendukung pendapatnya, Keohane menambahkan Prisoner’s Dillema sebagai bukti rasionalitas-nya.

C
D
C
3,3
1,4
D
4,1
2,2
Interest aktor tidak dijelaskan melalui teori melainkan sebagai pemberian yang exogenously. sehingga teori memiliki dampak positif dalam pembelajaran dan ide atas pemahaman aktor atas interest-nya. Implikasi lainnya adalah butuhnya spesifikasi mengenai hubungan antara interest, kooperasi, dan rezim. Kooperasi adalah hasil dari hasil dari proses koordimasi kebijakan.
Teroi kontraktualis fokus pada instrument tertentu: rezim internasional membentuk pursuit of joint gains. Rezim memfasilitasi kooperasi internasional dan game theory digunakan untuk membuat strategi yang lebih menguntungkan. Rezim bukan berarti bentuk lebih jauh dari kooperasi.
How regimes make a difference: the functions of regimes
Rezim membentuk kooperasi. Negara tidak pasti terhadap parner-nya, sebagai hasilnya pemerintah melewatkan kesempatan bargain yang saling menguntungkan. rezim memiliki peran utama untuk mengurangi biaya dan meningkatkan informasi.
Dalam situasi Prisones’s Dillema, rezim yang memonitoring meminimalisir fear dan mempermudah kooperasi. Kecurangan menjadi minimal terjadi karena adanya keterhubungan hukum, norma, dan peraturan dasar. Rezim menjadi strategi menstabilisasi kooperasi.
Kesulitan menggunakan tit-for-tat di dunia nyata disebut sanctioning problem membuat strateri atas operasi: (1)pembuat masalah harus teridentifikasi, (2)melakukan tindakan kekerasan jika diperlukan menghukum ‘penjahat’, (3)seseorang harus siap menanggung harga dari sanksi. Kontraktualis memitigasi semua permasalahan sanksi untuk fokus pada reputational effects. Rezim dapat memonitoring atau mengatur negara untuk melakukan tindakan atas pembuat masalah.
Functional explanations for emergence and persistence of regimes
Kali ini akan dibahas efek rezim internasional atas kebiasaan negara. Fungsi penjelasan dalam dunia sosial adalah berkelanjutan secara alami. Institusi menurut rational choice sebagai penjaga dan pengembang insentiv. Rezim juga secara singkat dibuat untuk menjapai tujuan tertentu (egois).
Menurut Keohane yang menerapkan perspektif fungsional, rezim dipandang melalui formasi dan pemeliharaan rezim. Pertama, rezim mengurangi biaya, antar-anggota rezim dapat menciptakan kooperasi melalui perjanjian (yang lebih murah dibanding berkooperasi dengan satu negara), yang berarti mendukung pula distribusi unipolar.
Rezim memang sulit dibentuk karena konstelasi power dan interest negara yang berbeda, namun sekali rezim berdiri, walaupun motiv lama didirikan rezim hilang, maka rezim akan beradaptasi. Rezim beradaptasi dikarenakan pula mengingat biaya pembuatan rezim yang mahal. Rezim tidak mengurangi biaya transaksi, namun memfasilitasi bargaining.
Some open questions
Pertanyaan pertama, criteria apa yang harus ditemukan dalam menerima pernjelasan secara fungsional? Kedua, meta-teoritika apa yang ada dalam penjelasan ini? Jawaban pertama, post hoc ergo propter hoc yang berarti institusi bisa diinterpretasikan terbit karena fungsi yang harus disediakan, ketika faktanya muncul karena alasan kebetulan. Jawaban kedua; negara diasumsikan sebagai aktor yang rasional, institusi dapat dijelaskan melalui fungsi pencegahan, dan antisipasi secara rasional.
Apa yang menjadi perbedaan rezim dan kooperasi? Rezim adalah norma, sedangkan kooperasi adalah ad hoc perjanjian substantiv. Perjanjian lebih ditekankan pada perekonomian, rezim lebih ditekankan pada peraturan. Namun masih tidak jelas level atau batas yang dibuat Keohane.
3.2 A game theoretic extension of functional regime theory: the situation-structural approach
Situation-structuralism adalah percobaan pada pemanjangan dan pengembangan lebih jauh dari argument interest-based regime.
Explaining regime form on the basis of situational attributes
Kooperasi terjadi jika rasionalitas eksis, dan menimbulkan keluaran yang sub-optimal. Situational-structuralis memiliki kesetujuan dengan Keohane bahwa kondisi negara terkadang berusaha untuk memaksimalkan keuntungan, sehingga terkadang keputusan yang saling menguntungkan sulit di dapatkan. Pareto optimal > pareto efficient. Coordination regime > collabotation regime.
Accounting for success and failure in regime building
Situasional-structuralis fokus pada pertanyaan bagaimana rezim membantu negara berkooperasi ddengan strategi dalam situasi yang berbeda serta mencari solusinya. Zurn mengasumsikan keempat situasi menurut kecenderungan rezim internasional yang diurutkan menurut kadar kesuksesannya, yaitu: (1)assurance situation, (2)coordination situation, (3)collaboration situation, (4)suasuion/rambo siuations. Keempat struktur ini dipengaruhi oleh satu set variabel sekunder, yaitu: frekuensi interaksi, seringnya transaksi, tipe kebijakan luar negeri,distribusi sumber isu, ada/tidak adanya solusi yang menonjol, banyaknya aktor, hubungan keseluruhan aktor.
Kooperasi akan sulit dilakukan jika berhubungan dengan sanksi dan distribusi (Bernard Zangl). Hal ini mendukung pendapat Zurn yang menyatakan kooperasi lebih sulit dilakukan ketika dampak negative terlihat dan akan lebih sulit berkooperasi jika kedudukan sama tidak setuju bagaimana unutk berkooperasi.
Regime demand and difficulies of cooperation-an unresolved tension in the situation-structural argument?
Situation-structuralist membantu rationalist  melalui variabel sekunder yang diberikan untuk membantu pandangan kontraktualis akan aktor dalam rezim internasional. ‘Demand’ rezim hanya dapat menjadi bagian dari sejarah pembentukan dan keadaan seimbang dalam rezim dipengaruhi oleh pembentukannya itu. Semakin mudah rezim dibentuk, maka semakin mudah melakukan kooperasi (Zurn). Sedangkan kooperasi yang dilakukan rezim didasari pada rule diantara negara dalam rezim.
3.3 The problem-structural approach
Rezim lebih mengarah pada isu spesifik dalam area yang didalamnya aktor-aktor saling berinteraksi. Dalam rangka penyelesaian isu, rezim terkadang gagal. Dalam penyelasaian masalah, hubungan internasional dirasa paling tepat berada pada medium level dibanding pada unit atau global level, dan menggunakan penjelasan topografi yang biasa disebut problem-structural approach.
The core argument: issue properties and conflict management
Jika atribut aktor dan kebiasaan internasional tidak dapat memenuhi pola isu-area, maka dilakukan tiga tahap yaitu, klarifikasi isu, rekonseptualisasi (re-klarifikasi), dan menghadirkan tipologi isu (untuk mengkategorisasi variabel dan membangun hipotesis).  Isu—area juga dipelajari sebagai cadangan jika dalam jangkauan isu tidak terdapat rezim.
Konflik dan manajemen konflik  memiliki makna yang berbeda. Konflik dianggap sebagai perbedaan posisi dalam isu (Czempiel).  Sedangkan manajemen konflik adalah praktik berkelanjutan dengan menyetujui hukum.
“Policy domains” and “conflict types”: two problem-structural hypotheses
 Tipologi isu-area yang diasumsikan adalah karakteristik isu-area dimana konflk terjadi akan diselesaikan secara kooperatif dengan mengedepankan self-help.  Hal ini lebih dimudahkan dengan tiga domain, yaitu: security (perlindungan dari ancaman fisik baik internail maupunn eksternal), rule (kesempatan kebebasan dan partisipasi politik{isu-area}) yang kemudian mendukung domain economic well being (alokasi ekonomi dan mencapai gain{rezim}).
Typology konflik dapat dilihat melalui tiga tipe konflik ini: conflict about means (perbedaan pencapaian tujuan), conflict about values (perbedaan kepercayaan atas aksi), dan 2 conflict of interest (kesamaan tujuan dan cara malah menimbulkan kompetisi).

Some problems of the problem-structural approach
Permasalahan yang ada antara lain: belum adanya landasan teoritis yang kuat atas pendekatan ini dan kesulitan yang tidak terpecahkan saat mengaplikasikan pendekatan ini pada kasus nyata.
Belum adanya landasan teoritis yang kuat. Hal ini menimbulkan banyak tentangan, seperti realis yang mengatakan bahwa mengedepankan keamanan dan militer selalu menguntungkan. penggunaan konsep objektivitas yang ditekankan pada isu bukan opini aktor dirasa bertentagan dengan cognitivitis. Pandangan problem-strukturan ini juga dianggap sama dengan pendapat Zurn mengenai struktur situasi, sehingga dianggap berasal dari perspektif neoliberalisme. Neoliberalisme sendiri dikritik oleh realis. Neoliberalisme mengatakan bahwa negara adalah egois, realis mengatakan bahwa negara adalah posisionalis. Dan negara masih mempertimbangkan adanya relative gain.
Penerapan tidak memecahkan masalah dalam pengaplikasian. Dalam penerapannya, terkadang dalam konflik mengandung konflik dissensual dan consensual yang belum diberikan penjelasan.
3.4 Institutional bargaining: Young’s model of regime formation.
Oran Young memberikan pandangan atas interest-based regime yang lebih spesifik disebut sebagai model formasi rezim yang menggambarkan kemungkinan joint gains dan sulitnya mengeset norma dan aturan spesifik yang sesuai.
A critique of mainstream rationalist models of bargaining
Argumen kriitk pertama, apakah benar adanya prospek dunia nyata aka menyebabkan negosiasi antas aktor yang self-interest. Kritik kedua, bagaimana ketidaksadaran dan pe-ralat-an yang dilakukan tetap membuat rezim itu eksis.
“Insitutional bargaining” as a more realistic model of regime formation.
Formasi rezim berada pada pusat bargaining yang produktif. Model yang diberikan Young mempunyai uncertainty. Uncertainty dalam membangun rezim diusahakan juga memnyelesaikan permasalahan uncertainty. Karakteristik institutional bargaining yang disampaika Young adalah: (1)pengadopsian pendekatan problem-oriented oleh aktor, (2)adanya divisi intrastate yang menyiptakan formasi aliansi transnasional yang supportive dalam kooperasi internasional, (3)prosess negosiasi dalam sosioekonomi dan politik memungkinkan kesempatan bagi hubungan yang lebih jauh dengan negosiator.
Hypotheses to account for success and failure in institutional bargaining
Berikut adalah dua hipotesis yang disampaikan oleh Young mengenai “syarat” keberhasilan institutional bargaining.
I.                    The Facors encouraging integrative bargaining
(1)Contractual environment blurring the zone of agreement and veiling the future distribution of benefits
(2)Exogenous shock of crisis
II.                  Factors promoting the success of integrative bargaining
(1)Availability of equitable solution
(2)Availability of salient solution
(3)Availability of clear-cut and effective compliance mechanism
(4)mixture of enterpreneurial, structural, and intellectual leadership

Evaluating the model empirically
Secara metodologi, projek ini adalah studi yang berfokus pada kasus atau struktur. Diantara enam kasus, hanya ada satu kasus yang non-rezim. Dari semua hipotesis, yang cukup meyakinkan adalah teori institutional bargaining. Dan dari hipotesis itu, peran individu sangat didukung dalam menemukan interest grup. Pada hipotesis Young, equity, salience, compliance mechanism, exogenous shocks, integrative bargaining, dan veil of uncertain. Yang masih kurang adalah jawaban atas solusi apa untuk menghadapi isu rezim internasional dan equity.
Power-based theories: hegemony, distributional conflict, and relative gains
Secara general, perspektif realis dalam institusi internasional memiliki kedudukan khusus dalam kapabilitas distribusi power dan penjelasan faktor-faktornya relative gain, bentuk institusional dari kooperasi lebih sulit dicapai dibanding yang diprediksi oleh perspektif neo-liberalisme. Contoh klasik dari power-based berhubungan dengan efektifitas institusi internaisonal pada konfigurasi pada isu-area.
4.1 Hegemonic stability theory
Hegemonic stability theory- a theory regimes?
Teori stabilitas  hegemoni berhubungan dengan dominasi negara pada isu-area dalam mencari penjelasan kapan dan mengapa rezim internasional efektif dalam mengikuti kebijakan untuk kooperatif, yang dimana saat tidak ada rezim negara tidak suka ‘mencari pencapaian’. Jika struktur power rezim tidak dapat beradaptasi, maka rezim dianggap sebagai kelompok norma yang tidak efektif.
Yang ditekankan adalah bagaimana rezim memfasilitasi kooperasi hanya untuk me-logika-kan kooperasi tidak ditentukan dengan simpel oleh interest dan power. Teori stabilitas rezim juga ingin melihat kreasi dari formasi rezim jika tidak ada hegemoni.
The origins of hegemonic stability theory
Awal teori hegemoni ada untuk bidang ekonomi, yang mengatakan bahwa “untuk stabilisasi ekonomi, perlu adanya stabilisator, satu stabilisator (Charles Kindleberger)”. Teori ini merupakan spesifikasi yang menjelaskan mengapa aktor rasional tidak dapat berharap untuk bertindak berdasarkan kesamaan interest mereka (Olson). Jawaban yang didapat adalah semakin besar grup, interest pada kebutuhan juga meningkat sehingga adanya asimetri kerja grup-grup dan eksploitasi simetris baik pada grup besar mau pun grup kecil.
Kindleberger msendiri menjelaskan bahwa kehadiran perekonomian dan power politis yang menonjol yang menyebabkan grup negara memiliki kapasitas dan menjadikannya grup memiliki hak istimewa. Dan efek yang ditimbulkan bukanlah ketakutan atas power yang melimpah, melainkan kurangnya power sehingga tidak memiliki akses pada dominasi.
Dalam rezim internasional teori stabilitas hegemoni mengisyaratkan bahwa: (1)stabilitas rezim dan perawatan oleh aktor dipegang oleh aktor yang memegang power lebih besar, (2)rezim mengalami pengurangan efektifitas saat power menjadi sama diantara anggotanya.
Benevolent and coercive hegemons
Kritik oleh Duncan Snidal disampaikan pada dua hal berikut ini. Pertama, jika negara hegemon berusaha mempertahankan rezim sendiri, maka akan ada pengendara gratis dalam rezim dan malah akan ada eksploitasi yang hebat oleh yang kecil. Dan kemudian keuntungan lebih besar dan juga anggapan berkurangnya biaya akibat keberhasilan rezim sebenarnya dipengaruhi rasio keuntungan dan biaya itu sendiri. Hal ini adalah hasil negative dari kepemimpinan yang bijak atau baik (distribusi sumber power). Pendapat ini ditentang pula dengan alasan dalam pembagian keuntungan, tentunya pemimpin akan mendapat rasio yang juga lebih besar. Kedua, adanya hegemoni menyebabkan adanya pemaksaan untuk mendukung satu hal yang disetujui oleh negara hegemon. Ini adalah efek kepemimpinan yang memaksa. Pandangan ini juga mendapatkan tentangn bahwa negara dengan sumberdaya berbeda dan power yang berbeda harus mampu secara bijak memahami siapa yang menghegemoni.
Berikut adalah dua level perbedaan dimana negara memutuskan untuk berkooperasi atau tidak. Pertama, order cooperation yang digunakan saat negara menyesuaikan kebijakan terhadap isu substantiv tertentu melalui jalan yang saling menguntungkan. kedua, order cooperation yang hadir dalam kedua pembuatan kebijakan dan pelaksanaan hukum terkait biaya.
Dalam aksi kolektif, teroi stabilitas ekonomi menolak ikatan dengan skala besar dengan alasan tidak ada regime yang muncul dalam permasalahan isu-area kecuali memiliki support oleh aksi independen.

Objection 1: Are regimes really public goods?
 Bagaimana interpretasi rezim internasional sebagai public goods? Bagaimana rezim internasional sebagai publc goods menghadapi isu aksi kolektif yang menolak kooperasi jika dilihat dari pandangan teori hegemoni? Secara alami, rezim internasional akan memeperlihatkan  sifat yang mementingkan collective goods (Young). Namun collective goods bagi sebagian negara adalah private good, jadi pandangan apakah public goods atau bukan bergantung pada rezim yang bersangkutan (Olson).
Jika dilihat melalui kacamata teori hegemoni, maka negara hegemon tidak bisa mengharapkan adanya collective goods. Hal ini dikarenakan akan adanya predator dalam pengadaan public goods tersebut. Alasan lain adalah karena kemampuan negara hegemon untuk menetapkan bea maksimal, sehingga negara besar tidak dapat mengharapkan free trade dan collective goods.
Namun pandangan teori hegemon ini ditentang oleh neoliberalisme yang dianggap menyepelekan dua hal. Pertama, situation-structuralist menyatakan bahwa setiap negara memang memaksakan-kehendak sehingga tidak diperlukan hegemoni dan adanya free rider bukan merupakan masalah besar karena free rider akan kembali pada aturan biasa. Kedua, contractualists menyatakan bahwa rezim bukan hanya sekedar pengurangan biaya, namun juga pemberi akses informasi dalam memonitori satu sama lain karena rezim bukanlah abstrak, melainkan terkadang institusi yang saling terhubung.
Objection 2: Collective action by k states as a subtitute for hegemonic leadership
Pada objeksi kali ini akan dibahas mengenai penerimaan teori stabilitas hegemoni sebagai asumsi. Sekelompok rezim dengan anggota menengah disebut k states, dimana rezim dengan tidak begitu banyak anggota yang tidak memperhatikan apakah ada negara yang tidak membantu dalam mencapai collective goods.
Objeksi ini benar karena rezim menciptakan hubungan antar-negara yang memungkinkan negosiasi dan rezim mengurangi biaya sanksi. Aksi kolektif dapat mensubtitusi kepemimpinan hegemoni yang bersifat unilateral.
4.2 Battle of the Sexes versus Prisoner’s Dilemma: Krasner’s case for a power-oriented research program
Battle of Sexes adalah game koordinasi dengan dua representasi keluaran  dari game, namun pemain memiliki kecondongan untuk berkonflik (Krasner {value}). Dari pandangan ini ditemukan tiga cara spesifik dalam menentukan permainan dengan melibatkan ancaman dan janji menjadi: (1)power menentukan siapa yang dapat terlebih dahulu bermain, (2)power dapat mendikte keluaran, dan (3)power dapat digunakan untuk mengubah matric payoff.
The significance of institution
Institusi selain berguna sebagai penyelesai informasi yang asimetris tetapi juga memaksimalisasi usaha penyeimbangan rezim. Rezim bertindak sebagai fasilitator tidak hanya dalam mempetahankan otonomi dan kemampuan adaptasi namun juga mediator antara anggota rezim yang memiliki interest berbeda.
Battle of the Sexes as well as Prisoner’s Dilemma? Constructing a neoliberal reply
Battle of the Sexes digunakan terutama ketika ada euntungan yang lebih menggiurkan dibandingkan berkoordinasi. Hal ini tentu akan menyebabkan kooperasi menjadi terancam, karena itu skema pendistribusian konflik menjadi perlu dalam menyelesaikan hambatan ini (Fritz Scharpf).  Baik Battle of the Sexes maupun Prisoner’s Dilemma dapat digunakan untuk menganalisa isu-area, keduanya memiliki keunggulan dalam distribusi konflik dan strategi kolaborasi.
Namun dalam Battle of the Sexes, seolah negara besar diberikan kelonggaran untuk tidak berkoordinasi. Hal ini dikarenakan anggapan penyelesaian masalah tidak dapat dilakukan menggunakan pandangan teoretis. Kontras ini makin terlihat pada pandangna neoliberalisme yang menyatakan bahwa interest dan power bukan urusan penting dalam memulai permainan. Dan pandangan yang didasarkan pada power benar adanya, bahwa keuntungan satu negara adalah kehilangan bagi negara lain, karena aktor bertindak secara individual, bukan kollektiv.

Bargaining leverage versus structural power : on the limits of a power-oriented research program.
Adanya distibusi power terstruktur memengaruhi keluaran bargaining. Jika ada dominasi power yang dilakukan oleh negara besar, konsekuensi yang terjadi adalah adanya ancaman padabully internasional, tekanan internasional, dan kehilangan posisi strategi.
 4.3 The meaning of anarchy: Grieco’s modern realist perspective on regime
Joseph Grieco mengatakan bahwa liberalis tidak mampu menunjukkan klaimnya seperti yang dilakukan realis. Elemen pusat kritiknya berada pada klain neoliberalisme bahwa institusi memiliki peran penting dalam kooperasi negara.
Grieco’s critique of the neoliberal theory cooperation
 Neoliberal telah mengembangkan pendapat atas ratiional choice dan theori institusi ekonomi. Hal ini dianggap realis hal biasa bahwa negara mencari insentif untuk membuat institusi internasional. Dalam membuat klaimnya, neoliberalisme menekankan pada anarki dan disposisi negara yang bertindak sebagai aktor yang rasional.
Neoliberalisme hanya menilai anarki sebagai keadaan tidak-ada-nya otoritas sentral sedangkan yang dimaksudkan juga adalah ketidak-ada-annya pemerintah yang sama. Dan negara yang dianggap bertindak egois disampaikan realis dengan menganggap bahwa negara berusaha untuk memaksimalkan keuntungan utilitas. Disamping itu, negara juga tidak mempercayai adanya pembagian atas pencapaian yang adil, karena kemungkinan pembagian akan digunakan untuk hal yang menghancurkan negara.
Grieco berpendapat mengenai pandangan ini bahwa, negara bukanlah “relative gain seekers” melainkan “defensive position”; negara tidak terlalu eksklusif perduli pada kehilangan relative gain, melainkan absolut gain juga; dan sensitifitas negara terhadap kehilangan relative gain bervariasi.

The modern realist theory of cooperating among nations
Setelah mengetahui bahwa negara menganbil posisi defensif, kali ini realis menawarkan permasalahan mengenai kooperasi internasional. Hipotesis alasan negara bekerja bersama untuk saling menguntungkan, tetapi juga bentuk kolaborasi yang mungkin dicapai: defensive potitionalism yang berusaha menyeimbangkan distribusi gains.
Dalam kasus ini, diambil kasus non-tariff barriers (GATT, Jepang, 1973-1979) yang merupakan kasus sulit bagi realisme. Keberhasilan penerapan hasil GATT diangap karena  adanya kooperasi European Union dan United States. Keberhasilan ini dianggap karena ketakutan negara-negara atas EU dan US yang dijelaskan lebih lagi dikarenakan adanya kecurangan, bukannya variabel yang disampaikan neoliberal (jumlah partisipan, level perkembangan negara, derajat pengulangan, dan besar keuntungan dari koordinasi); dan adanya intoleransi atas kehilangan relative gain.
The role of international institutions
Neoliberalisme telah mengatakan betapa pentingnya institusi internasional bagi kerjasama, dan permasalahan yang ada adalah halangan bagi terciptanya kooperasi. Menurut realis, institusi internasional berguna untuk mengurangi kecurangan dan perlu dilakukan usaha lebih untuk mencapai kooperasi. Institusi juga mempromosikan norma timbal balik yang akan bermanfaat jika terjadi kerugian. Jadi, institusi bermanfaat mengurangi ketakutan atas hal-hal yang ditakutkan oleh negara.
The neorealist-neoliberal debate I: do relative gains concern matter?
Snidal membuat analisa kasuas yang menggambarkan jika hanya dua aktor, relative gain, dan kemungkinan berkooperasi. Didapatkan hasil, jika negara mementingkan absolut gain, maka negara akan memilih C dan jika yang dituju adalah relative gain, maka kooperasi lebih sulit untuk dicapai karena keadaan dalam tabel akan sangat berubah. Analisa ini menggunakan skema Prisoner’s Dilemma.
Snidal mendapatkan kesimpulan atas studi kasus yang diberikan, yaitu kerjasama antar dua negara tidak akan menyebabkan negara memilih relative gain dan relative gain yang didapatkan negara adalah sama. Pandangan ini juga ikut ditentang oleh  Otto Keck yang menyatakan bahwa fokus yang diberikan Snidal akan melenceng jika ada distribusi yang tidak seimbang. Hasil yang akan dicapai jika tidak ada keseimbangan distribusi, maka akan ada kerugian dari keuntungan negara lain, atau dalam hal ini biasa kita sebut dengan zero-sum game.


Actor B



Actor B



C
D



C
D

Actor A
C
4,4P,N,M
2,3

Actor A
C
0,0P
-1,1

D
3,2
1,1

D
1,-1
0,0N,M,P











The neorealist-neoliberal debate II: are states concerned with relative gains?
Pendapat Grieco mengenai maskimalisasi absolut gain masih benar sebatas tidak ditambahkan atribut lainnya. Hal ini akan berbeda jika ditambahkan atribut yang tidak dilakukan oleh Grieco. Pertama, distribusi konflik menyebabkan tidak meratanya pembagian ‘keuntungan’, namun tetap ada surplus sehingga dapat dikatakan terdapat keuntungan yang simetris. Kedua, distribusi konflik menyebabkan dipertanyakannya motivasi asli negara dalam melakukan kooperasi.
Bagi pandangan neoliberalisme, relative gain telah menjadi pandangan yang ditekankan dalam perekonomian. Menurut pandangan realis, negara yang rugi adalah keuntungan bagi negara lain, sehingga akan lebih menguntungkan jika berkooperasi dengan banyak negara, sehingga kemungkinan benefit lebih banyak. Liberalis, semakin banyak negara yang tergabung akan menurunkan transparansi dan memperburuk permasalahan kecurangan.
“Trench warfare” or cooperation? The future of debate
Keberagaman perbedaan politik membuat akademisi lebih memperuncing pemikirannya. Baik keadaan perang maupun kooperasi diharapkan untuk mencapai collective gain yang diusahakan menguntungkan negara. baik melalui pandangan realis atau neoliberalis yang memandang profit dengan cara yang berbeda (positif atau zero sum game).
Knowledge-based theories: ideas, arguments, and social identities
Cognitivist adalah pendekatan yang melihat bahwa pandangan rasionalis kurang lengkap karena tidak adanya suplemen pendukung dalam “distribusi ilmu (distribution of knowledge)”. Pandangan kognitivist juga memiliki dua varian, weak dan strong. Weak cognitivist beranggapan bahwa pandangan rezim internasional adalah ketidaklengkapan kajian (persepsi aktor), sedangkan strong cognitivist menantang rasionalis dan menganggap bahwa kajian rezim internasional seharusnya menggantikan homo economicus menjadi homo sociologicus (alternative teori). Regime menurut pandangan cognitivis lebih sebagai kebutuhan daripada konsekuensi.


5.1 Weak cognitivism: ideas, learning, and the role of epistemic communities
Pendekatan ini berfokus pada peran ide untuk mencari penerangan atas bagaimana pengetahuan dapat memengaruhi permintaan atas kooperasi yang didasari peraturan antar-negara. secara spesifik melihat kapan dan bagaimana dasar pengetahuan jaringan transnasional, yang biasa dikenal komunitas epistemik meng-agendakan peraturan dan formasi rezim.
Three central assumption of the weakly cognitivist research program
 Asumsi pertama, aktor ilmu pengetahuan membawa dalam kepala mereka pemikirannya dan menginterpretasikannya dalam dunia internasional yang membentuk kebiasaan dan ekspetasi (interpretasi dalam kemauan manusia dan struktur internasional). Asumsi kedua, peningkatan tuntutan pada bagian pengambilan keputusan atas informasi scientific dan hal lainnya seharusnya merupakan ilmu pengetahuan yang dapat dipercaya (mengurangi uncertainty). Asumsi ketiga, pembagian arti secara intersubjektifitas pada formasi rezim dan performa rezim adalah penting (value dan means).
5.1.1 Creating a “knowledge-oriented researh program”: cognition as an explanatory variable
Road maps, focal points, and institutions: how ideas matter
Pemikiran rasionalis dirasa gagal karena melihat interest yang egois tanpa mereferensikan ide yang ada dan interest tidak berubah karena kepercayaan aktor berubah (kritik power dan interest- based). Ide menjadi bagian politik melalui perubahan melalui tuntunan atas kebiasaan yang dilihat melalui pola budaya dan motivasi.
Secara spesifik, pengaruh ide dibagi menjadi tiga bagian (Goldstein dan Keohane), yaitu sebagai jalan pikir, pusat aktifitas (solusi atas permasalahan aksi kolektif), dan shared beliefs (institusi internasional menjadi media dan dilekatkan ide).

Learning cooperation
Pembelajaran dapat memiliki dua bentuk, yaitu pemahaman baru dan lingkungan politis memengaruhi pengambilan keputusan (memutuskan untuk mengubah tujuannya atau tidak). pembelajaran dapat bersifat sederhana dan kompleks. Pembelajaran sederhana menggunakan informasi untuk adaptasi tanpa mengubah tujuan. Sedangkan pembelajaran komplek digunakan untuk menyadarkan atas tujuan yang dipengaruhi keaadaan kompleks. Menurut pandnagan ini, rezim dianggap variabel dependen yang akan berubah seturut perubahan informasi atau ide.
5.1.2 Consensual knowledge, epistemic communities, and regime formation and change
Komunitas epistemik didefinisikan sebagai jaringan profesional yang dikenal memiliki hak otoritative atas ilmu pengetahuan atau masalah isu-area tertentu. Komuas ini semakin mudah membagikan dan mengkonfirmasi ilmu yang kompleks sehingga jalan keluar atas ketidakpastian antar pengambil kebijakan terselesaikan dengan konsesnsus ahli akademisi, dan institusionalisasi akademisi yang derajatnya tinngi.
Komunitas epistemik dalam formasi rezim dan perubahannya memerlukan adanya pengakuan dan power. Pengaruh yang diberikan oleh kelompok epistemik terkadang tidak diperhatikan jika berasal dari kelompok yang tidak memiliki power, sehingga inovasi tidak terjadi. Selain pengaruh power dalam menentukan saran dar kelompok epistemik, formasi rezim dan perubahannya juga bergantung pada pengambi keputusan yang memilih saran-saran yang diberikan.
Some open question
Kapan dan bagaimana komunitas epistemik dapat memengaruhi koordinasi kebijakan? Komunitas epistemik dalam formasi rezim dan perubahannya memerlukan adanya pengakuan dan power. Terkadang penemuan oleh kelompok epistemik tidak digunakan, karena itu, hasil kelompok epistemik akan digunakan jika sesuai dengan permaslaahan isu-area yang dirasa tingkat urgensinya tinggi.


5.2 Strong cognitivism: the sociological term
Dalam weak cognitivism, ilmu pengetahuan digunakan untuk memenuhi suplement pada pemikiran rasionalis yang belum tuntas. Dalam bagian ini, kita akan melihat pandangan strong cognitivist yang menganggap bahwa penilaian secara normative melekat pada struktur internasional. Pandangan ini menolak pendapat rasionalis yang menganggap bahwa interpretasi kebiasaan negara dalam rangka pemaksimalan utiltas. Pandangan ini melihat kebiasaan dimotori oleh peraturan-peraturan yang saling berhubungan , dan setiap aktor akan bertindak berdasarkan situasi berbeda yang didefinisikan berbeda secara politik dan sosial oleh institusi yang disalurkan melalui sosialisasi (March dan Olsen).
5.2.1 Strong cognitivism’s critique of rationalist approach to the study of internationa regimes
Blind spot of atomistic ontology
Kekurangan rasionalis yang disampaikan oleh strong kognitivisme adalah pandangan bahwa menganalisa kebiasaan negara menggunakan preferensi dan power. Klaim pandangan ini adalah kebiasaan negara dikarenakan struktur normatif yang tidak dapat dijelaskan melalui keuntungan aktor rasional melainkan analisa menurut sudut pandangnya sendiri. Bahkan menurut pandangan Keohane yang melihat bahwa strategilah yang dibutuhkan dalam menganalisa dinamika internasional juga mengatakan pentingnya motivasi seseorang dalam proses kooperasi internasional.
Blind spot of positivism as a theory explanation.
Epistemologi positivism dari ilmu politik adalah asumsi bahwa regulasi dalam dunia sosial dapat diamatidengan metode yang sudah dibuktikan berhasil dalam menggambarkan “nature of the world”. Selain itu, positivist menganggap bahwa hipotesis dapat di-tes satu waktu dengan membandingkan implikasi secara objektif, dan pengalaman netral berdasarkan fakta.
Pandanan positivis terhadap prediksi atas kebiasaan yang didasarkan sifat self-interest negara dan ujuan negara untuk mencari keuntungan menjadi kelemahan pandangan positivis. Seharusnya pandangan melihat rezim juga ditekankan pada kualitas intersubjektifitas yang dijadikan referensi dalam membuat definisi konsensus atas ekspetasi. Menurut pandangan ini,  rezim lebih dari manipulator insentif yang berusaha untuk mendeterminasi dan memenuhi kebiasaan manusia.
Rezim dibentuk oleh cara aktor dalam menginterpretasi aksi satu-sama-lain. Hal ini menyebabkan adanya analisa atas kemungkinan yang terjadi untuk mencapai apa yang diinginkan. Hal ini menjadi kelebihan pandangan cognitivis dibanding rasionalis yang hanya melihat penyebab-penyebab efisiensi rezim.
5.2.2 Approach to a strongly cognitivist theory of international regimes
Dalam membahas strong cognitivist, kita akan melihat pada empat kontribusi, antara lain: power legitimacy, power of arguments, power of identity, dan power of history. (1)Power of Legitimacy adalah kepercayaan bahwa level paling fundamental pada depedensi negara adalah peraturan negara yang dianggap melegitimasi struktur normativ {Thomas Franck dan Andrew Hurrel}. (2)Setelah mendapatkan konsensus dari dunia sosial, maka peraturan satu negara dapat digunakan oleh negara lain yang berarti menyatakan bahwa argumentasi atas satu peraturan adalah kuat (power of argument{Kratochwil, Rugie, Muller}). (3)Power of identity, identitas adalah pemahaman dan ekspetasi peran spesifik mengenai individu dimaksudkan pandangan yang didasarkan pada normative juga harus memiliki kemampuan beradaptasi pada institusi internasional{Wendt}. (4)Power of History memengaruhi ke-tahanan rezim yang berada dalam masa post-war yang ditakutkan akan mengingat kembali konflik yang terjadi sepanjang sejarah.
The international society approach, or the power of legitimacy
Obligasi adalah level paling fundamental bagi negara yang juga sebagai alat mengikat yang memaksa bagi rezim adalah obligasi. Harga yan perlu dibayarkan dalam keanggotaan rezim adalah menghormati norma dan peraturan negara lain(sense of obligation{Henkin}). Menurut pandangan strong cognitivists sikap negara berusaha untuk menuruti aturan rezim untuk menghindari bersikap opportunis yang akan mengancam keberadaan negara dalam jangka waktu panjang dan sikap mengikat obligasi bergantung pada derajat legitimasi persetujuan
The communicative approach, or the power argument
Rezim secara fundamental adalah kesuksesan diskursus negara-negara. diskursus dan komunikasi dibutuhkan untuk memproduksi dan menjaga tindakan yang dilakukan rezim. Menggunakan pandangan strong cognitivis, maka rezim akan dilihat lebih ke arah communicative action (saling pengertian dengan tujuan kebiasaan berkoordinasi menggunakan argumen yang persuasif) dibanding strategic action (mengontrol pemahaman dengan berorientasi pada kesuksesan penerapan konteks tertentu).
Construktivism, or the power of identity
Identitas adalah pemahaman dan ekspetasi peran spesifik mengenai individu. identitas memengaruhi pandangan aktor sau atas aktor lainnya dikarenakan adanya satu set makna yang menjadi atribut aktor yang saling berbeda. Adanya set makna berbeda ini dalam rezim internasional bisa menimbulkan kecenderungan egoistik yang tidak baik untuk stabilitas rezim, karena itu diperlukan persetujuan atas pandangan untuk tujuan harmonisasi internal rezim.
The historical-dialectical approach, or the power of history
Rekonsiliasi dunia pasca 1900 merupakan usaha liberalis dalam mendamaikan dunia, jadi bsia dikatakan bahwa keadaan damai saat ini adalah hasil hegemoni barat atau bahkan US sebagai pemenang perang. Yang memungkinkan kehancuran rezim oleh Cox adalah ketakutan perubahan sejarah atau konstelasi dunia saat ini justru akan menyebabkan keadaan tidak damai lagi yang pada akhirnya menimbulkan runtuhnya rezim.
5.2.3 The critics of the critics

Kritik yang diberikan pada pandangan strong cognitivist berasal dari pandangan positivis. (1)Pandangan ini terlalu meratakan bahwa semua hal perlu dianalisa menggunakan pengaruh intersubjektifitas. (2)Tidak memberikan lebih jauh mengenai penjelasan yang dapat diintepretasikan. (3)Interpretasi dan intersubjektifitas yang dikatak murni sebenarnya tidak mungkin ada dalam dunia ekonomi dan politik. (4)Menyarankan negra untuk beradaptasi dengan norma rezim terkadang menentang norma negaranya. )

1 komentar: