Introduction: three perspectives
on international regimes
Rezim internasional = hukum, norma,
peraturan, proses pengambilan keputusan (Krasner) dapat dipandang melalui tiga
perspektif yang didasarkan pada power (realism), interest (neo-liberalism), dan
knowledge (cognitivitist).
Rezim internasional dipandang oleh
institusionalism = effektifitas dan fleksibilitas. Rezim akan efektif jika
peraturan dilakukan oleh anggota rezim atau jika tujuannya tercapai. Menurut
fleksibiitas-nya, maka rezim dirasa fleksibel jika power rezim mampu bertahan
dari tantangan dan lahirnya kekuatan rezim yang baru. Pandangan inilah yang
menjadi pemikiran behavioralist dan diusahakan oleh ketiga perspektif untuk
mendasari pemikirannya.
Regime yang didasarkan pada power
melihat tidak hanya pada absolute gain, tetapi relative gain; yang
mempertimbangkan sebab-akibat pada dunia internasional. Power juga mnyebabkan
kooperasi antar-negara, walau terkadang terhalangkeinginan negara untuk survive
dan independen.
Rezim yang didasarkan pada interest
melihat negata adalah aktor rasional yang egois dan hanya bertujuan untuk
mencapai kepentingan absolutnya dan model game theori digunakan untuk
menggambarkan konstelasi interest negara.
Menurut kognitivitist yang didasarkan pada
knowledge, fokus pada dasar utama negara
mencapai interest dan hubungannya pada ide normative.

Conceptual
issues: defining international regimes
Susan Strange mengatakan
bahwa penggunaan konsep rezim internasional dapat berbeda berdasarkan
kontesnya. Untuk itu Krasner menegaskan pendapatnya mengenai rezim “hukum
(kepercayaan atas fakta, penyebab, kebenaran), norma (standar kebiasaan),
peraturan (hukuman atau saran yang spesifik atas tindakan), proses pengambilan
keputusan (praktik atas pembuatan dan implementasi collective choices) eksplisit atau implisit oleh aktor ”. Implikasi
penting dari rezim internasional adalah : rezim dan institusi internasional
harus dipelajari sebagai konteks yang berbeda atau suatu hal yang sama.
A complex and a lean
definition of "international regime"
Young
mengkritik Krasner: (1)definisi hanya berisi elemen yang susah dibedakan,
(2)tidak elastic saat diaplikasikan, (3)konsep kecil yang tidak dapat menjadi
sistem besar untuk menyelesaikan ambiguitas. Hal ini karena Krasnes hanya
memberikan pengertian tanpa menjustifikasi mana yang lebih dapat digunakan,
apakah implisit atau implisit.
Behavioral, cognitive, and
formal approaches to conceptualizing international regimes
Rezim
internasional dapat diargumentasikan menurut tiga konsep yaitu behavioral,
cognitiv, dan formal. Young mengatakan bahwa institusi sosial adalah praktik
usaha untuk pengakua peran kluster yang berbeda, konsekuensinya pendekatan behavioral
(explanation of a given pattern of behavior) mengidentifikasi rezim
secara empiris. Pendekatan ini melihat rezim melalui aksi negara. rezim
menimbulkan peraturan, jadi institusi legal yang menimbulkan hukum (Mark Zacher).
Kratochwil
dan Rugie, rezim dapat dipandang melalui
arti intersubjektivitas dan pembagian pengertian (cognitive {rezime exist in the
issue area, states tent to act in accordance with it injunction}).
Melihat rezim melalui penyampaian peristiwa oleh satu pihak kepada komunitas
negara dan aksi communikative.
Keohane
melihat rezim dengan cara formal (institution are persistence and
connected set of rules that affirmative manner by goverments), rezim
dijelaskan melalui satu bagian yang memengaruhi pengelolaan negara yaitu formal
agreement.
Dari
pembahasan ditas, kita melihat bahwa power
dan interest based theory lebih
dekat pada pendekatan formal dan kurang ke behavior, sedangkanknowledge based
theory lebih ke pendekata kognitive.
Interest-based
theories: political market failure, situation and problem structures, and
institutional bargaining
Kal ini kita
akan membahas pendekatan yang sangat dekat dengan rezim internasional.
The
rationalist (or utilitarian) approach to international regimes
Realisme dan
neo-liberalisme memiliki kesamaan pandangan pada beberapa hal yang diajukan
oleh rasionalis mengenai keputusan pengambilan kebijakan aktor. Kebijakan luar
negeri adalah keluaran dari perhiungan oleh negara mengenai keuntungan yang
mungkin didapat. Rasionalist mengatakan bahwa keluaran akan cenderung stabil
waktu ke waktu. Yang dimaksudkan stabil adalah kecenderungan-hasil yang ada
akan stabil. Lebih lagi, rasionalist mengatakan bahwa keluaran cenderung stabil
tidak hanya waktu ke waktu, namun juga pada aktor-aktornya, baik individu dan
negara. Karakteristik ini dianggap tidak muncul begitu saja, keluaran yang ada
akan dapat diperkirakan.
Karakteristik
dari rasionalist lainnya adalah tidak mempermaslahkan persepsi aktor atas
hubungan sebab akibat. Hal ini bisa berarti dua hal: (1)ahli mengasumsikan
bahwa negara rasional dan paham atas situasi yang ada, (2)ahli mengasumsikan
bahwa aktor menggunakan data yang ada dan tidak melakukan penelitian untuk
mencari data yang asli.
Differences
between neoliberalism and realism
Negara
mencari pemaksimalan pada interest
dan power, menyebabkan ada kebiasaan
yang muncul dari negara. Neo-liberalisme mengatakan bahwa negara adalah aktor
yang egois yang hanya mementingkan keuntungan dan kerugian negaranya saja. Secara
berlawanan, relisme mengatakan bahwa negara (minimal dan sebagian) saling
bergantung yang menyebabkan negara
ber-kooperasi. Hasil yang muncul, realisme lebih mementingkan
efektifitas dan adaptasi rezim dibandingkan neo-liberalism yang memandang rezim
sebagai bentuk ketertarikan yang melihat pada keadaan internasional itu sendiri.
Interest
based approach juga memiliki dua pendekatan dalam rezim internasional. Pertama,
cotractualism
memandang rezim internasional dipengaruhi oleh bagaimana aktor berkooperasi
yang menunjukkan Prisoner Dillema untuk menstabilkan rezim. Kedua, situation-structuralism lebih lagi melebarkan
pandangan pada analisis dari keadaan strategis dimana aktor mungkin
berkooperasi melalui rezim dan menganalisis konstelasi rezim sebagai institusi.
3.1 Keohane’s contractualist (or functional) theory of
international regimes
Contractualist atau functional-teory rezim adalah perspektif dalam
dunia politik yan fokus pada pertumbuhan institusionalisasi kebiasaan
internasional yang diberi label neoliberal-institusionalisme (Keohane).
Realist
premist and liberal institutionalist-conclusions
Negara
adalah aktor krusial dan dunia adalah anarki. Aktor akan selalu rasional dan
egois dalam pemenuhan dan maksimalisasi utilitas. Rasional berarti aktr
konsisten, kecenderungan, dan perhitungan unung dan biaya. Egois yang dimaksud
adalah independen. Egois yang dimaksudkan juga adalah self-interest sehingga
aktor tidak memperdulikan jika aktor lain mmenuhi kebutuhan dan keuntungannya.
Hal ini memiliki peran penting dalam sikap kooperatif negara dan distribusi
power dan kesejahteraan memengaruhi kebiasaan negara.
Common
interest, cooperation, and regimes
Teori
kontraktualis mengatakan bahwa rezim beroperasi dalam kondisi dimana negara
harus berbagi kesamaan interest,
sehingga dapat menimbulkan kooperasi. Karena pandangan ini, dimungkinkan adanya
minimal dua konsekuensi. Pertama, cakupan teori tidak negligible; sifat
hubungan negara-negara tidaklah zero-sum game,
namun saling terhubung. Kedua, teori bukanlah trivial; dunia internasional
tidak dapat selalu diprediksi dan ditebak polanya. Untuk mendukung pendapatnya,
Keohane menambahkan Prisoner’s Dillema sebagai bukti rasionalitas-nya.
|
C
|
D
|
C
|
3,3
|
1,4
|
D
|
4,1
|
2,2
|
Interest aktor tidak dijelaskan melalui teori melainkan sebagai pemberian
yang exogenously. sehingga teori memiliki dampak positif dalam pembelajaran dan
ide atas pemahaman aktor atas interest-nya.
Implikasi lainnya adalah butuhnya spesifikasi mengenai hubungan antara
interest, kooperasi, dan rezim. Kooperasi adalah hasil dari hasil dari proses
koordimasi kebijakan.
Teroi
kontraktualis fokus pada instrument tertentu: rezim internasional membentuk pursuit of joint gains. Rezim
memfasilitasi kooperasi internasional dan game theory digunakan untuk membuat
strategi yang lebih menguntungkan. Rezim bukan berarti bentuk lebih jauh dari
kooperasi.
How
regimes make a difference: the functions of regimes
Rezim
membentuk kooperasi. Negara tidak pasti terhadap parner-nya, sebagai hasilnya
pemerintah melewatkan kesempatan bargain yang saling menguntungkan. rezim
memiliki peran utama untuk mengurangi biaya dan meningkatkan informasi.
Dalam
situasi Prisones’s Dillema, rezim
yang memonitoring meminimalisir fear
dan mempermudah kooperasi. Kecurangan menjadi minimal terjadi karena adanya
keterhubungan hukum, norma, dan peraturan dasar. Rezim menjadi strategi
menstabilisasi kooperasi.
Kesulitan
menggunakan tit-for-tat di dunia nyata disebut sanctioning problem membuat
strateri atas operasi: (1)pembuat masalah harus teridentifikasi, (2)melakukan
tindakan kekerasan jika diperlukan menghukum ‘penjahat’, (3)seseorang harus
siap menanggung harga dari sanksi. Kontraktualis memitigasi semua permasalahan
sanksi untuk fokus pada reputational effects.
Rezim dapat memonitoring atau mengatur negara untuk melakukan tindakan atas
pembuat masalah.
Functional
explanations for emergence and persistence of regimes
Kali ini
akan dibahas efek rezim internasional atas kebiasaan negara. Fungsi penjelasan
dalam dunia sosial adalah berkelanjutan secara alami. Institusi menurut rational choice sebagai penjaga dan
pengembang insentiv. Rezim juga secara singkat dibuat untuk menjapai tujuan
tertentu (egois).
Menurut Keohane
yang menerapkan perspektif fungsional, rezim dipandang melalui formasi dan pemeliharaan
rezim. Pertama, rezim mengurangi biaya, antar-anggota rezim dapat menciptakan
kooperasi melalui perjanjian (yang lebih murah dibanding berkooperasi dengan
satu negara), yang berarti mendukung pula distribusi unipolar.
Rezim memang
sulit dibentuk karena konstelasi power
dan interest negara yang berbeda,
namun sekali rezim berdiri, walaupun motiv lama didirikan rezim hilang, maka
rezim akan beradaptasi. Rezim beradaptasi dikarenakan pula mengingat biaya
pembuatan rezim yang mahal. Rezim tidak mengurangi biaya transaksi, namun
memfasilitasi bargaining.
Some
open questions
Pertanyaan
pertama, criteria apa yang harus ditemukan dalam menerima pernjelasan secara
fungsional? Kedua, meta-teoritika apa yang ada dalam penjelasan ini? Jawaban
pertama, post hoc ergo propter hoc yang berarti institusi bisa
diinterpretasikan terbit karena fungsi yang harus disediakan, ketika faktanya
muncul karena alasan kebetulan. Jawaban kedua; negara diasumsikan sebagai aktor
yang rasional, institusi dapat dijelaskan melalui fungsi pencegahan, dan
antisipasi secara rasional.
Apa yang
menjadi perbedaan rezim dan kooperasi? Rezim adalah norma, sedangkan kooperasi
adalah ad hoc perjanjian substantiv. Perjanjian lebih ditekankan pada
perekonomian, rezim lebih ditekankan pada peraturan. Namun masih tidak jelas
level atau batas yang dibuat Keohane.
3.2 A game theoretic extension of functional regime theory: the
situation-structural approach
Situation-structuralism adalah
percobaan pada pemanjangan dan pengembangan lebih jauh dari argument interest-based regime.
Explaining
regime form on the basis of situational attributes
Kooperasi
terjadi jika rasionalitas eksis, dan menimbulkan keluaran yang sub-optimal. Situational-structuralis memiliki kesetujuan dengan Keohane bahwa kondisi negara
terkadang berusaha untuk memaksimalkan keuntungan, sehingga terkadang keputusan
yang saling menguntungkan sulit di dapatkan. Pareto optimal > pareto
efficient. Coordination regime > collabotation regime.
Accounting
for success and failure in regime building
Situasional-structuralis
fokus pada pertanyaan bagaimana rezim membantu negara berkooperasi ddengan
strategi dalam situasi yang berbeda serta mencari solusinya. Zurn mengasumsikan
keempat situasi menurut kecenderungan rezim internasional yang diurutkan
menurut kadar kesuksesannya, yaitu: (1)assurance
situation, (2)coordination situation,
(3)collaboration situation, (4)suasuion/rambo siuations. Keempat
struktur ini dipengaruhi oleh satu set variabel sekunder, yaitu: frekuensi
interaksi, seringnya transaksi, tipe kebijakan luar negeri,distribusi sumber
isu, ada/tidak adanya solusi yang menonjol, banyaknya aktor, hubungan
keseluruhan aktor.
Kooperasi
akan sulit dilakukan jika berhubungan dengan sanksi dan distribusi (Bernard
Zangl). Hal ini mendukung pendapat Zurn yang menyatakan kooperasi lebih sulit
dilakukan ketika dampak negative terlihat dan akan lebih sulit berkooperasi
jika kedudukan sama tidak setuju bagaimana unutk berkooperasi.
Regime
demand and difficulies of cooperation-an unresolved tension in the
situation-structural argument?
Situation-structuralist membantu rationalist melalui variabel sekunder yang diberikan
untuk membantu pandangan kontraktualis akan aktor dalam rezim internasional. ‘Demand’ rezim hanya dapat menjadi bagian
dari sejarah pembentukan dan keadaan seimbang dalam rezim dipengaruhi oleh
pembentukannya itu. Semakin mudah rezim dibentuk, maka semakin mudah melakukan
kooperasi (Zurn). Sedangkan kooperasi yang dilakukan rezim didasari pada rule
diantara negara dalam rezim.
3.3 The problem-structural approach
Rezim lebih
mengarah pada isu spesifik dalam area yang didalamnya aktor-aktor saling
berinteraksi. Dalam rangka penyelesaian isu, rezim terkadang gagal. Dalam
penyelasaian masalah, hubungan internasional dirasa paling tepat berada pada
medium level dibanding pada unit atau global level, dan menggunakan penjelasan
topografi yang biasa disebut problem-structural
approach.
The
core argument: issue properties and conflict management
Jika atribut
aktor dan kebiasaan internasional tidak dapat memenuhi pola isu-area, maka
dilakukan tiga tahap yaitu, klarifikasi isu, rekonseptualisasi
(re-klarifikasi), dan menghadirkan tipologi isu (untuk mengkategorisasi
variabel dan membangun hipotesis).
Isu—area juga dipelajari sebagai cadangan jika dalam jangkauan isu tidak
terdapat rezim.
Konflik dan
manajemen konflik memiliki makna yang
berbeda. Konflik dianggap sebagai perbedaan posisi dalam isu (Czempiel). Sedangkan manajemen konflik adalah praktik
berkelanjutan dengan menyetujui hukum.
“Policy
domains” and “conflict types”: two problem-structural hypotheses
Tipologi isu-area yang diasumsikan adalah
karakteristik isu-area dimana konflk terjadi akan diselesaikan secara
kooperatif dengan mengedepankan self-help. Hal ini lebih dimudahkan dengan tiga domain,
yaitu: security (perlindungan dari
ancaman fisik baik internail maupunn eksternal), rule (kesempatan kebebasan dan partisipasi politik{isu-area}) yang
kemudian mendukung domain economic well
being (alokasi ekonomi dan mencapai gain{rezim}).
Typology
konflik dapat dilihat melalui tiga tipe konflik ini: conflict about means (perbedaan pencapaian tujuan), conflict about values (perbedaan
kepercayaan atas aksi), dan 2 conflict of
interest (kesamaan tujuan dan cara malah menimbulkan kompetisi).

Some
problems of the problem-structural approach
Permasalahan
yang ada antara lain: belum adanya landasan teoritis yang kuat atas pendekatan
ini dan kesulitan yang tidak terpecahkan saat mengaplikasikan pendekatan ini
pada kasus nyata.
Belum adanya
landasan teoritis yang kuat. Hal ini menimbulkan banyak tentangan, seperti
realis yang mengatakan bahwa mengedepankan keamanan dan militer selalu
menguntungkan. penggunaan konsep objektivitas yang ditekankan pada isu bukan
opini aktor dirasa bertentagan dengan cognitivitis. Pandangan
problem-strukturan ini juga dianggap sama dengan pendapat Zurn mengenai
struktur situasi, sehingga dianggap berasal dari perspektif neoliberalisme.
Neoliberalisme sendiri dikritik oleh realis. Neoliberalisme mengatakan bahwa
negara adalah egois, realis mengatakan bahwa negara adalah posisionalis. Dan
negara masih mempertimbangkan adanya relative gain.
Penerapan
tidak memecahkan masalah dalam pengaplikasian. Dalam penerapannya, terkadang
dalam konflik mengandung konflik dissensual dan consensual yang belum diberikan
penjelasan.
3.4 Institutional bargaining: Young’s model of regime formation.
Oran Young
memberikan pandangan atas interest-based regime yang lebih spesifik disebut
sebagai model formasi rezim yang menggambarkan kemungkinan joint gains dan
sulitnya mengeset norma dan aturan spesifik yang sesuai.
A
critique of mainstream rationalist models of bargaining
Argumen
kriitk pertama, apakah benar adanya prospek dunia nyata aka menyebabkan
negosiasi antas aktor yang self-interest. Kritik kedua, bagaimana
ketidaksadaran dan pe-ralat-an yang dilakukan tetap membuat rezim itu eksis.
“Insitutional
bargaining” as a more realistic model of regime formation.
Formasi
rezim berada pada pusat bargaining yang produktif. Model yang diberikan Young
mempunyai uncertainty. Uncertainty dalam membangun rezim diusahakan juga
memnyelesaikan permasalahan uncertainty. Karakteristik institutional bargaining
yang disampaika Young adalah: (1)pengadopsian pendekatan problem-oriented oleh
aktor, (2)adanya divisi intrastate
yang menyiptakan formasi aliansi transnasional yang supportive dalam kooperasi
internasional, (3)prosess negosiasi dalam sosioekonomi dan politik memungkinkan
kesempatan bagi hubungan yang lebih jauh dengan negosiator.
Hypotheses
to account for success and failure in institutional bargaining
Berikut
adalah dua hipotesis yang disampaikan oleh Young mengenai “syarat” keberhasilan
institutional bargaining.
I.
The Facors encouraging integrative
bargaining
(1)Contractual environment blurring the
zone of agreement and veiling the future distribution of benefits
(2)Exogenous shock of crisis
II.
Factors promoting the success of
integrative bargaining
(1)Availability of equitable solution
(2)Availability of salient solution
(3)Availability of clear-cut and effective
compliance mechanism
(4)mixture of enterpreneurial, structural,
and intellectual leadership
|
Evaluating the model empirically
Secara metodologi, projek ini adalah studi yang berfokus pada
kasus atau struktur. Diantara enam kasus, hanya ada satu kasus yang non-rezim.
Dari semua hipotesis, yang cukup meyakinkan adalah teori institutional
bargaining. Dan dari hipotesis itu, peran individu sangat didukung dalam
menemukan interest grup. Pada hipotesis Young, equity, salience, compliance mechanism, exogenous shocks, integrative
bargaining, dan veil of uncertain.
Yang masih kurang adalah jawaban atas solusi apa untuk menghadapi isu rezim
internasional dan equity.
Power-based
theories: hegemony, distributional conflict, and relative gains
Secara general, perspektif
realis dalam institusi internasional memiliki kedudukan khusus dalam
kapabilitas distribusi power dan
penjelasan faktor-faktornya relative gain, bentuk institusional dari kooperasi
lebih sulit dicapai dibanding yang diprediksi oleh perspektif neo-liberalisme.
Contoh klasik dari power-based
berhubungan dengan efektifitas institusi internaisonal pada konfigurasi pada
isu-area.
4.1 Hegemonic stability theory
Hegemonic
stability theory- a theory regimes?
Teori stabilitas hegemoni berhubungan dengan dominasi negara
pada isu-area dalam mencari penjelasan kapan dan mengapa rezim internasional
efektif dalam mengikuti kebijakan untuk kooperatif, yang dimana saat tidak ada
rezim negara tidak suka ‘mencari pencapaian’. Jika struktur power rezim tidak dapat beradaptasi,
maka rezim dianggap sebagai kelompok norma yang tidak efektif.
Yang ditekankan adalah
bagaimana rezim memfasilitasi kooperasi hanya untuk me-logika-kan kooperasi
tidak ditentukan dengan simpel oleh interest
dan power. Teori stabilitas rezim
juga ingin melihat kreasi dari formasi rezim jika tidak ada hegemoni.
The
origins of hegemonic stability theory
Awal teori hegemoni ada untuk
bidang ekonomi, yang mengatakan bahwa “untuk stabilisasi ekonomi, perlu adanya
stabilisator, satu stabilisator (Charles Kindleberger)”. Teori ini merupakan
spesifikasi yang menjelaskan mengapa aktor rasional tidak dapat berharap untuk
bertindak berdasarkan kesamaan interest mereka (Olson). Jawaban yang didapat
adalah semakin besar grup, interest pada kebutuhan juga meningkat sehingga
adanya asimetri kerja grup-grup dan eksploitasi simetris baik pada grup besar
mau pun grup kecil.
Kindleberger msendiri
menjelaskan bahwa kehadiran perekonomian dan power politis yang menonjol yang
menyebabkan grup negara memiliki kapasitas dan menjadikannya grup memiliki hak
istimewa. Dan efek yang ditimbulkan bukanlah ketakutan atas power yang
melimpah, melainkan kurangnya power sehingga tidak memiliki akses pada
dominasi.
Dalam rezim internasional
teori stabilitas hegemoni mengisyaratkan bahwa: (1)stabilitas rezim dan
perawatan oleh aktor dipegang oleh aktor yang memegang power lebih besar, (2)rezim
mengalami pengurangan efektifitas saat power menjadi sama diantara anggotanya.
Benevolent
and coercive hegemons
Kritik oleh Duncan Snidal
disampaikan pada dua hal berikut ini. Pertama, jika negara hegemon berusaha
mempertahankan rezim sendiri, maka akan ada pengendara gratis dalam rezim dan
malah akan ada eksploitasi yang hebat oleh yang kecil. Dan kemudian keuntungan
lebih besar dan juga anggapan berkurangnya biaya akibat keberhasilan rezim
sebenarnya dipengaruhi rasio keuntungan dan biaya itu sendiri. Hal ini adalah
hasil negative dari kepemimpinan yang bijak atau baik (distribusi sumber power). Pendapat ini ditentang pula dengan
alasan dalam pembagian keuntungan, tentunya pemimpin akan mendapat rasio yang
juga lebih besar. Kedua, adanya hegemoni menyebabkan adanya pemaksaan untuk
mendukung satu hal yang disetujui oleh negara hegemon. Ini adalah efek
kepemimpinan yang memaksa. Pandangan ini juga mendapatkan tentangn bahwa negara
dengan sumberdaya berbeda dan power
yang berbeda harus mampu secara bijak memahami siapa yang menghegemoni.
Berikut adalah dua level
perbedaan dimana negara memutuskan untuk berkooperasi atau tidak. Pertama,
order cooperation yang digunakan saat negara menyesuaikan kebijakan terhadap
isu substantiv tertentu melalui jalan yang saling menguntungkan. kedua, order
cooperation yang hadir dalam kedua pembuatan kebijakan dan pelaksanaan hukum
terkait biaya.
Dalam aksi kolektif, teroi
stabilitas ekonomi menolak ikatan dengan skala besar dengan alasan tidak ada
regime yang muncul dalam permasalahan isu-area kecuali memiliki support oleh
aksi independen.
Objection
1: Are regimes really public goods?
Bagaimana interpretasi rezim internasional
sebagai public goods? Bagaimana rezim internasional sebagai publc goods
menghadapi isu aksi kolektif yang menolak kooperasi jika dilihat dari pandangan
teori hegemoni? Secara alami, rezim internasional akan memeperlihatkan sifat yang mementingkan collective goods
(Young). Namun collective goods bagi sebagian negara adalah private good, jadi
pandangan apakah public goods atau bukan bergantung pada rezim yang
bersangkutan (Olson).
Jika dilihat melalui kacamata
teori hegemoni, maka negara hegemon tidak bisa mengharapkan adanya collective
goods. Hal ini dikarenakan akan adanya predator dalam pengadaan public goods
tersebut. Alasan lain adalah karena kemampuan negara hegemon untuk menetapkan
bea maksimal, sehingga negara besar tidak dapat mengharapkan free trade dan
collective goods.
Namun pandangan teori hegemon
ini ditentang oleh neoliberalisme yang dianggap menyepelekan dua hal. Pertama,
situation-structuralist menyatakan bahwa setiap negara memang
memaksakan-kehendak sehingga tidak diperlukan hegemoni dan adanya free rider
bukan merupakan masalah besar karena free rider akan kembali pada aturan biasa.
Kedua, contractualists menyatakan bahwa rezim bukan hanya sekedar pengurangan
biaya, namun juga pemberi akses informasi dalam memonitori satu sama lain
karena rezim bukanlah abstrak, melainkan terkadang institusi yang saling
terhubung.
Objection
2: Collective action by k states as a subtitute for hegemonic leadership
Pada objeksi kali ini akan
dibahas mengenai penerimaan teori stabilitas hegemoni sebagai asumsi.
Sekelompok rezim dengan anggota menengah disebut k states, dimana rezim dengan
tidak begitu banyak anggota yang tidak memperhatikan apakah ada negara yang
tidak membantu dalam mencapai collective goods.
Objeksi ini benar karena
rezim menciptakan hubungan antar-negara yang memungkinkan negosiasi dan rezim
mengurangi biaya sanksi. Aksi kolektif dapat mensubtitusi kepemimpinan hegemoni
yang bersifat unilateral.
4.2 Battle of the Sexes versus Prisoner’s Dilemma:
Krasner’s case for a power-oriented research program
Battle of Sexes adalah game
koordinasi dengan dua representasi keluaran
dari game, namun pemain
memiliki kecondongan untuk berkonflik (Krasner {value}). Dari pandangan ini ditemukan tiga cara spesifik dalam
menentukan permainan dengan melibatkan ancaman dan janji menjadi: (1)power menentukan siapa yang dapat
terlebih dahulu bermain, (2)power
dapat mendikte keluaran, dan (3)power
dapat digunakan untuk mengubah matric
payoff.
The
significance of institution
Institusi selain berguna
sebagai penyelesai informasi yang asimetris tetapi juga memaksimalisasi usaha
penyeimbangan rezim. Rezim bertindak sebagai fasilitator tidak hanya dalam
mempetahankan otonomi dan kemampuan adaptasi namun juga mediator antara anggota
rezim yang memiliki interest berbeda.
Battle
of the Sexes as well as Prisoner’s Dilemma? Constructing a neoliberal reply
Battle of the Sexes digunakan terutama ketika ada euntungan yang lebih
menggiurkan dibandingkan berkoordinasi. Hal ini tentu akan menyebabkan
kooperasi menjadi terancam, karena itu skema pendistribusian konflik menjadi
perlu dalam menyelesaikan hambatan ini (Fritz Scharpf). Baik Battle
of the Sexes maupun Prisoner’s
Dilemma dapat digunakan untuk menganalisa isu-area, keduanya memiliki keunggulan
dalam distribusi konflik dan strategi kolaborasi.
Namun dalam Battle of the Sexes, seolah negara besar
diberikan kelonggaran untuk tidak berkoordinasi. Hal ini dikarenakan anggapan
penyelesaian masalah tidak dapat dilakukan menggunakan pandangan teoretis.
Kontras ini makin terlihat pada pandangna neoliberalisme yang menyatakan bahwa
interest dan power bukan urusan penting dalam memulai permainan. Dan pandangan
yang didasarkan pada power benar adanya, bahwa keuntungan satu negara adalah
kehilangan bagi negara lain, karena aktor bertindak secara individual, bukan
kollektiv.
Bargaining
leverage versus structural power : on the limits of a power-oriented research
program.
Adanya distibusi power
terstruktur memengaruhi keluaran bargaining. Jika ada dominasi power yang
dilakukan oleh negara besar, konsekuensi yang terjadi adalah adanya ancaman
padabully internasional, tekanan internasional, dan kehilangan posisi strategi.
4.3 The meaning
of anarchy: Grieco’s modern realist perspective on regime
Joseph Grieco mengatakan
bahwa liberalis tidak mampu menunjukkan klaimnya seperti yang dilakukan realis.
Elemen pusat kritiknya berada pada klain neoliberalisme bahwa institusi
memiliki peran penting dalam kooperasi negara.
Grieco’s
critique of the neoliberal theory cooperation
Neoliberal telah mengembangkan pendapat atas
ratiional choice dan theori institusi ekonomi. Hal ini dianggap realis hal
biasa bahwa negara mencari insentif untuk membuat institusi internasional.
Dalam membuat klaimnya, neoliberalisme menekankan pada anarki dan disposisi
negara yang bertindak sebagai aktor yang rasional.
Neoliberalisme hanya menilai
anarki sebagai keadaan tidak-ada-nya otoritas sentral sedangkan yang
dimaksudkan juga adalah ketidak-ada-annya pemerintah yang sama. Dan negara yang
dianggap bertindak egois disampaikan realis dengan menganggap bahwa negara
berusaha untuk memaksimalkan keuntungan utilitas. Disamping itu, negara juga
tidak mempercayai adanya pembagian atas pencapaian yang adil, karena
kemungkinan pembagian akan digunakan untuk hal yang menghancurkan negara.
Grieco berpendapat mengenai
pandangan ini bahwa, negara bukanlah “relative
gain seekers” melainkan “defensive
position”; negara tidak terlalu eksklusif perduli pada kehilangan relative gain, melainkan absolut gain juga; dan sensitifitas
negara terhadap kehilangan relative gain bervariasi.
The
modern realist theory of cooperating among nations
Setelah mengetahui bahwa
negara menganbil posisi defensif, kali ini realis menawarkan permasalahan
mengenai kooperasi internasional. Hipotesis alasan negara bekerja bersama untuk
saling menguntungkan, tetapi juga bentuk kolaborasi yang mungkin dicapai:
defensive potitionalism yang berusaha menyeimbangkan distribusi gains.
Dalam kasus ini, diambil
kasus non-tariff barriers (GATT, Jepang, 1973-1979) yang merupakan kasus sulit
bagi realisme. Keberhasilan penerapan hasil GATT diangap karena adanya kooperasi European Union dan United
States. Keberhasilan ini dianggap karena ketakutan negara-negara atas EU dan US
yang dijelaskan lebih lagi dikarenakan adanya kecurangan, bukannya variabel
yang disampaikan neoliberal (jumlah partisipan, level perkembangan negara,
derajat pengulangan, dan besar keuntungan dari koordinasi); dan adanya
intoleransi atas kehilangan relative gain.
The role
of international institutions
Neoliberalisme telah
mengatakan betapa pentingnya institusi internasional bagi kerjasama, dan
permasalahan yang ada adalah halangan bagi terciptanya kooperasi. Menurut
realis, institusi internasional berguna untuk mengurangi kecurangan dan perlu
dilakukan usaha lebih untuk mencapai kooperasi. Institusi juga mempromosikan
norma timbal balik yang akan bermanfaat jika terjadi kerugian. Jadi, institusi
bermanfaat mengurangi ketakutan atas hal-hal yang ditakutkan oleh negara.
The
neorealist-neoliberal debate I: do relative gains concern matter?
Snidal membuat analisa kasuas
yang menggambarkan jika hanya dua aktor, relative gain, dan kemungkinan
berkooperasi. Didapatkan hasil, jika negara mementingkan absolut gain, maka
negara akan memilih C dan jika yang dituju adalah relative gain, maka kooperasi
lebih sulit untuk dicapai karena keadaan dalam tabel akan sangat berubah.
Analisa ini menggunakan skema Prisoner’s Dilemma.
Snidal mendapatkan kesimpulan
atas studi kasus yang diberikan, yaitu kerjasama antar dua negara tidak akan
menyebabkan negara memilih relative gain dan relative gain yang didapatkan
negara adalah sama. Pandangan ini juga ikut ditentang oleh Otto Keck yang menyatakan bahwa fokus yang
diberikan Snidal akan melenceng jika ada distribusi yang tidak seimbang. Hasil
yang akan dicapai jika tidak ada keseimbangan distribusi, maka akan ada
kerugian dari keuntungan negara lain, atau dalam hal ini biasa kita sebut
dengan zero-sum game.
|
|
Actor B
|
|
|
|
Actor B
|
|
||
|
|
C
|
D
|
|
|
|
C
|
D
|
|
Actor A
|
C
|
4,4P,N,M
|
2,3
|
|
Actor A
|
C
|
0,0P
|
-1,1
|
|
D
|
3,2
|
1,1
|
|
D
|
1,-1
|
0,0N,M,P
|
|
||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
The
neorealist-neoliberal debate II: are states concerned with relative gains?
Pendapat Grieco mengenai
maskimalisasi absolut gain masih benar sebatas tidak ditambahkan atribut
lainnya. Hal ini akan berbeda jika ditambahkan atribut yang tidak dilakukan
oleh Grieco. Pertama, distribusi konflik menyebabkan tidak meratanya pembagian
‘keuntungan’, namun tetap ada surplus sehingga dapat dikatakan terdapat
keuntungan yang simetris. Kedua, distribusi konflik menyebabkan
dipertanyakannya motivasi asli negara dalam melakukan kooperasi.
Bagi pandangan
neoliberalisme, relative gain telah menjadi pandangan yang ditekankan dalam
perekonomian. Menurut pandangan realis, negara yang rugi adalah keuntungan bagi
negara lain, sehingga akan lebih menguntungkan jika berkooperasi dengan banyak
negara, sehingga kemungkinan benefit lebih banyak. Liberalis, semakin banyak
negara yang tergabung akan menurunkan transparansi dan memperburuk permasalahan
kecurangan.
“Trench
warfare” or cooperation? The future of debate
Keberagaman perbedaan politik
membuat akademisi lebih memperuncing pemikirannya. Baik keadaan perang maupun
kooperasi diharapkan untuk mencapai collective gain yang diusahakan menguntungkan
negara. baik melalui pandangan realis atau neoliberalis yang memandang profit
dengan cara yang berbeda (positif atau zero sum game).
Knowledge-based theories: ideas,
arguments, and social identities
Cognitivist adalah pendekatan yang melihat bahwa pandangan
rasionalis kurang lengkap karena tidak adanya suplemen pendukung dalam
“distribusi ilmu (distribution of knowledge)”. Pandangan kognitivist juga
memiliki dua varian, weak dan strong. Weak cognitivist beranggapan bahwa
pandangan rezim internasional adalah ketidaklengkapan kajian (persepsi aktor),
sedangkan strong cognitivist menantang rasionalis dan menganggap bahwa kajian
rezim internasional seharusnya menggantikan homo economicus menjadi homo
sociologicus (alternative teori). Regime menurut pandangan cognitivis lebih
sebagai kebutuhan daripada konsekuensi.


5.1
Weak cognitivism: ideas, learning, and the role of epistemic communities
Pendekatan ini berfokus pada peran ide untuk mencari
penerangan atas bagaimana pengetahuan dapat memengaruhi permintaan atas
kooperasi yang didasari peraturan antar-negara. secara spesifik melihat kapan
dan bagaimana dasar pengetahuan jaringan transnasional, yang biasa dikenal
komunitas epistemik meng-agendakan peraturan dan formasi rezim.
Three central assumption of
the weakly cognitivist research program
Asumsi
pertama, aktor ilmu pengetahuan membawa dalam kepala mereka pemikirannya dan
menginterpretasikannya dalam dunia internasional yang membentuk kebiasaan dan
ekspetasi (interpretasi dalam kemauan manusia dan struktur internasional).
Asumsi kedua, peningkatan tuntutan pada bagian pengambilan keputusan atas
informasi scientific dan hal lainnya seharusnya merupakan ilmu pengetahuan yang
dapat dipercaya (mengurangi uncertainty). Asumsi ketiga, pembagian arti secara
intersubjektifitas pada formasi rezim dan performa rezim adalah penting (value
dan means).
5.1.1 Creating a
“knowledge-oriented researh program”: cognition as an explanatory variable
Road maps, focal points, and
institutions: how ideas matter
Pemikiran rasionalis dirasa gagal karena melihat
interest yang egois tanpa mereferensikan ide yang ada dan interest tidak
berubah karena kepercayaan aktor berubah (kritik power dan interest- based).
Ide menjadi bagian politik melalui perubahan melalui tuntunan atas kebiasaan
yang dilihat melalui pola budaya dan motivasi.
Secara spesifik, pengaruh ide dibagi menjadi tiga
bagian (Goldstein dan Keohane), yaitu sebagai jalan pikir, pusat aktifitas
(solusi atas permasalahan aksi kolektif), dan shared beliefs (institusi internasional
menjadi media dan dilekatkan ide).
Learning cooperation
Pembelajaran dapat memiliki dua bentuk, yaitu
pemahaman baru dan lingkungan politis memengaruhi pengambilan keputusan
(memutuskan untuk mengubah tujuannya atau tidak). pembelajaran dapat bersifat
sederhana dan kompleks. Pembelajaran sederhana menggunakan informasi untuk
adaptasi tanpa mengubah tujuan. Sedangkan pembelajaran komplek digunakan untuk
menyadarkan atas tujuan yang dipengaruhi keaadaan kompleks. Menurut pandnagan
ini, rezim dianggap variabel dependen yang akan berubah seturut perubahan
informasi atau ide.
5.1.2 Consensual knowledge,
epistemic communities, and regime formation and change
Komunitas epistemik didefinisikan sebagai jaringan
profesional yang dikenal memiliki hak otoritative atas ilmu pengetahuan atau
masalah isu-area tertentu. Komuas ini semakin mudah membagikan dan
mengkonfirmasi ilmu yang kompleks sehingga jalan keluar atas ketidakpastian
antar pengambil kebijakan terselesaikan dengan konsesnsus ahli akademisi, dan
institusionalisasi akademisi yang derajatnya tinngi.
Komunitas epistemik dalam formasi rezim dan
perubahannya memerlukan adanya pengakuan dan power. Pengaruh yang diberikan
oleh kelompok epistemik terkadang tidak diperhatikan jika berasal dari kelompok
yang tidak memiliki power, sehingga inovasi tidak terjadi. Selain pengaruh
power dalam menentukan saran dar kelompok epistemik, formasi rezim dan
perubahannya juga bergantung pada pengambi keputusan yang memilih saran-saran
yang diberikan.
Some open question
Kapan dan bagaimana komunitas epistemik dapat
memengaruhi koordinasi kebijakan? Komunitas epistemik dalam formasi rezim dan
perubahannya memerlukan adanya pengakuan dan power. Terkadang penemuan oleh
kelompok epistemik tidak digunakan, karena itu, hasil kelompok epistemik akan
digunakan jika sesuai dengan permaslaahan isu-area yang dirasa tingkat
urgensinya tinggi.
5.2
Strong cognitivism: the sociological term
Dalam weak cognitivism, ilmu pengetahuan digunakan
untuk memenuhi suplement pada pemikiran rasionalis yang belum tuntas. Dalam
bagian ini, kita akan melihat pandangan strong cognitivist yang menganggap
bahwa penilaian secara normative melekat pada struktur internasional. Pandangan
ini menolak pendapat rasionalis yang menganggap bahwa interpretasi kebiasaan
negara dalam rangka pemaksimalan utiltas. Pandangan ini melihat kebiasaan
dimotori oleh peraturan-peraturan yang saling berhubungan , dan setiap aktor
akan bertindak berdasarkan situasi berbeda yang didefinisikan berbeda secara
politik dan sosial oleh institusi yang disalurkan melalui sosialisasi (March
dan Olsen).
5.2.1 Strong cognitivism’s critique of rationalist
approach to the study of internationa regimes
Blind spot of atomistic
ontology
Kekurangan rasionalis yang disampaikan oleh strong
kognitivisme adalah pandangan bahwa menganalisa kebiasaan negara menggunakan
preferensi dan power. Klaim pandangan ini adalah kebiasaan negara dikarenakan
struktur normatif yang tidak dapat dijelaskan melalui keuntungan aktor rasional
melainkan analisa menurut sudut pandangnya sendiri. Bahkan menurut pandangan
Keohane yang melihat bahwa strategilah yang dibutuhkan dalam menganalisa
dinamika internasional juga mengatakan pentingnya motivasi seseorang dalam
proses kooperasi internasional.
Blind spot of positivism as a
theory explanation.
Epistemologi positivism dari ilmu politik adalah
asumsi bahwa regulasi dalam dunia sosial dapat diamatidengan metode yang sudah
dibuktikan berhasil dalam menggambarkan “nature of the world”. Selain itu,
positivist menganggap bahwa hipotesis dapat di-tes satu waktu dengan
membandingkan implikasi secara objektif, dan pengalaman netral berdasarkan
fakta.
Pandanan positivis terhadap prediksi atas kebiasaan
yang didasarkan sifat self-interest negara dan ujuan negara untuk mencari
keuntungan menjadi kelemahan pandangan positivis. Seharusnya pandangan melihat
rezim juga ditekankan pada kualitas intersubjektifitas yang dijadikan referensi
dalam membuat definisi konsensus atas ekspetasi. Menurut pandangan ini, rezim lebih dari manipulator insentif yang
berusaha untuk mendeterminasi dan memenuhi kebiasaan manusia.
Rezim dibentuk oleh cara aktor dalam
menginterpretasi aksi satu-sama-lain. Hal ini menyebabkan adanya analisa atas
kemungkinan yang terjadi untuk mencapai apa yang diinginkan. Hal ini menjadi
kelebihan pandangan cognitivis dibanding rasionalis yang hanya melihat penyebab-penyebab
efisiensi rezim.
5.2.2 Approach to a strongly
cognitivist theory of international regimes
Dalam membahas strong cognitivist, kita akan melihat
pada empat kontribusi, antara lain: power legitimacy, power of arguments, power
of identity, dan power of history. (1)Power of Legitimacy adalah kepercayaan
bahwa level paling fundamental pada depedensi negara adalah peraturan negara
yang dianggap melegitimasi struktur normativ {Thomas Franck dan Andrew Hurrel}.
(2)Setelah mendapatkan konsensus dari dunia sosial, maka peraturan satu negara
dapat digunakan oleh negara lain yang berarti menyatakan bahwa argumentasi atas
satu peraturan adalah kuat (power of argument{Kratochwil, Rugie, Muller}).
(3)Power of identity, identitas adalah pemahaman dan ekspetasi peran spesifik
mengenai individu dimaksudkan pandangan yang didasarkan pada normative juga
harus memiliki kemampuan beradaptasi pada institusi internasional{Wendt}.
(4)Power of History memengaruhi ke-tahanan rezim yang berada dalam masa
post-war yang ditakutkan akan mengingat kembali konflik yang terjadi sepanjang
sejarah.
The international society
approach, or the power of legitimacy
Obligasi adalah level paling fundamental bagi negara
yang juga sebagai alat mengikat yang memaksa bagi rezim adalah obligasi. Harga
yan perlu dibayarkan dalam keanggotaan rezim adalah menghormati norma dan
peraturan negara lain(sense of obligation{Henkin}). Menurut pandangan strong
cognitivists sikap negara berusaha untuk menuruti aturan rezim untuk
menghindari bersikap opportunis yang akan mengancam keberadaan negara dalam
jangka waktu panjang dan sikap mengikat obligasi bergantung pada derajat
legitimasi persetujuan
The communicative approach,
or the power argument
Rezim secara fundamental adalah kesuksesan diskursus
negara-negara. diskursus dan komunikasi dibutuhkan untuk memproduksi dan
menjaga tindakan yang dilakukan rezim. Menggunakan pandangan strong cognitivis,
maka rezim akan dilihat lebih ke arah communicative action (saling pengertian
dengan tujuan kebiasaan berkoordinasi menggunakan argumen yang persuasif)
dibanding strategic action (mengontrol pemahaman dengan berorientasi pada
kesuksesan penerapan konteks tertentu).
Construktivism, or the power
of identity
Identitas adalah pemahaman dan ekspetasi peran
spesifik mengenai individu. identitas memengaruhi pandangan aktor sau atas
aktor lainnya dikarenakan adanya satu set makna yang menjadi atribut aktor yang
saling berbeda. Adanya set makna berbeda ini dalam rezim internasional bisa
menimbulkan kecenderungan egoistik yang tidak baik untuk stabilitas rezim,
karena itu diperlukan persetujuan atas pandangan untuk tujuan harmonisasi
internal rezim.
The historical-dialectical
approach, or the power of history
Rekonsiliasi dunia pasca 1900 merupakan usaha
liberalis dalam mendamaikan dunia, jadi bsia dikatakan bahwa keadaan damai saat
ini adalah hasil hegemoni barat atau bahkan US sebagai pemenang perang. Yang
memungkinkan kehancuran rezim oleh Cox adalah ketakutan perubahan sejarah atau
konstelasi dunia saat ini justru akan menyebabkan keadaan tidak damai lagi yang
pada akhirnya menimbulkan runtuhnya rezim.
5.2.3 The critics of the
critics
Kritik yang diberikan pada pandangan strong
cognitivist berasal dari pandangan positivis. (1)Pandangan ini terlalu
meratakan bahwa semua hal perlu dianalisa menggunakan pengaruh intersubjektifitas.
(2)Tidak memberikan lebih jauh mengenai penjelasan yang dapat diintepretasikan.
(3)Interpretasi dan intersubjektifitas yang dikatak murni sebenarnya tidak
mungkin ada dalam dunia ekonomi dan politik. (4)Menyarankan negra untuk beradaptasi
dengan norma rezim terkadang menentang norma negaranya. )
luaar biasaaa mba teree :)
BalasHapus