INKONSISTENSI
PANDANGAN FEMINISM MENYEBABKAN GERAKAN FEMINISM GAGAL
Theresia CassandraAnika Ayu Puspita
Biyes Nurul
Puspa Puspita
Claudy Yudika
Pendahuluan
Isu
perendahan gender sudah menjadi hal yang biasa saja dalam kehidupan masyarakat
di dunia. Kekerasan pada wanita sangat sering terjadi karena feminin selalu
ditempelkan pada jenis sexualitas wanita. Kedudukan wanita yang dikategorikan
kedalam gender feminism menyebabkan budaya patriarki di masyarakat. Dalam
budaya patriarki sendiri, peran pria yang diberikan label maskulin selalu lebih
ditinggikan, baik dalam proses perumusan kebijakan maupun pemberian insentif
atau upah kerja. Dalam pemberian upah kerja juga, lelaki mendapatkan upah yang
jauh lebih tinggi dibanding pendapatan wanita walaupun waktu kerja wanita tidak
jarang jauh lebih lama dibanding waktu kerja pria. Perbedaan upah kerja wanita
dan jumlah pekerja wanita dikatakan mempengaruhi pendapatan atau kemajuan
perekonomian negara. Para penggerak feminis sendiri juga mendukung adanya
kesetaraan gender dengan alasan semakin wanita dilibatkan dalam sistem
pengambilan keputusan dan perekonomian, hal tersebut akan menjadi perbaikan
perekonomian negara.[1]
Namun menurut kami, ada atau tidak adanya pekerja wanita tidak memengaruhi
kesejahteraan negara. Adanya inkonsistensi wanita terhadap pemilihan pekerjaan
serta tidak adanya pengaruh besar wanita terhadap pertumbuhan perekonomian ini
yang menyebabkan terus adanya sistem patriarki dan gagalnya pandangan
feminisme.
Pembahasan
Kesamaan
peran gender yang digaungkan oleh kaum feminis telah dilakukan sejak lama, dan
sejauh ini hasilnya sudah dapat dirasakan oleh generasi muda dengan mudahnya
akses pada pendidikan, pekerjaan, dan kedudukan sosial. Namun tuntutan atas
kesamaan peran gender terus digaungkan oleh wanita dan peggerak-penggerak
feminis. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan feminisme belum berhasil dalam
mencapai persamaan peran gender. Sifat alamiah wanita yang ditelpelkan dengan
feminin menjadi alasan kegagalan gerakan feminism itu sendiri. Hal tersebut
tidak lain karena adanya inkonsistensi pada wanita. Adapun inkonsistensi itu
dapat kita lihat melalui tiga jenis inkonsistensi, yaitu: inkonsistensi
keputusan, inkonsistensi pemilihan pekerjaan, dan inkonsistensi tuntutan.
Ketiga jenis inkonsistensi itu membuat peran wanita yang memang tidak terlalu
menonjol dalam bidang yang tidak abstrak seperti pertumbuhan ekonomi semakin
tenggelam
Inkonsistensi
keputusan, dari inkonsistensi pemilihan
pekerjaan menyebabkan keputusan yang diambil oleh wanita juga perlu
dipertanyakan. Inkonsistensi keputusan pemilihan pekerjaan sendiri menyebabkan
munculnya pembayaran upah kerja wanita lebih rendah didandingkan upah kerja pria.
Hal ini dikarenakan adanya resiko dan cost
yang lebih besar jika merekrut pekerja wanita.[2]
Tidak hanya disitu, adanya inkonsistensi keputusan atas pekerjaan yang diambil
membuat wanita tidak jarang tidak diupah dengan alasan waktu kerja yang
dilakukan adalah sistem percobaan bagi pekerja wanita, sejauh ini diketahui 271
menit dari 487 menit waktu kerja yang dilakukan wanita tidak diupah.[3]
Grafik waktu kerja yang tidak dibayar.

Inkonsistensi pemilihan pekerjaan oleh wanita
yang menyebabkan pekerja wanita tidak mengubah kondisi perekonomian secara
signifikan. Hal ini bisa kita lihat dengan pendapatan negara yang tidak
terpengaruh dengan adanya penyamaan kesempatan kerja bagi wanita. Diketahui
bahwa pertumbuhan perekonomian dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu sumber daya
manusia, sumber daya modal (investasi), dan penggunaan teknologi.[4]
Sumber daya manusia sendiri adalah bisa disubtitusinya sumber daya manusia,
antara wanita dan pria. Adapun proses subtitusi kami rasa tidak dapat dilakukan
karena tidak konsistennya wanita dalam memberikan pendapat. Inkonsistensi
pendapat wanita ini dapat kita temukan dapam pendapat-pendapat yang dikemukakan
oleh kaum feminis itu sendiri. Adanya inkonsistensi pendapat oleh wanita ini
membuat tidak adanya pengaruh wanita terhadap aspek sosial, terutama pada aspek
ekonomi. Tidak adanya perubahan pada sistem dan perubahan yang kentara pada
peran pertumbuhan perekonomian menyebabkan budaya patriarki atau perendahan
peran gender feminin tidak dapat dihilangkan.
Tabel hasil regresi
Model Summaryb
|
||||||||||
Model
|
R
|
R Square
|
Adjusted R Square
|
Std. Error of the Estimate
|
Change Statistics
|
Durbin-Watson
|
||||
R Square Change
|
F Change
|
df1
|
df2
|
Sig. F Change
|
||||||
1
|
,034a
|
,001
|
-,003
|
1,48337
|
,001
|
,250
|
1
|
218
|
,237
|
1,818
|
a. Predictors: (Constant), GDP
|
||||||||||
b. Dependent Variable: LABOR
|
Diketahui
dari grafik diatas bahwa pertumbuhan perekonomian tidak berhubungan dengan
kesetaraan kesempatan untuk bekerja yang diberikan kepada wanita (R Square
0,001). Tidak dipungkiri, subtitusi atas pekerja pria dengan wanita pun tidak
dapat dilakukan, terutama juga dikarenakan adanya rasa ketergantungan wanita
(terlebih wanita dengan status telah menikah) kepada pria seperti yang
disebutkan oleh Gilman atas status feme
sole.[5]Sebagai
argumen pendukung yang kelompok kami temukan, wanita hanya menyatakan
tuntutan atas kesamaan gender tanpa memikirkan seberapa besar takaran
“kesamaan” yang dituntut. Wanita sendiri tetap melakukan pemisahan pada
kemampuan dan pembatasan atas pekerjaan yang dilakukan, secara jelas saja, jika
ada pilihan atas pemberian pekerjaan pada wanita, wanita lebih memilih untuk
menganggur dibandingkan melakukan pekerjaan kasar seperti menjadi pekerja
bangunan.
Inkonsistensi
tuntutan, kami menemukan bahwa kritik yang
diajukan kaum feminis tidak konsisten, hal ini dapat kita lihat dari permintaan
feminism untuk menyetarakan peran gender. Peran gender dalam pandangan kaum
feminis adalah kesamaan kesempatan, sedangkan kesamaan gender sendiri lebih ditujukan
pada kebiasaan sexualitas itu sendiri.[6]
Adapun kebiasaan feminin sendiri banyak disangkut pautkan degan pemberian
sexual itu sendiri. Dikatakan perempuan akan lebih sesnsitif serta kurang
rasional dalam mengambil keputusan, dan jika kebiasaan wanita seperti ini
dijadikan alasan menuntut kesamaan, batu pun dapat melakukannya.[7] Karena itu,
pria sebagai mahluk yang dianggap lebih rasinal lebih ditinggikan dalam posisi
pengambilan keputusan dan struktur masyarakat.
Jika
dikatakan bahwa wanita membawa perubahan pada sistem sosial, kamis setuju
dengan hal itu, namun perubahan pada sistem sosial adalah abstrak sehingga
tidak memberikan perubahan apa pun pada pandangan perendahan gender feminis. Keterlibatan wanita dalam pengambilan keputusan akan
membuat kebijakan akan lebih berpihak pada wanita.[8] Namun
mengingat kebiasaan wanita yang mengedepankan perasaan dibandingkan
rasionalitas sult dipercaya dalam pengambilan keputusan, yang akhirnya
menyebabkan sistem pembentukan politik pada negara-negara
lebih sering ditentukan oleh seorang negarawan yang berjenis kelamin laki-laki
sehingga hubungan antar negaranya pun secara otomatis dilihat dari kacamata
maskulin.
Inkonsistensi tuntutan ini lebih jauh
lagi dikaitkan dengan inkonsistensi tuntutan para penggerak femminism. Tuntutan
yang diajukan kaum feminis sendiri memiliki tuntutan yang berbeda berdasarkan
pendekatan teoritis yang digunakan, yaitu liberal feminism, marxism feminism,
dan radikal feminism.[9] Dari ketiga pendekatan ini
saja, ditemukan bahwa tidak ada kesepakatan anatara kaum feminis itu sendiri.
Karena tidak adanya kesepakatan ini, mana tuntutan kaum feminism hanya dianggap
angin lalu saja. Ditambah lagi bentuk permintanya penyetaraan gender adalah
bentuk pengakuan atas ketidaksetaraan gender itu sendiri.[10] Alam
menciptakan laki-laki lebih bebas daripada wanita. Wanita itu dirantai oleh
banyak belenggu seperti; menstruasi, kehamilan, melahirkan, membesarkan anak
dan sebagainya. Jadi selama seks wanita membawa rantai tersebut kemana2, mereka
tidak pernah bisa mengklaim untuk menjadi benar-benar sama dengan pria(sex).
Tidak heran beberapa feminis menolak untuk menikah demi menghindari penderitaan
penaklukan. Ini benar-benar memiliki pengaruh yang kecil, karena laki-laki
masih akan memiliki keuntungan atas perempuan bahkan jika tidak ada pernikahan
untuk membatasi perempuan. Keuntungan ini akan datang dari prilaku kasar
laki-laki terhadap perempuan. kekuatan kasar ini memungkinkan seorang pria
untuk melakukan banyak hal wanita tidak bisa lakukan.
Kesimpulan
Tetap mapannya budaya patriarki diseabkan oleh perempuan itu
sendiri. Adanya persaman gender yang dituntut oleh wanita justru merupakan
bentuk pengakuan atas lebih rendahnya gender, feminis dibanding maskulin.
Adanya bentuk pengakuan secara tidak langsung ini diperparah dengan adanya
sikap inkonsistensi, yaitu: inkonsistensi keputusan, inkonsistensi pemilihan
pekerjaan, dan inkonsistensi tuntutan. Meskipun perubahan yang dibawa wanita
dalam bidang sosial atau politis hal itu dianggap abstrak karena tidak ada
bentuk nyata secara langsung seperti perubahan pada perekonomian. Pada bidang
perekonomian sendiri wanita dianggap sebagai “beban” dan sikap inkonsistensinya
itulah yang menyebabkan ketidak-adil-an pada bidang ekonomi.
[1] Dikutip
dari jurnal Elizabeth Potter, Crasnow, Sharon, Alison, Baucspies, and Wenda K.
2015 (summer 2015 edition). Feminist
perspective on Science. Stanford Encyclopedia of Philosophy. (halaman 18)
[2] Emir,
Astra. 2014. Selwyn’s Law of Employment (19th edition). Oxford University
Press. (halaman 187)
[3] https://www.oecd.org/gender/data/time-spent-in-unpaid-paid-and-total-work-by-sex.htm diakses
pada tanggal 25 November 2016 Pukul 07:07 WIB.
[4] Idris,
Amirudin. 2016. Pengantas: Sumber Daya Manusia. CV Budi Utama. (halaman 5)
[5] Evans, Sara M.
Born for Liberty : A History of Women in America, Volume 2, 1994. (halaman
29-30)
[6] Hollinger, David
A. dan Charles Capper. 2001. The American
Intellectual Traditions. Volume 2, Oxford University Press, New York.
(halaman 46)
[7] Dikutip
dari Bisong, Peter Bisong, and Samuel Aloysisus Ekanem. Journal American,
Journal of Social and Management Science: A critique of Feminism.
Calabar-nigeria.
[8] Sorensen,
Jackson. 2005. Introduction to International Relation: Theories and Approaches.
(halaman 335)
[9] Ibid.
[10] Dikutip dari Bisong, Peter
Bisong, and Samuel Aloysisus Ekanem. Journal American, Journal of Social and
Management Science: A critique of Feminism. Calabar-nigeria. Ketidaksetaraan
ini secara tidak langsung diakui oleh perempuan melalui kritik dan permintaan-permintaan
perempuan dari segala bidang juga merupakan bentuk dari pengaakuan bahwa wanita
(gender) berada dibawah pria.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar